STOP GALAU! PUTUSKAN SEKARANG JUGA

Photo by DS stories: https://www.pexels.com

Beberapa hari lalu gue menulis tentang bagaimana gue kembali berlatih untuk mengambil keputusan berani dengan resiko yang sangat signifikan. Gue memberi judul tulisan itu “Clearing My Energy”. Dan setelah semalam sempat gusar, pagi ini gue teringat akan hal yang terjadi pada gue dalam tulisan itu, dan kembali membuat keputusan serupa setelah lantang bersuara pada diri sendiri (walau hanya di dalam kepala), “Stop galau! Putuskan sekarang juga.”


There’s a saying, “There is no such right or wrong decision.” Tidak ada yang namanya keputusan yang salah atau benar. Yang ada hanyalah KEPUTUSAN. Benar atau salah semata merupakan persepsi yang kita buat dengan melakukan korelasi terhadap dampak dari keputusan tersebut.


Dengan demikian, keputusan itu sendiri sifatnya netral. Benar atau salah adalah keterbatasan sudut pandang kita dalam melihat keberlanjutan kejadian yang mengiringi keputusan yang kita ambil itu. Bila kita membuat parameter benarnya sebuah keputusan karena ia menguntungkan, maka apabila yang terjadi adalah kebalikannya tentu kita akan menganggap bahwa keputusan itu salah.


Artikel terkait: Let Go And Trust the Process - What's Meant for You Won't Pass You By


Akan tetapi, apabila kita melihat sebuah keputusan sebagai pilihan di antara dua atau lebih tikungan yang perlu kita pilih dalam sebuah perjalanan, maka itu tak lebih hanyalah sebuah keputusan. Tinggal dilalui dan dinikmati saja. Pun jika ternyata salah belok, jika kita punya GPS, kita tinggal mengaktifkan GPS untuk mereposisi dan menavigasi.


Nah, gue sedang belajar untuk menggunakan GPS yang terhubung dengan Semesta dan mendidik diri gue untuk belajar mereset paradigma gue dalam melihat dan mengambil sebuah keputusan. Dan mungkin karena sedang belajar, maka Tuhan pun memberi ujiannya kembali untuk melihat apakah gue sudah memahami dengan lebih baik. Mungkin seperti itu…


Keputusan yang baru saja gue eksekusi beberapa menit lalu sebelum tulisan ini dibuat masih berkutat pada topik yang sama yaitu tentang kerjasama dengan klien. Setelah dua minggu lalu gue mengundurkan diri bekerja dengan klien A, minggu lalu gue melakukan hal serupa dengan klien B, dan hari ini dengan klien C.


The thing is… gue sama sekali tidak meniatkan dan merencanakan hal tersebut. Semua terjadi begitu saja on that very second. Bisa dikatakan keputusan itu datang begitu saja di suatu ketika. Memang sih ada triggernya yaitu perilaku klien yang kembali terjadi dan berulang selama beberapa bulan.


Artikel Terkait: Sorry, I Choose Not to Engage With the Way You Practice Self-Worth


Ya, perlu sekian bulan, bahkan tahun, untuk gue menjadi tersadar akan hal tidak nyaman yang gue tahan dan terus berulang terjadi dari waktu ke waktu bahkan tahun ke tahun. Literally that long.


Mudah sekali bagi otak untuk memberikan argumen dan hitung-hitungan matematis terhadap kerugian yang akan gue tanggung secara finansial bila gue memutus kerjasama. Selalu saja hal itu yang gue gunakan sebagai bahan evaluasi or in my case perhaps more like self-sabotage. Dan hal itulah yang sempat membuat gue lumayan terjaga semalam ketika pikiran tentang mengundurkan diri dari klien C tiba-tiba saja hadir.


Gue juga bertanya-tanya apakah keputusan ini membuat gue menjadi impulsive, apakah gue menjadi egoistic, apakah gue menjadi sombong sok ga butuh duit? Tapi, aah… gue tidak mau beradu argumen dengan diri gue sendiri. Ga bakalan bisa menang. Yang ada malah tambah galau dan ruwet sendiri.


Gue pun membiarkan saja pertanyaan-pertanyaan itu mengambang dan justru gue tinggal tidur. Toh katanya kalau ada masalah tidak usah terlalu dipikirkan. Ditinggal tidur saja. Nanti juga solusinya akan datang sendiri.


Artikel Terkait: Sudah Menyerah Saja Pada Hal Yang Berada Di Luar Kontrol Kita


Esok paginya, seperti biasa, memori jangka pendek otak gue kembali memutarkan apa saja yang baru-baru ini terjadi - termasuk masalah tersebut. Mungkin karena kondisinya masih pagi, gelombang otak gue masih transisi dari Delta ke Alpha, belum masuk ke beta. 


Maka, gue manfaatkan hal itu dengan tidak menggunakan otak gue untuk menerjemahkan pikiran itu ke dalam bentuk kata-kata. Gue juga menahan diri untuk tidak membuka file lama karena ia berpotensi mengundang gambar yang terproyeksi dari memori masa lalu baik tentang masalah itu mau pun hal-hal yang berkaitan dengannya. Bila hal itu tidak dikendalikan tentu akan akibatnya bak menyiram bensin pada bara api. Gue akan semakin rungsang dibuatnya.


Instead, gue mencoba untuk terhubung melalui GPS dengan semesta. I quiet my mind dan mencoba menggunakan rasa di hati. Gue membiarkan apa pun yang hadir di dalam sana. Dan perlahan gue dapat merasakan sebuah perasaan ga enak menyeruak keluar.


Itu adalah perasaan yang direpresentasikan melalui masalah yang saat itu gue hadapi. Rasanya teramat sangat ga enak. Ada rasa gelisah yang tak kunjung usai, kesal yang dikulum dengan alasan bersabar, keceriaan yang dipalsukan, dan jengkel luar biasa saat klien berperilaku kelewat batas dan gue tidak bisa berbuat apa-apa selain diam dan mengalah.


Artikel Terkait: Let Yourself Be Guided


Akhirnya gue pun menyadari, sebagaimana hal yang gue rasakan dengan klien A dan B, gue juga merasakan kewaspadaan manakala ada agenda pertemuan dengan mereka. Setiap ada jadwal dengan mereka, sejak pagi hari gue sudah alert dan siap-siap menerima dan merespon kejutan perilaku mereka hari itu. 


Karena gue memraktikkan hal ini setiap minggunya, tanpa sadar gue terus-menerus menarik penderitaan di masa depan sehingga lupa untuk menikmati masa kini. Dan alert mode itu ternyata adalah perasaan yang sangat melelahkan yang tidak gue sadari dan telah gue jalani selama bertahun-tahun.


Memang salah gue yang tidak membangun sistem yang jelas terhadap kerjasama kami. Semua terlalu bersifat kekeluargaan sehingga gue pun jadi ga enak hati untuk menetapkan batasan atau aturan. Walhasil, gue “rela” diperlakukan semena-mena. DAN GUE TIDAK MAU DIPERLAKUKAN SEPERTI ITU LAGI!


Ya, gue memilih untuk tidak lagi diperlakukan seperti itu. 


Semenjak awal gue melakukan pekerjaan ini, gue memang tidak menganggap hal ini sebagai bisnis. Ini hanyalah pekerjaan sekadar mengisi waktu luang. Jadi memang gue sangat santai dan semua bersifat kekeluargaan - termasuk soal harga. Tak heran bila kemudian ini semua terjadi. Gue memanen apa yang gue tanam sendiri.


Baca juga: Life Doesn't Happen to You, It Happens for You


But I’ve learned my lesson the hard way. Bahwa mau sedekat apapun hubungan kita dengan partner bisnis kita, business is business. Ada aturan tertentu yang perlu dibuat dan disepakati bersama demi kelancaran kerjasama.


Dua minggu lalu gue mulai membuat aturan tersebut dengan potential client yang baru dan ini menjadi panduan bagi gue dalam menjalankan bisnis gue. At this point, I have to say that boundaries are really important for any relationship. It’s a healthy way to keep the interconnectedness between one another.


Kembali tentang menghubungkan diri dengan GPS Semesta, gue belajar dari Abraham Hicks bahwa sebelum melakukan sesuatu hal apalagi itu penting, ada baiknya bagi kita untuk masuk ke “vortex”. Walau tidak begitu paham apa yang beliau maksud dengan vortex, gue mengikuti petunjuk beliau. 


So, dengan memanfaatkan keheningan pagi dan kondisi gelombang otak gue yang masih disekitaran Alpha state, gue mengambil posisi meditasi. Gue berdiam diri untuk mengurai benang kusut tumpukan issue lain yang hadir pagi itu selain masalah yang gue ceritakan di atas.


Gue tidak sedang mencari solusi. Gue hanya literally diam untuk mengendapkan kekeruhan pikiran. Gue mengatur nafas dan merasakan nafas gue. Perlahan perasaan menjadi lebih tenang. Gue merasa lebih rileks dan perlahan gue merasakan sensasi di syaraf otak gue. Entah apa yang sedang terjadi di dalam sana.


Gue bertanya pada diri gue tentang apa yang sebenarnya ingin gue rasakan. Secepat kilat jawabannya muncul. Gue suka merasakan kedamaian. Gue juga sangat excited bekerja dengan klien yang sinergis. Bekerja bersama mereka membuat pekerjaan terasa sangat bergairah dan menyenangkan. Tak jarang bahkan kami saling mengisi dan menginspirasi.


Berbekal itu semua, gue pun memfokuskan hati pada rasa yang gue sukai itu. Gue pun berusaha untuk terhubung dengan perasaan yang ingin gue akses itu and try to stay in that state for as long as I could.


Perasaan serene kemudian mengaliri seluruh hati bahkan tubuh gue. I guess this is it!


Saat kembali ke normal state, gue pun teringat akan bagaimana lega dan ringannya perasaan gue setelah gue mengundurkan diri bekerja dengan klien A dan B. Tidak ada penyesalan. Yang ada hanya perasaan yang lebih tenang.


Gue tidak lagi merasa berat menjalani hari ketika harus bertemu dengan mereka. Dan itu berdampak besar dalam keseluruhan hari-hari gue. Hidup terasa jauh lebih ringan seolah gue berjalan di awan setiap harinya.


Guru spiritual seperti Erbe Sentanu dan Sun Yoon Lee juga mengajarkan tentang rasa enak dan tidak enak sebagai salah satu indikator dalam mengambil sebuah keputusan. Rasa itu menjadi rambu dan petunjuk. Dan kita, manusia, diberi free will untuk mengikutinya atau menggunakan pertimbangan lain. 


Sementara itu, dalam Map of Consciousness yang digagas oleh David Hawkings (yang peta lengkapnya dapat dilihat di sini), skala emosi dalam situasi gue yang hadapi dengan perasaan tidak nyaman berada di kisaran angka 30 - 100. Namun setelah switch ke perasaan yang lebih enak, skalanya melejit mencapai 600 dikategori damai.


So, why staying at the lower scale kalau ternyata bisa naik ke skala yang tinggi? Lagipula bila pertimbangannya adalah pemasukan, bukankah gue mengecilkan ke-Maha Kuasa-an Tuhan, Sang Pemberi Rizki, karena takut tidak ada pemasukan bila mengundurkan diri?


Dengan perasaan hati yang jauh lebih tenang dan damai, gue berdoa memohon izin pada Tuhan untuk melepaskan tangan gue dari klien C. Gue berterima kasih atas segala rizki yang diberikannya, termasuk untuk memampukan diri gue mencintai diri gue dan memprioritaskan diri gue.


Maka, dengan tanpa membuat pertimbangan lagi, gue langsung mengirimkan pesan pada klien C. Seketika setelah mengirim pesan itu, katup survival gue terasa seolah terbuka lebar. Perasaan lega pun membanjiri diri gue.


Alih-alilh melihat jadwal kosong sebagai income yang berkurang, gue memandangnya sebagai kesempatan yang gue pilih secara sadar untuk beristirahat. Ya, secara fisik gue memang sedang butuh beristirahat. Apalagi gue berencana untuk pindah rumah bulan depan.


Secara psikologis gue juga ingin mengkonstruksi ulang pemahaman akan diri gue sendiri. Gue perlu mereset belief system dan penghargaan terhadap diri gue sendiri. 


Gue tidak lagi mengizinkan diri gue diperlakukan semena-mena oleh orang lain. Bila mereka tidak bisa menghargai pekerjaan orang lain, maka itu adalah PR diri mereka sendiri. Gue tidak perlu berpartisipasi di dalamnya dengan merendahkan diri gue sendiri. 


Tanggung jawab gue adalah menghargai dan mencintai diri gue dengan lebih baik dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam bisnis.


Gue pun jadi belajar bahwa semakin gue sadar membuat definisi yang berbeda terhadap apa yang gue kerjakan, semakin tercerahkan cara pandang gue. 


Respon balik dari klien C sudah gue baca beberapa menit lalu. Beliau dapat menerimanya dengan baik karena gue masih bersedia bekerjasama dengan salah satu kliennya yang lain.


Perasaan gue menjadi jauh lebih lega. I’m getting more energized and highly spirited to open the door more widely to welcome more exciting people and experiences through the world of what we call business.


So, kalau kalian sedang dalam kebingungan membuat keputusan, stop galau! Putuskan sekarang juga.

Comments

  1. Betul, tidak boleh galau atau bimbang, tentukan dan hadapi apapun yang terjadi dengan pilihan yang diyakini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you for dropping by. I came across this writing only to realize that at times making decision is really not easy. And this is such a reminder for myself to get back to the centre when not knowing what to decide.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

WHY HEALING YOUR PAST IS THE KEY TO TRUE GROWTH

WHY LEAVING MY 9-5 JOB WAS THE BEST DECISION FOR PEACE AND SUCCESS