SORRY, I CHOOSE NOT TO ENGAGE WITH THE WAY YOU PRACTICE SELF-GROWTH

People change and that’s our nature. So, lumrah dan wajar saja bila perubahan ini kemudian banyak berperan dalam kelangsungan interkonektivitas antara manusia satu dan lainnya. Entah itu keluarga, sahabat, teman, kekasih, ataupun pasangan, pada satu titik semua pasti mengalaminya. Namun saat perubahan itu tidak sejalan dengan apa yang kita yakini, I believe it’s totally okay to say, “Sorry, I choose not to engage with the way you practice self-growth.”


If ever there’s one huge thing I’ve done and continuously practiced in my healing journey, that would be drawing boundaries. Sebagaimana saat kita berkendara di jalan, menjaga jarak aman menjadi kunci penting terhadap keselamatan kita, and so is the relationship we manage with other humans.


Drawing boundaries is indeed a great milestone for me. Sama sekali bukan hal yang mudah untuk dilakukan, terutama saat pertama kali. Namun ini adalah cara yang sehat dalam membina hubungan saat kita menjalani peran sebagai social being.


Gue ingat sekali, pertama kali gue melakukannya pada sekitar tahun 2019. Kala itu gue merasa begitu stres dan tertekan meladeni perilaku seorang teman dekat. Pada tahun itu, kami telah berteman selama sembilan tahun. Berawal dari teman di tempat kerja, kami lanjut menjadi bestie dengan seorang teman lain, pun saat kami bertiga satu per satu keluar dari tempat kerja tersebut.

Photo by Brooke Cagle on Unsplash

Pada saat itu gue sedang menghadapi masalah yang sangat pelik. So, gue ngajakin dia ketemuan untuk curhat. But guess what… ga sampai seperempatnya gue menumpahkan isi hati dan pikiran yang begitu mengganggu, ia menyela cerita gue.


Well, I believe itu sebenarnya hanyalah respon alamiah dari situasi sebuah percakapan. Ga ada yang aneh dan ga ada yang salah tentang hal itu. Maka, gue pun menghentikan curhatan gue. 


Ia memberi respon terhadap penggalan curhatan gue dengan cerita tentang sebuah peristiwa buruk yang pernah ia alami. Dengan ekspresi wajah datar dan gaya bicara yang santai sambil mengunyah camilan yang kami pesan di sebuah coffee shop siang itu, ia menceritakan tentang kemalangannya to top up to my story.


Gue pun urung melanjutkan cerita karena nampaknya ia tidak tertarik untuk mendengarkan cerita gue. Lagi pula, ia telah mengambil momen yang saat itu susah payah gue bangun untuk menjadi vulnerable sehingga dapat bercerita. Dan benar saja, ia sama sekali tidak bertanya tentang kelanjutan cerita gue.


Baca juga: My Body Is My Buddy


Long story short, kami mengakhiri pertemuan hari itu dengan mendengar kisahnya - which means gue ga jadi lanjut cerita. Sampai di rumah, gue jadi makin riweuh sendiri karena himpitan masalah yang tadi ingin dikeluarkan malah bantat. Sebaliknya, gue justru harus menampung ceritanya di antara penuhnya isi kepala dan hati yang mau meledak.


Beberapa hari berlalu dan ia mengirim pesan singkat seperti biasa. Di sana, ia curhat panjang lebar tentang suatu hal. Dengan sabar dan sopan gue membalasnya. Namun lama kelamaan gue menjadi begitu stres dan cape. Saat itulah baru gue tersadar akan apa yang sedang dan telah terjadi.


Gue ga pernah bisa curhat ke dia karena setiap kali curhat pasti dipotong dengan ceritanya yang membuat cerita gue jadi seolah ga ada apa-apanya. Masalah gue jadi terkesan remeh karena dia selalu punya masalah lain untuk mengungguli masalah yang sedang gue ceritakan.


In a way, gue ingin memahami bahwa mungkin itu adalah kemampuan dan pengetahuannya tentang cara memberi respon. But that created an imbalance in our relationship that I was blinded about.


Detik itu juga gue tersadar tentang bagaimana terobsesinya dia untuk menjadi yang paling juara dalam segala hal. Bahkan untuk penderitaan pun, ia harus menang menjadi yang lebih atau kalau bisa yang paling menderita daripada penderitaan lawan bicaranya (who suppose to be teman bicaranya).


Baca juga: Me and Journaling


GOSHHH…. Where have I been?


Gilaaa… ke mana aja gue selama sembilan tahun ini?? Have I really done that for the past nine years??? Gue beneran ga habis fikri.


So, saat suatu hari ia ngajakin ketemuan, gue pun mengalami dilema besar yang belum pernah gue alami dalam hidup gue. Gue ingin menolak. Even more, gue ga ingin ketemu dia simply because I didn’t wanna hear anything from her mouth karena pasti hanya ada dua hal yang akan disampaikan: flexing or complaining. 


But I couldn’t do that…


My system didn’t seem to recognize that. My belief at that time ran on the system that said:  tidak benar rasanya menolak teman yang butuh bantuan walau itu sesederhana ngajakin ketemuan. Ia mungkin sedang butuh seseorang untuk diajak ngobrol. 


So, off we went dan gue berakhir pulang dengan penyesalan yang sangat besar karena tidak mendengarkan kata hati gue as the same old pattern that I had recognized was repeated exactly the way I had predicted it.


Dari situlah pelan-pelan gue belajar untuk engaged dengan diri gue sendiri dan mulai belajar untuk memprioritaskan diri gue terlebih dahulu. 


Dari situlah pelan-pelan gue belajar untuk draw boundaries. Gue belajar untuk menolak hingga akhirnya bisa memutuskan untuk berkata pada diri gue sendiri (bukan berbicara dengan orangnya langsung),  “Sorry, I choose not to engage with the way you practice self-growth.”


At that time, gue belum kenal dengan yang namanya narcissism atau narcissistic personality disorder atau yang sejenisnya. Yang saat itu gue paham adalah teriakan dalam hati gue yang bilang, “Dunia ini ga berputar dalam poros elu! Ga semua-mua kejadian itu tentang elu.”


Baca juga: One Simple Yet Essential Question You Need to Ask Yourself


Thank to Covid yang bantu mengkondisikan situasi sehingga kami ga perlu ketemuan secara fisik. Notifikasi ponsel pun gue pasang dalam silent mode sehingga gue tidak lagi banyak terganggu dan oleh karenanya gue menjadi selalu terlambat untuk memeriksa pesan dalam ponsel. Hal ini pun jadi berkah karena gue ga perlu banyak engaged dalam percakapan.


Walaupun telah merasakan manfaat besar dari drawing boundaries for a healthier relationship, gue tidak selalu ingat untuk mempraktikkannya. Selalu butuh situasi yang seolah membenturkan kesadaran gue untuk kembali mengambil dan menjaga jarak aman.


At times kondisi ini menjadi bias dan membingungkan. Tak jarang gue bertanya-tanya sendiri sejauh mana gue perlu berpartisipasi dan membantu orang lain, terutama karena gue sangat menjunjung tinggi value hubungan baik, terutama persahabatan. 


Misalnya saja kisah tentang situasi seorang teman yang berseteru dengan pasangannya di mana kebetulan gue mengenal baik sang suami maupun istri. Ketika salah satunya datang untuk curhat, gue tentu menjadi sangat prihatin dan berempati untuk membantu. Lalu di lain masa saat perseteruan itu terjadi dan yang lainnya menghubungi gue, gue pun langsung meluncur ke TKP untuk memberi bantuan. But then, there was nothing that I could do.


Mereka asyik dengan egonya sendiri-sendiri and pretty much gue hanya dijadikan saksi untuk membela kebenaran dari sisi masing-masingnya. Mereka silap mata sehingga tidak memedulikan kehadiran anak-anak di sana serta dampak psikologis yang mungkin bisa berakibat pada anak-anak di masa depan. Oleh karenanya, gue memilih untuk memberi ruang bagi mereka dan  menyelamatkan anak-anak, instead.


At times, kita memang hanya butuh untuk didengarkan. Kita tidak selalu butuh bantuan atau nasihat. 


Kita butuh support system. Kita butuh merasa aman, atau bahkan merasa benar dan mendapat dukungan atas tindakan yang kita lakukan pun saat tindakan itu tidaklah benar. Dan terkadang saat kondisi di dalam diri tidak mencukupi, kita mencari sokongan validasi dari luar.


But then… as we grow up, masalah kita menjadi lebih kompleks. Karakter kita pun terbangun melalui tumpukan kejadian dari masa ke masa yang kita alami. Dan kita tidak menyadari hal tersebut.


Baca juga: Itu Hanyalah Pikiran, Bukan Kenyataan


Curhatan-curhatan itu bukan lagi curhatan seperti masa muda dulu, di mana selesai curhat kita merasa lega dan bahkan bisa hepi-hepi lagi. 


Curhatan di masa dewasa adalah masalah yang bisa jadi complicated karena tangled pikiran kita sendiri. Curhatan itu terkadang juga berubah menjadi zat yang sangat adiktif. Kita jadi kecanduan curhat karena mengeluh itu nikmat sebagaimana gue pernah menulisnya di sini.


Curhatan semacam ini, yang sama sekali tidak berusaha mencari solusi terhadap masalah, melainkan menikmati situasi menjadi victim dengan menjelekkan orang lain, can really drain the energy orang yang dicurhatin. So, it’s really not an easy task, buddy!


Berefleksi pada beberapa kejadian dan bagaimana impactnya ke gue, gue pun jadi belajar dan menyadari bahwa at times gue hanya diperlakukan tak lebih sebagai tong sampah (I know they didn’t mean that, but come on… let’s be real). 


Mereka cari gue saat butuh curhat, namun respon apa pun yang gue sampaikan at least sebagai part of courtesy akan selalu dimentahkan dan dibantah dengan negativitas. Bahkan ada juga yang terang-terangan mengatakan bahwa mereka tidak ingin membicarakannya langsung dengan orang terkait dengan berbagai alasan. So, clearly, mereka hanya butuh berkeluh kesah dan validasi. But then, when it’s echoed over and over again week after week, month after month, even year after year, lemme tell you buddies… it’s extremely exhausting. 


Yang lebih parah adalah saat gue dikasih lihat oleh kenyataan bahwa kehadiran gue secara fisik yang gue pikir adalah dorongan moril secara langsung terhadap situasi yang sedang dihadapi a dear friend, ternyata bukanlah hal yang beliau inginkan. Literally, gue ditinggalin sendirian. Seorang diri. Dipisahkan. Dijauhkan. Literally. Agar kehadiran gue tidak diketahui orang lain. And here I’m talking about female support.


Ada lagi nih contoh kisah lain yang kemudian semakin menggugah kesadaran gue, yaitu kisah reunian dengan bestie lama. Setelah belasan tahun ga ketemu, gue kembali dipertemukan dengan teman-teman dekat gue. They reached out to me dan tentu saja itu menjadi momen yang sangat exciting.


Baca juga: Let Me Tell You, There's Nothing Wrong with Going to Therapy


Bestie gue itu berubah menjadi seorang yang sangat religius, which is a very good thing. But here’s the catch, gue pun diperlakukannya bak pendosa yang tersesat. Itu belum ditambah kalau kondisi negara sedang pemilu.


The occasional messages yang awalnya sweet karena saling kangen-kangenan dan update tentang kehidupan masing-masing, soon berubah menjadi teror karena pesan itu mengisyaratkan gue untuk “kembali ke jalan yang benar”. And oh, I’m not talking about a particular religion coz I’m experiencing it with quite a number of different religions practicing the same method.


Macam-macamlah cerita lainnya. Semuanya unik dan menggelitik. Value pertemanan dan persahabatan saat muda dulu pelan-pelan ada yang bergeser menjadi networking untuk keuntungan pribadi. Dari mulai cari follower sampai berjualan komoditi bisnis mereka. Dan sebagai teman, kita kadang terperangkap dalam situasi dari mulai memberi dukungan karena toh hal yang minta didukung harmless, sampai ke perasaan ga enak kalau ga dituruti karena berpotensi merusak hubungan baik.


Dan gue perlu melalui semua kisah itu karena mungkin gue ga kunjung sadar, hingga akhirnya Universe mengirimkan sebuah kejadian lain yang baru-baru ini terjadi. 


Gue seperti kembali diingatkan dengan benturan kenyataan itu. We can still be kind to our friends coz it’s our value. But it doesn’t mean that we have to follow their beliefs or participate in the way they present themselves.


Kita bisa menjaga jarak aman pertemanan tapi ga perlu memaksakan diri untuk mengikuti apa yang mereka yakini sebagai kebenaran. Kita juga tidak perlu berada di situasi di mana kita tidak merasa nyaman dengan cara mereka menunjukkan karakter mereka.


Baca juga: The "Let Them" Theory That Went Viral


As much as we grow a compassionate heart to them, kehidupan, pilihan dan keputusan mereka bukanlah tanggung jawab kita karena masing-masing dari kita memilih untuk menjalani legenda pribadi kita sendiri.


Masih ada teman lain yang asyik untuk diajak berbagi. Masih ada teman lain yang bisa equally share the roles untuk bercerita, mendengarkan, memberi saran, dan dukungan. Masih ada teman lain yang genuinely vulnerable dan butuh bantuan.


In the end, hubungan antar manusia akan selalu mengalami masa fluktuasinya. Seiring berjalannya waktu, akan ada pertemuan di suatu titik bagi mereka yang beresonansi bersama. 


So, now I’m learning that as we grow old, we learn a lot of things in life. There's an old belief that still lingers in us mingled with the new belief that we try to adopt for one same reason: to better ourselves in whatever way. 


This belief is how we practice self-growth. We believe that this is the best way to grow our inner as well as outer self, and therefore, with so much compassion, we would like others to be on the same path with us, especially our dearest ones.


With that being said, I now apprehend that if that belief of yours at some point is not in line with mine, with all due respect, I would humbly say, “ “Sorry, I choose not to engage with the way you practice self-growth.” I love you, that’s why you do you and I do me.

Comments

Popular posts from this blog

WHY HEALING YOUR PAST IS THE KEY TO TRUE GROWTH

WHY LEAVING MY 9-5 JOB WAS THE BEST DECISION FOR PEACE AND SUCCESS

STOP GALAU! PUTUSKAN SEKARANG JUGA