LIFE IS MEANT TO BE THAT WAY - DON’T BE AFRAID TO MAKE MISTAKES
Gue termasuk orang yang suka nonton klip pendek tentang “Things I wish I knew when I was younger” atau “What I want to tell my younger self”. Yang mereka sampaikan, walau singkat, tak jarang bikin waktu seolah berhenti sesaat untuk gue tersadar, mencerna, dan memaknai seperti apa sebenarnya hidup itu.
Tak jarang gue terbawa arus vibe yang dibangun dalam klip itu dan merasa kenapa selama ini ga ada yang ngasih tau gue tentang hal tersebut? Kenapa ga ada yang ngajarin gue tentang hidup? Kenapa ga ada yang ngingetin bahwa hidup itu ga perlu begitu, tapi bisa begini aja?
But then, the question is… if someone had told me about that, would I have listened and followed? Even if a saint person, a guru, or Dalai Lama had told me about that, would my younger self have listened and followed?
Artikel terkait: Is Life about Making Mistakes?
Seseorang yang gue kenal dekat suatu hari pernah berkata bahwa lebih baik ia jatuh sendiri terjerumus ke dalam sebuah lubang ketimbang dikasih tau oleh orang lain untuk menghindar karena ada lubang yang dalam di depannya. Baginya, terjerumus sendiri ke dalam lubang itu akan menjadi pelajaran yang penting untuk hidupnya.
Dalam kisah yang lain, my teenage friend, yang ceritanya gue tulis di sini, pernah gue rekomendasiin untuk baca buku karya aktris dan infulencer, Paget Kagey, “Social Anxiety Relief Guide for Teenage Girls: How to Rewire the Brain from Insecure and Self-conscious to Brave and Empowered”. Buku itu ditulis secara apik berdasarkan pengalaman pribadi Paget sendiri dan pelajaran dibalik pengalaman tersebut.
Sebagai orang dewasa gue banyak belajar dari buku itu, jadi gue merasa bahwa itu adalah buku yang tepat untuk jadi panduan anak remaja dalam menjalani hidup. Dan dengan berbagai kisah dinamika masa remaja yang dialami my teenage friend, gue pikir buku itu bisa jadi penyemangat baginya.
But guess what??? My teenage friend yang ga bisa berhenti membaca “The Diary of A Young Girls - Ann Frank” dan menuntaskannya dalam waktu singkat, hanya sanggup membaca buku Paget hingga awal chapter 3. Dia mengatakan bahwa isi buku itu sulit dicerna sehingga tidak tertarik untuk melanjutkannya.
Baca juga: When the Student Is Ready the Teacher Will Appear
Detik itu juga gue tersadar dan melihat seperti apa sebenarnya hidup itu. Gue jadi ngerti kenapa orang tua sering bilang kalau anak-anak susah dinasihatin atau susah dikasih tau. Dan gue jadi paham kenapa anak-anak susah mendengar nasihat.
Life is an adventure. It’s meant to be explored. Kita ga pernah sepenuhnya tau dan memahami diri kita tanpa melakukan eksplorasi untuk mengenal dan mencari tau apa yang kita suka, apa yang kita nikmati, apa yang kita butuhkan, dan siapa sesungguhnya diri kita.
Hidup adalah tentang kemerdekaan. Merdeka dalam menentukan pilihan, membuat keputusan dan menjalani hidup masing-masing. Bahkan jika pun keputusan yang dibuat “salah”, itu adalah bagian dari kemerdekaan menjalani hidup.
Hidup juga adalah tentang perjalanan. Namun bukan tujuan akhir yang penting dalam perjalanan ini, melainkan prosesnya. Proses ini lah yang sejatinya adalah hukum alam. Melalui proses ini manusia belajar dan menjadi lebih dewasa.
Ga ada yang bisa skip bagian ini dalam hidup karena inti sarinya hidup ya adalah tentang proses ini. Dari sini lah kita bertumbuh dan menjadi lebih bijak sehingga bisa melahirkan nasihat dan kebajikan akan hidup.
Baca juga: The Cost of Following Ego vs Listening to Consciousness
Pada titik ini gue pun akhirnya menyadari bahwa hidup itu adalah tentang “melakukan kesalahan”. Ga ada dari kita yang hidupnya sempurna bebas dari kesalahan because life is meant to be that way. Kesalahan itu adalah bagian dari hidup itu sendiri. Kesalahan itu dinamikanya hidup. Tanpa kesalahan, hidup akan menjadi monologue yang membosankan dan mungkin melelahkan sehingga akhirnya ditinggalkan. And I guess that wasn’t God’s plan about life.
Gue pun jadi teringat bagaimana dulu almarhum pakde suka ngobrolin banyak tentang hidup. Beliau kasih nasihat begini/begitu tentang hidup. Jadi sebetulnya sudah ada yang kasih tau gue tentang hidup. Sudah ada yang nasihatin gue tentang hidup. And I don’t even remember that.
I think, just like my teenage friend, pada masa-masa itu, mendengarkan nasihat dan petuah orang tua terasa membosankan karena gue bahkan ga pernah mikirin soal hidup. So, doing it was nothing but an act of courtesy - etika sopan-santun belaka karena saat itu buat gue hidup hanyalah tentang belajar, ujian, mendapat nilai bagus, main dengan teman-teman or having a crush. Jadi bukannya ga mau mendengarkan nasihat, tapi memang belum dibutuhkan karena belum masanya.
Jadi mungkin sekarang memang masanya untuk gue mendengar nasihat dan petuah para tetua. Masih belum terlambat untuk memperbaikinya. But, no… I don’t wish anything about my past life karena bergulirnya hidup memang sudah seperti itu. Dan gue ada di sana sepenuhnya menggunakan hak prerogatif gue untuk memilih hidup yang gue jalani.
Baca juga: Aktivitas Gabut Paling Produktif dan Paling Bermanfaat
Pilihan-pilihan itu mungkin banyak yang tidak baik, tapi semuanya mengarah ke jalan ini, jalan yang sedang gue lalui sekarang. And I can’t be more grateful for that.
Karena berbagai pilihan itu lah gue bisa sampai di titik ini. Karena banyaknya kesalahan itu lah gue bisa berada di sini. Karena masa lalu itu lah gue bisa menikmati masa ini. So, nooo… I don’t wish anything to my younger self or past life.
Sebaliknya, gue berterima kasih pada my younger self yang sudah berani memilih dan mengambil pilihan-pilihan itu. Gue berterima kasih pada my younger self yang sudah bertahan dan mempertahankan value diri. In the end, we do reap what we sow.
Photo by Pixabay: https://www.pexels.com
Comments
Post a Comment