THE COST OF FOLLOWING EGO VS LISTENING TO CONSCIOUSNESS
Pagi tadi, saat hendak menyalakan mesin cuci, gue mendapati tetesan air keluar dari pipa sambungan air mesin cuci. Ada genangan air di bawahnya, jadi pasti air telah menetes untuk waktu yang cukup lama. Gue langsung cek pipa itu ke sumbernya di keran air. Ternyata di sana lebih parah lagi.
Pipa yang terkoneksi ke keran air merembes kencang. Air membanjiri sekitar keran. Tapi gue tidak bisa mengetahui berapa banyak air yang telah terbuang dan memprediksi telah berapa lama hal itu terjadi karena rembesan air yang mengalir telah bersatu dengan air hujan yang semalam turun lebat.
Buru-buru gue menutup keran air, lalu terdiam sejenak. Beberapa detik lalu, pagi terasa indah. Gue bahkan sudah siap untuk mengeksekusi semua rencana pagi yang gue pikirkan semenjak rentang bangun pagi tadi. But look what happened! Not everything always runs as planned.
Baca juga: A Morning Thought
Seperti biasa, sebelum crying for help, gue coba untuk melihatnya dulu and see if I could do something about it. Gue membuka pipa itu, lalu dengan sotoy memeriksa dan memasangnya kembali. Tapi air justru keluar lebih deras.
Hhhh… gue terduduk lemas sambil menghela nafas panjang. Gue merasa kesaktian gue telah hilang. Gue ga lagi seresilient biasanya. Padahal dulu gue yang memasang pipa mesin cuci ini sendiri dengan hanya berbekal manual dan semangat coba-coba. And it worked perfectly. Tapi setelah pindah rumah dan banyak orang yang membantu, kesaktian akan kemandirian gue sepertinya memudar. Apa boleh buat, waktunya untuk minta tolong.
Secara logika sederhana, gue tinggal menghubungi orang yang bulan lalu mengganti dan memasang pipa ini untuk kembali memperbaikinya. Tapi ini sudah yang ke tiga kalinya dan masalah kali ini malah jadi makin parah begini.
Baca juga: A Piece of the Past - A Quest to Learn About Feeling
Logika sederhana gue pun menjadi saru karena bercampur dengan emosi. Rasanya cape harus kembali mengalami hal serupa. Baju kotor akan kembali menumpuk karena orang tersebut ga bisa langsung datang hari ini juga untuk memperbaikinya. Gue harus nunggu jadwal yang match pas dia libur dan gue di rumah, which the last time took me four days. And above all, sebenarnya gue juga ga enak berulang kali menginfokan hal yang sama.
Ingin rasanya merasa kesal karena hal ini berulang kembali, but I can’t blame anyone else but myself. Gue lah yang memutuskan untuk tidak mencari teknisi and instead menaruh kepercayaan bahwa ia memiliki keahlian dan pengalaman untuk itu sebagaimana yang ia sampaikan.
Gue lah yang berpikir bahwa kalau ia bisa, maka lebih baik ia saja yang mengganti dan memasang pipa itu. I mean… bukankah lebih baik kalau uangnya diberikan pada orang yang kita kenal? Jadi kita bisa membantu dan menjalin hubungan baik sesama manusia.
Tapi logika gue kemudian berpikir ulang. Sepertinya kali ini lebih baik memanggil teknisi saja. Clearly, that guy is not an expert on this. Pun bila ia datang dan mencoba untuk memperbaikinya lagi, there’s no guarantee that it won’t happen again. I mean… it’s the third time already in a month. So, tidakkah lebih baik kalau mengeluarkan sedikit lagi uang untuk membayar ahlinya sehingga masalah ini tidak lagi terjadi?
Baca juga: Why Do I Have to Pray for the Things That I Don't Want? - The Lesson Revealed
Gue pun segera meminta bantuan Goggle untuk mencari teknisi mesin cuci terdekat. Setelah berhasil menghubungi seorang teknisi, gue menyalakan soft jazz music dan membuat secangkir kopi. I need to put myself together again.
Gue membawa kopi itu ke ruang tamu dan duduk menikmati musik sambil mengamati apa yang saat itu sedang terjadi. Gue mengingat-ingat bagaimana tadi gue menjadi panik melihat air yang merembes banyak. Sisi akuntan otak gue langsung alert. Sejak kapan keran itu bocor? Berapa banyak air yang terbuang? Bakalan sebesar apa tagihan air bulan depan?
But then, sisi kesadaran gue bilang, ‘Chill… it’s not our first rodeo. Tahun lalu bahkan lebih parah and we survived! Udah, tinggal dibayar aja. Ga bakalan segede tahun lalu, koq.’ Dan seolah menyetujui pendapat si kesadaran, si otak akuntan gue pun perlahan tenang.
Namun berikutnya, sisi ego diri gue yang muncul. Ia menuntut keadilan atas uang yang sudah gue keluarkan dan kepercayaan yang sudah gue berikan pada orang tersebut. Semuanya jadi terasa sia-sia dan malah terus-menerus menimbulkan masalah.
Baca juga: How Minimalism Helps to Understand Myself Better
Sisi kesadaran gue yang tadi nongkrong bareng si otak akuntan bangkit. Ia mendekati si ego and compassionately said, ‘Ya udah sih, Wir… semua udah terjadi. Ga usah dibahas lagi. Ingat, yang bikin kita susah tuh lebih sering bukan masalahnya, tapi dramanya. Yakin, deh... semua itu ga ada yang sia-sia. Sekarang fokus sama masalah teknisnya aja yang perlu segera ditangani.’ Si ego pun diam, tanda setuju.
Sejurus kemudian gue dan kesadaran gue ikut diam bersama si ego dan si otak akuntan. Gue berusaha memahami apa yang sedang terjadi.
I believe everything happens for a reason. Dan walau kejadiannya tampak tidak mengenakkan, alasan dibaliknya selalu baik. Karena begitulah hukum alam semesta. Semesta itu selalu baik pada kita.
Gue lalu mengingat-ingat… seminggu belakangan ini gue sedang berlatih untuk menjadi lebih tenang agar tidak mudah terpengaruh energi dari outside environment.
Selama enam bulan terakhir gue merasa begitu lelah dan tanpa sadar menjadi tertekan oleh orang-orang yang datang dari berbagai penjuru mata angin. Mereka semua membawa masalahnya ke sini. Dan gue ga tau kalau gue menjadi begitu kelelahan dan kewalahan olehnya.
So, I’ve actually been trying to help myself and get myself back to the center again. Jadi gue melihat bahwa kejadian ini mungkin semacam uji coba, test drive, atau pop quiz terhadap apa yang sedang gue latih.
Baca juga: Is Life about Making Mistakes?
Gue balik mengamati kondisi sekitar. Gue ngecek si otak akuntan dan si ego. Mereka masih berada dalam marwah kerjanya. Namun karena leash-nya gue pegang, mereka ga menggila.
Gue lalu tersadar bahwa tugas mereka memang seperti itu. Most probably they are my fear-based and control-based ego. Jika benar, maka itu adalah mekanisme perlindungan diri yang secara otomatis dibangun oleh diri gue yang merasakan kondisi bahaya. Jadi pada dasarnya mereka hadir untuk melindungi gue dengan caranya sendiri-sendiri itu. Therefore, I have to play my role as the master to control them, to hold the leash, and to tell them that we are not in danger. All is well.
So, slowly I approached them and gently talked to them again. Gue juga ingatkan mereka bahwa kita punya prioritas yang sedang kita coba tegakkan, yaitu kondisi damai dan tenang hati kita yang unwavering regardless of our surroundings.
Since everything has its own cost, the above case could have cost me a lot. Kalau tadi gue ngikutin itung-itungan otak akuntan dan keinginan si ego, cost-nya justru jadi jauh lebih mahal. Harga yang harus dibayar lebih dari sekadar uang, tapi juga hubungan baik antar manusia dan kondisi mood pagi gue yang rusak yang berpotensi memengaruhi keseluruhan aktivitas hari itu.
Bukan hanya itu, emosi kesal yang dibiarkan lepas itu akan direkam oleh otak. Setelah itu, otak akan menyimpannya dalam memori jangka pendek. Lalu kalau urusan ini belum juga resolved dan tertimpa oleh memori baru, maka otak akan memindahkannya ke dalam memori jangka panjang.
Memori itu kemudian akan dimainkan sewaktu-waktu dan terus-menerus. Waktunya ga tentu, kapan aja. Semaunya otak. Entah itu saat bangun pagi, ketika bekerja, saat hendak tidur di malam hari, pokoknya randomlah.
Memori di otak itu juga didukung oleh memori di tubuh yang menyimpan emosi kesal itu. Walhasil, setiap kali rekaman gambar itu muncul, rasa yang sama akan hadir. Jadi lah gue akan tiba-tiba menjadi kesal kembali. Rasa kesal ini kemudian mengundang memori lain dengan rasa yang sama, mirip, atau turunannya. Akhirnya mereka bergulir bak bola salju.
Baca juga: Quiting My Job Has Changed My Life for the Better (and Brighter)
Karena ia terus-menerus datang dan diberi makan emosi sejenis, subconscious mind gue jadi akrab dengan jenis emosi itu. Gue jadi terbiasa dengan kehadirannya dan malah nyariin kalau dia absen. Lama-kelamaan, emosi ini berkontribusi dalam pembentukan karakter diri gue yang cerminannya terpampang nyata dalam sikap dan perilaku gue, which I believe I won’t be proud of.
Now you see… mahal sekali kan, cost-nya?!
So, I’m glad that I’m writing this as a reminder for myself. Logika gue sekarang jadi memahami lebih baik karena gue ga pernah memikirkan dan melakukan hal semacam ini sebelumnya. Writing does help to untangle mind and clear murky water.
Satu jam kemudian, sebagaimana yang telah dijanjikan, teknisi mesin cuci datang. Dengan hanya menggunakan sebuah alat semacam obeng panjang, ia memperbaiki pipa mesin cuci. Kurang dari sepuluh menit semua sudah beres.
Saat gue tanya berapa ongkos yang harus gue bayar, sang teknisi terlihat sungkan dan bingung. Tampaknya ia tidak tahu berapa tarif yang dipasang karena itu bukanlah masalah yang besar. Pada akhirnya, gue yang mengambil inisiatif memberikan ongkos yang pantas, sekalian menjaga hubungan baik kalau-kalau di masa depan gue butuh bantuannya lagi.
Cost itu, secara rupiah, ternyata jauh lebih kecil karena tidak ada benda tambahan lain yang perlu dibeli dan diganti sebagaimana yang dikatakan orang yang kemarin mengganti dan memasang pipa. Hhhmmm... this is another new lesson for me.
Tapi yang paling penting: it doesn’t cost any internal chaos in me. Masalah langsung kelar, pikiran dan hati gue lebih tenang. Roda hidup kembali berputar normal. Gue bisa langsung doing the laundry dan melanjutkan hari-hari. Well, plus bonus gue bisa tetap menjaga hubungan baik antar sesama. I guess everybody wins!
Photo by Karolina Kaboompics:/www.pexels.com
Comments
Post a Comment