THE “LET THEM” THEORY THAT WENT VIRAL
Pertama kali gue mendengar tentang “Let Them” theory ini some time this year (2024) langsung dari podcast sang pencetus teori itu, Mel Robbins, yang bisa didengarkan di sini. Little did I know kalau ternyata teori ini viral semenjak akhir tahun lalu (2023).
Dalam podcast itu, Mel mengawalinya dengan kisah bagaimana teori itu muncul. Saat mendengar hal itu, dalam hati gue langsung sepakat dan berpikir, ‘Iya juga, ya…’ Mel, kemudian melanjutkan ceritanya dengan tiga contoh kasus yang bikin gue semakin tertarik untuk mendengarkannya.
Begini kata Mel, “If your friends are not inviting you out to brunch this weekend, let them. If the person that you’re really attracted to is not interested in a commitment, let them. If your kids don’t want to get up and go to that thing with you this weekend, let them.”
Baca juga: How to Know When Your Intuition Tells You
Hanya dengan mendengarkan contohnya aja udah bikin gue berasa liberating. Gue jadi nyadar, ngapain juga kita ovt, memendam rasa kecewa, atau marah-marah dengan hal yang jelas-jelas di luar kontrol kita.
Ya udah sih, Wir… biarin aja kalau emang temen lu ga ngajakin lu jalan. Biarin aja kalau cowok lu susah banget dibujukin untuk cukur rambut. Biarin aja kalau anak lu susah bangun pagi di hari Minggu. Kurang lebih seperti itu contohnya di cerita keseharian versi kita.
Pada contoh situasi di atas, kita cenderung merasa kecewa saat teman kita ga ngajakin kita jalan. Kita jadi sebel karena pacar ga mau cukur rambut sementara mata kita ga betah melihat rambutnya yang ga rapi. Atau kita jadi marah karena anak ga mau nurut, susah diajarin untuk konsisten bangun pagi, even di hari minggu.
Baca juga: It's Not Always Your Fault
Perasaan kecewa, sebel dan marah hadir karena kita ga berhasil mengontrol orang-orang tersebut. Kemauan kita ga sejalan dengan maunya mereka dan kita maunya mereka sepaham dengan mau kita. Walhasil, kita ga sadar kalau impact negatifnya justru kita sendiri yang merasakan.
Kita jadi merasa kecewa, sebel dan marah. Hari-hari yang tadinya indah langsung berasa suram. Mood jadi kacau, bahkan kemungkinan mempengaruhi hubungan kita dengan mereka.
Praktik “Let them” membuat kita mengizinkan diri kita untuk menerima keputusan dari tindakan orang lain. Kita tidak mencoba untuk mengontrol mereka, melainkan menghormati keputusan mereka sebagai seorang individu sebagaimana diri kita juga.
Mel mengatakan, "You spend so much time and energy trying to control other people and getting emotionally worked up about things that are beyond your control. You can tap into peace and true control if you let them be themselves."
Baca juga: What If
In a nutshell, sebenarnya ini adalah tentang letting go of control and claim the power back to us. Mungkin kita ga pernah kepikiran bahwa apa yang kita lakukan itu sebenarnya adalah nafsu untuk mengontrol. Akhirnya, kita jadi ga sadar bahwa kita menggantungkan bahagia kita pada respon mereka. Dan ketika mereka tidak mengikuti mau kita, kita jadi tidak bahagia. Kerumitan yang sederhana, bukan?
Nah, dengan membiarkan mereka membuat keputusan itu dan melakukannya, kita membebaskan diri kita dari keinginan untuk mengatur/mengontrol. Kita juga tidak lagi meletakkan bahagia kita pada hal di luar diri kita (outside environment). Dengan begitu, kita jadi bisa kembali mengambil kendali dalam diri kita. Kita bisa memilih apa yang akan kita lakukan, termasuk bahagia kita.
Menurut marriage and family therapist, Jennifer Chappell Marsh, dalam Hufftpost yang ditulis oleh Brittany Wong, “Let Them” theory sangat berguna diterapkan pada romantic relationship atau friendship. Kita belajar untuk menerima satu sama lain tanpa berusaha untuk mengubahnya.
Baca juga: Life Is Meant to be That Way - Don't Be Afraid to Make Mistakes
But “Let Them” is not a one-size-fits-all solution. Marsh melanjutkan penjelasannya bahwa kita tidak bisa mempraktikkan teori ini pada kasus yang mengundang marabahaya, mental crisis, atau tindak kekerasan. Yeorobun pasti ngertilah untuk pilah-pilih kapan teori ini bisa berguna untuk diterapkan.
Ada hal menarik yang Marsh jelaskan kapan teori ini sebaiknya tidak diterapkan dalam sebuah hubungan. Kata beliau, jangan berlindung dibalik teori ini untuk menghindari percakapan alot yang perlu dibicarakan. “Sometimes, difficult conversations are necessary for resolving issues, and avoiding them can lead to more problems in relationships,” begitu ujar beliau.
Satu tambahan diskusi lagi dari USA Today oleh jurnalis Charles Trepany. Ia menulis pendapat psikolog, Stephanie Sarkis, yang gue suka banget karena balik ngingetin gue akan fitrah normalnya kita sebagai manusia. Beliau bilang bahwa walaupun kita sudah membiarkan mereka melakukan hal itu, kemungkinan masih ada rasa sakit hati, kecewa, atau marah yang kita rasakan.
Beliau mengatakan bila rasa sakit itu hadir, ya izinkan rasa itu hadir. Embrace dan beri waktu untuk rasa itu ada dalam diri kita hingga kita siap dan bisa melepaskannya. Dan ini nih yang paling epic dari beliau, "Accept people the way they are, but it doesn't necessarily mean that they're people that are healthy for you." MIC DROP!!
Comments
Post a Comment