IS MARRIAGE FOR EVERYONE?
Gue sangat bersyukur hidup di zaman sekarang di mana keran informasi dan pengetahuan mengalir deras terbuka melalui berbagai platform. In a way, kita jadi teredukasi, jadi belajar, jadi berpikir, dan mengundang pemikiran lebih jauh melalui pertanyaan semisal “Is marriage for everyone?” Lalu lanjut dengan pertanyaan, "Can we say no? But why does it sound compulsory?"
Masa-masa keemasan becanda ala “Menikah itu enaknya 10% doang. Sisanya uenak banget” sepertinya sudah kehilangan pamornya untuk digunakan sebagai flexing stage level hidup seseorang yang merasa sudah lebih tinggi daripada lawan bicaranya yang baik secara ngerti atau ga ngerti sebenarnya sedang gaslighting.
Walaupun begitu, di tengah maraknya topik perselingkuhan baik dalam cerita fiksi layar kaca maupun thread trending topik yang diedarkan berdasarkan kisah nyata, institusi suci ini tetap berada pada kedudukan yang berada jauh di pedestal sana. Tetap dikejar dan diinginkan banyak orang. Akan tetapi, apa benar enaknya hanya 10% dan sisanya uenak banget??
I don’t have the answer to that and I’m not planning to conduct any research to find the answer either. I was just simply wondering if that statement is really true.
Komedian Amerika berdarah Jepang-Taiwan, Atsuko Okatsuka, pernah berkelakar mengenai pernikahan saat mengisi acara The Late Late Show with James Corden. Ia mengatakan bahwa orang menikah itu bertingkah laku seperti anak-anak. Mereka seolah menemukan best friend-nya dan ingin selalu menghabiskan waktu bersama best friend-nya itu, persis seperti anak-anak.
Baca juga: DIminta Melafalkan Ayat Suci Oleh Mahasiswa Amerika
D*ng it!! She’s right. Gue relate banget dan jadi teringat masa kecil. Rasanya menyenangkan saat akhirnya punya best friend dan emang beneran maunya hanya main sama dia. But then, just like children, saat ada orang baru yang hadir di tengah-tengah antara kita dan bestie, salah satu dari kita akan cemburu, depend on kepada siapa orang itu dekat. Lalu, saat berantem dan marahan, ego menjadi sangat besar. Dari mulai bersikap passive aggresive hingga akhirnya tak bertegur sapa, putus hubungan, bahkan bersikap seolah mereka strangers.
Kebutuhan biologis - which is alamiah, dongeng pencarian cinta yang dikonsumsi sejak kecil, kisah rom-com di layar kaca, biological clocks, hingga tekanan eksternal, mendorong individu untuk memasuki episode kehidupan pernikahan entah apa pun caranya. Dan ibarat game, kalau lu udah masuk fase ini, berarti lu udah kunci satu level.
Di level ini, lu bakal aman. Ga ada yang mengolok-olok lu lagi. Orang tua lu juga merasa bahagia telah mengantar lu pada gerbang ‘kesuksesan’ itu. Dan ga ada lagi yang malu sama tetangga dan keluarga besar karena lu sudah punya status baru. Status dengan pengakuan yang valid.
'Bahagia' ga selalu masuk dalam agenda utamanya karena ga setiap orang beruntung menikah dengan orang yang benar-benar mereka cintai sehingga punya tujuan bahagia bersama. Besides, bahagia itu kan kita sendiri yang menciptakan. So, create that happiness along the way. Seperti kata para sesepuh “Witing tresno jalaran soko kulino”, cinta hadir karena telah terbiasa dengan keberadaan orang tersebut.
Well, I believe that quote might have worked during that era, but these days?
![]() |
Photo by Beatriz Pérez Moya on Unsplash |
Bestie gue yang menikah tepat setelah sidang skripsi, lama ga ada kabarnya. Lalu tiba-tiba ia menghubungi gue. Kami sangat excited bisa kembali ngobrol. Namun saat gue semangat untuk mengunjungi dia di kotanya sekalian liburan, ia dengan tegas dan cepat menolak ide itu.
Walau awalnya terkejut, gue kemudian memahami alasannya. Ia meminta gue untuk bersabar hingga waktu yang lebih baik. Ia kemudian menceritakan kehidupan pernikahannya dan itu membuat gue menjadi sangat sedih.
Kali lain, bestie gue dari masa dan circle yang berbeda juga kembali kontakan setelah sempat menghilang setelah ia menikah dan punya anak. Ia datang mengunjungi gue dan kami ngobrol kangen-kangenan seharian. Gue menumpahkan isi hati yang kecewa karena merasa dianggap sebagai tamu saja saat ia menikah. Gue dan dua orang teman lain dalam circle kami tidak diajak sibuk mempersiapkan hari bahagianya seolah kami bukan teman dekat. Saat itulah baru ia bercerita alasan dibalik itu semua.
It broke my heart to hear everything that she said. Gue memeluknya. How could she dare to take that road and vow to stay on the lane and risk her life and happiness for the rest of her life? Gue sama sekali ga pernah menduga hal itu terjadi to someone who is very dear to my heart.
And the recent story is coming from another bestie, again from a different time frame. Kami yang lama sekali ga kontakan tiba-tiba kembali bertemu. Namun kemudian, suatu hari tetiba ia mengirimkan pesan singkat yang meminta gue untuk mendoakan dia dan anak-anaknya agar lebih kuat karena suaminya telah menceraikannya.
WHAT IS GOING ON???
Baca juga: Diadang Mahasiswa Amerika Usai Presentasi di Kelasnya
Gue tidak selalu tahu apa yang harus gue katakan atau apa yang bisa gue lakukan untuk membantu bestie-bestie gue itu. I’m not even married! How would I know?? All I can do is just being a good listener and be there with them when they need me.
But to hear all the stories they shared really broke my heart. It was also eye-opening that we never know what’s behind the closed door.
Mengapa pernikahan yang begitu diinginkan nyaris setiap orang di dunia, yang konon menjanjikan kebahagiaan, justru menjadi seperti gol bunuh diri yang menyakitkan hati, menggerogoti tubuh dan bahkan mungkin menghilangkan akal sehat?
Sure, it’s never easy to bring together two heads. That’s totally normal. Gue memang belum menikah, tapi gue ngalamin tinggal dengan roommate yang ga selalu sejalan. Take Panda as an example, salah satu roomie gue back in the States (cuplikan ceritanya ada di sini). So, I can totally understand how challenging life can be to spend every single day with the same person nearly 24/7, 365 days a year. I believe that’s the ultimate commitment! I bow to that and salute you.
Sure, it’s about all those reasons under any circumstances that people create to make it sound legit, even intelligent and noble. And there’s nothing wrong with that. Besides, it’s everyone’s right and choice in life. So, semua itu sah-sah aja.
Look, I’m not trying to be bitter here. I’m just simply trying to do a reality check with all the concepts and questions that linger in my head. So, I can’t help but wonder…
Bila tidak ada dongeng yang bertemakan anak perempuan yang bertemu dengan pangeran berkuda putih lalu hidup happily ever after, akankah anak perempuan tidak terobsesi mencari sang pangeran dan so-called cinta sejatinya itu?
Bila tidak ada rom-com dan hari kasih sayang, akankah kita tidak menjadi cemburu pada orang lain yang memiliki pasangan dan membabi buta untuk mencari (again) so-called cinta?
Bila tidak ada pressure dari keluarga dan persepsi sosial terhadap pernikahan, akankah orang merasa lebih bebas untuk hidup dan menentukan pilihan terhadap pernikahan dan kapan akan menikah?
Baca juga: Asap Mengepul Akibat Telur Ceplok
To give it a second thought, I guess the answer maybe not. Itu semua ga ngaruh. Lihat saja karya Shakespeare yang legend banget - Romeo and Juliet - yang sudah ada jauh sebelum Hans Christian Anderson dan Brothers Grimm menulis cerita mereka. Not to mention legenda yang kita punya seperti Sangkuriang dan Bandung Bondowoso.
Cinta, kasih sayang, dan berbagi reciprocally adalah basic needs of a human being. Tanpa dongeng, film, atau tekanan apa pun, secara naluriah manusia akan mencari pemenuhan akan kebutuhannya itu. So, I guess the question is “What do we actually need?”
Do we need someone to love us? But then, do we even love ourselves? Do we need someone to complete us? But have we felt whole with ourselves? Are we protecting our family from social pressure by getting married? But why are we failing to protect ourselves in marriage? Dan masih banyak pertanyaan lain yang mungkin perlu kita gali sendiri karena setiap dari kita memiliki kondisi uniknya masing-masing.
Gue yakin, cerita yang gue sajikan di atas hanya kebetulan part yang sedihnya aja yang gue terima, karena jarang ada kan orang yang pamer hidupnya yang bahagia? I mean… biasanya kan orang kalau lagi bahagia dinikmati sendiri aja for the sake of happiness itself. Justru yang flexing kebahagiaan itu malah yang 'sesuatu'.
Baca juga: Dikejar dan Dihentikan Polisi di Amerika
Gue juga yakin ada banyak cerita bahagia dan mengharu-biru tentang pernikahan di luar sana yang belum gue baca atau gue dengar sebagaimana kisah mendiang Presiden Habibie dan Ibu Ainun. Kedua tokoh besar bangsa itu pun mengarungi dinamika hidup bukan hanya pernikahan, tapi juga masa muda mereka selayak kita semua.
All in all, is marriage for everyone? Again, that’s not for me to answer, and still, I don’t intend to do any research about it. Coz we all have the answer deep down within us if we dare to meet our true self to confront this question to him/her.
Anywho, kalau kita lagi jalan dan nabrak bangku, tentu bukan bangkunya yang salah. And so is marriage. Bitter or sweet, bukan pernikahannya yang salah. But let experts discuss further about that issue.
As for me, what happens to my besties tidak membuat gue menjadi takut akan pernikahan itu sendiri. Kita masing-masing memilih jalan hidup kita. Apa yang terjadi memang adalah episode yang harus dan perlu terjadi sebagai konsekuensi dari jalan yang kita pilih.
I don’t know what I don’t know. So, might as well trust who knows the best. But one thing I know for sure is what’s for me won’t pass me.
Comments
Post a Comment