HOW TO KNOW WHAT YOUR INTUITION TELLS YOU
Have you ever wondered how some people have such strong intuition? How do they do that? Can we do that too? Do we even have intuition? If so, how to know what our intuition tells us?
***
Pagi itu gue keluar kamar mandi dengan wajah lebih segar setelah selesai mencuci muka dan menggosok gigi. Saat mengeringkan wajah, tangan dan kaki dengan handuk, gue kembali bertanya pada diri sendiri, ‘Jadi ga nih jalan paginya?’
Gue melangkah ke ruang tamu dan mengintip cuaca dari kaca jendela. Cuacanya cerah cenderung panas karena matahari sudah menampakkan sinar terangnya. Sepertinya itu adalah waktu yang baik untuk mendapatkan sinar matahari pagi, pikir gue. Tapi kenapa langkah kaki gue seperti berat untuk pergi ke lemari pakaian dan berganti baju. So, should I go? Should I not go? Gue kembali bimbang.
Sudah satu jam lamanya semenjak gue bangun tidur, gue mengambil jeda untuk mempertimbangkan apakah pagi itu akan pergi jalan pagi atau tidak. Jalan pagi tidak ada dalam rencana tadi malam, tapi setelah bermeditasi sebentar pagi itu, I felt like going for a walk. Gue ingin diam sambil berjalan dan mendengarkan musik untuk mencerna pelajaran hari itu or at least just walking and enjoy the music and not thinking about anything else.
Baca juga: Life Is Meant to be That Way - Don't Be Afraid to Make Mistakes
Setelah satu jam, gue memang langsung bangkit, membasuh muka dan menggosok gigi, namun perasaan untuk pergi jalan pagi tidak juga muncul. Ia seperti chill aja. Tak berapa lama gue teringat perkataan seseorang di postingan Reel, “If it’s not a hell yes, it’s a hell no.” And just like that, I cancelled the plan.
Gue membuka jendela ruang tamu dan jendela kamar sambil geleng-geleng kepala sendiri berpikir how could I forget about that concept. Karena sudah terlalu lama terbiasa melakukan pertimbangan dengan melibatkan logika otak, gue pun lupa untuk melakukan hal yang sangat sederhana itu - membaca intuisi.
Intuition was a foreign concept to me. Gue tau ia ada but I felt like it was gifted. Gue mengira bahwa itu hanya bisa dimiliki orang-orang tertentu saja. But I was wrong. Semua manusia dibekali dengan intuisi, hanya saja kita tidak mengenalinya, kita tidak menyadari kehadirannya, sehingga kita tidak tahu ia ada di dalam diri kita.
Baca Juga: The Cost of Following Ego vs Listening to Consciousness
What’s probably called ‘modern society’ has taught and planted a belief to use our brains to survive in life. Jadi kita memang taunya cara menggunakan logika otak. Kita bahkan diajarkan untuk membuat dua kolom ‘pros and cons’ untuk menimbang baik buruknya sesuatu sebelum mengambil sebuah keputusan. Padahal ada cara yang lebih simple, lebih mudah. Cara yang digunakan banyak pebisnis handal dalam mengambil keputusan, yaitu dengan mendengarkan intuisi. But then, how to know what our intuition tells us?
Pertama kali gue belajar tentang hal ini dari Erbe Sentanu - penulis best seller “Quantum Ikhlas” yang aktif mengajar diberbagai pelatihan. Ternyata kunci dari intuisi adalah hati. Erbe Sentanu menggunakan perasaan enak dan ga enak yang hadir dalam hati kita sebagai barometernya. Perasaan inilah yang menjadi pertanda atau sinyal yang dikirimkan oleh intuisi kita terhadap sesuatu hal. Jadi, ketika kita ingin melakukan sesuatu, coba cek dulu perasaannya. Kalau enak, maka lanjut. Namun bila perasaannya ga enak, lebih baik tidak dilakukan.
Just like a confirmation, gue mendapati konsep serupa dari Suh Yoon Lee dalam bukunya “The Having: The Secret Art of Feeling And Growing Rich”. Suh Yoon Lee menggunakan analogi rambu lalu lintas - lampu merah, kuning, dan lampu hijau. Sebagaimana arti harfiah dari ketiga lampu tersebut, kita pun memaknai perasaan yang hadir dengan mengumpamakannya sebagai nyala lampu rambu lalu lintas.
Artikel Terkait: A Piece of the Past - A Quest to Learn About Feeling
Saat sesuatu terjadi, ingin melakukan sesuatu, atau membuat keputusan, coba cek perasaan dalam diri kita. Kalau tidak ada resistant, itu pertanda lampu hijau menyala. Maka silakan lanjut atau lakukan. Bila ada perasaan tidak yakin, kemungkinan itu adalah lampu kuning. Jadi coba tunda dulu sejenak hingga pertanda yang lebih jelas nanti muncul. Dan bila perasaan terasa berat dan ada strong resistance, itu pertanda tanda lampu merah yang menyala. Maka, sebaiknya hentikan atau tidak dilakukan.
Ilmunya mungkin terdengar semudah dan sesederhana itu. Tapi praktiknya ga segampang itu. Buat gue yang terlalu menggunakan logika rasionalitas, pun jika perasaan semacam itu hadir, pertimbangan rasio seringkali lebih unggul walau nanti menyesal di belakang, like kenapa gue ga dengerin intuisi yang coba kasih petunjuk.
Ala bisa karena biasa. Sebagaimana mereka yang rajin pergi ke gym untuk melatih dan memperkuat fisik mereka, kita juga perlu berlatih untuk membaca signs yang dikirimkan oleh intuisi kita. Find your own way to know what your intuition tells you. Coba praktekkan konsep perasaan enak/ga enak versi Erbe Sentanu atau konsep rambu lalu lintas versi Suh Yoon Lee and see if any of those works for you. As for me, sometimes I like to remind myself, “If it’s not a hell yes, it’s a hell no.”
Photo by Jen Theodore on Unsplash
Comments
Post a Comment