A PIECE OF THE PAST - A QUEST TO LEARN ABOUT FEELING
On a normal day, I like to write in the morning - when the air is dewy fresh and the mind is calm. But not today. Hari ini gue menulis usai bekerja, saat waktu menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Bukan hanya itu, alih-alih creating ambience dengan menyalakan soft jazz atau bossa nova, gue justru ‘meminta’ ditemani oleh series fave gue “Melissa and Joey”.
Celoteh ringan dengan guyonan khas Joe, Mel, dan kedua keponakannya menjadi suara bising yang sengaja gue pasang. Gue pun tersadar, jangan-jangan suara bising itu hanyalah pengalihan issue belaka. Jangan-jangan ada emosi yang sengaja gue sembunyikan karena gue menolak untuk merasakannya.
Baca juga: Why Do I Have to Pray for The Thing That I Don't Want? - A Diary
Before I learned about feelings and emotion, I used to make myself numb and I didn’t know that. Gue baru tau saat di suatu sesi workshop, kami diminta untuk merasakan sebuah perasaan. Saat itu, dengan polos dan cueknya gue bertanya pada sang coach gimana caranya merasakan perasaan.
Sang coach tidak bisa menyembunyikan kekagetannya akan pertanyaan gue. Dia sendiri kebingungan untuk menjawabnya. Dia juga bingung koq ada manusia yang ga ngerti gimana cara merasakan perasaannya sendiri. Melihat reaksinya, sepertinya gue adalah kasus pertama yang pernah ia jumpai sepanjang nyaris dua dekade karirnya.
Sejak saat itulah gue merasa menjadi bahan tertawaan para senior, orang-orang yang telah jauh lebih lama belajar di sana. Gue yang dengan rajin mencatat sebagai pengingat untuk gue ulang dan gue pelajari lagi, ditertawakan oleh salah satu mereka. Katanya yang kayak gitu aja koq dicatat.
Lain waktu, saat coffee break, gue bertanya pada seorang senior tentang materi yang tidak gue pahami. Senior yang lain lewat dan sempat berhenti sejenak menyimak obrolan kami. Lalu sambil berlalu ia tertawa. Ia berjalan ke arah a group of people - yang adalah teman-temannya - sambil dengan cuek dan lantang mengabarkan hasil keponya dengan pembicaraan gue dengan seorang senior itu. “Dia masih kenceng ininya (sambil menunjuk ke pelipis kanannya). Masih pakai otak,” katanya diiringi tawa... atau lebih tepatnya perangai menertawakan.
Baca juga: Why Do I Have to Pray for The Thing That I Don't Want? - The Lesson Revealed
Well, when I said I don’t know how to feel, bukan berarti gue hidup kayak zombie yang ga punya perasaan. Gue ngerti emosi standar seperti happy, sad, angry, empathy, atau disgust. Tapi gue seperti tidak punya kendali terhadap diri gue sendiri. Perasaan dalam bentuk emosi itu selalu merupakan produk dari environment which is outside of me.
Gue ga ngerti bagaimana caranya mengundang dan merasakan suatu perasaan. Gue ga tau gimana cara create perasaan tanpa ada outcome yang jelas, yang menimbulkan suatau perasaan. You know, that thing like, “Coba pejamkan mata Anda dan rasakan bagaimana perasaan Anda jika saat ini Anda memiliki Alph*rd yang sangat Anda inginkan itu. Apa yang Anda rasakan? Rasakan perasaan itu lebih besar lagi.” And so on and so forth. And I was just like… “Whaaaat???”
The story went on and on dari satu pertemuan ke pertemuan berikutnya. Gue terus menjadi bahan tertawaan (I'm not sure if that's considered bully) bukan hanya oleh beberapa senior, bahkan salah satu coach yang mulutnya agak lentur juga ga segan untuk ngeledekin gue right to my face.
Rasanya ga cuma malu, tapi juga discouraging. It made me feel so small and stupid. Tapi itu tidak menyurutkan niat gue untuk belajar. Dan itu semua karena sang coach, the main coach, who didn’t give up on me.
Baca juga: Is Life about Making Mistakes?
Waktu berlalu dan di suatu pagi, while doing the chore, gue mendengarkan podcast Lewis Howes di School of Greatness. Saat itu bintang tamunya adalah Dr. Joe Dispenza. Ceritanya, Dr. Joe, who is an American, sedang tour seminar di Australia. Di sana, ia diwawancarai oleh sebuah stasiun TV.
Usai wawancara, pewara bertanya secara personal kepada beliau. Ia curhat sesuatu dan meminta saran Dr. Joe. Salah satu saran Dr. Joe adalah tentang merasakan perasaannya. Sang pewara kemudian bertanya tentang bagaimana cara merasakan perasaan.
Mendengar pertanyaan itu, Dr. Joe ternyata sama terkejut dan sama bingungnya dengan coach gue. Detik itu juga gue langsung berhenti melakukan chore. ‘It was exactly my case!’ bisik hati gue. Dengan sabar gue menunggu jawaban Dr. Joe. Beliau kemudian merespon dengan tanya balik ke pewara something like, “If you don’t know how to feel, what feeling do you usually practice?”
Baca juga: Let Me Wear That Clown Mask Coz I Don't Deserve Happiness
BOOM!!! Bak ledakan big bang, seketika itu juga gue memahami apa yang terjadi dalam diri gue dan mengapa gue tidak paham bagaimana cara merasa. ‘What kind of feeling do I usually practice?’ tanya gue pada diri gue sendiri.
Perjalanan mengenal perasaan dan belajar merasakan perasaan was quite a quest for me. Jalannya berliku terjal, mendaki gunung, lewati lembah, pokoknya Ninja Hatori banget. And I deliberately chose that as jalan ninja gue coz it changed my whole perspective about life.
Now I’m learning to extent my vocabulary of feeling and keep what sparks joy in me. Yeah, Marie Kondo, thanks for that phrase. That “sparks joy” better works here than in my closet.
Comments
Post a Comment