ME AND JOURNALING

Kemarin malam hujan turun. Maka, pagi harinya, walaupun tidak ada dalam agenda hari itu, gue langsung bergerak mengenakan sarung tangan berkebun dan mencabut tanaman liar di petak kecil tanah di serambi rumah. Sudah sekitar dua bulan gue ingin melakukannya, tapi hujan tidak kunjung turun karena tanpa hujan, sangat berat mencabut tanaman liar tersebut.

Ada tanaman liar yang mengakar kuat. Karena tidak punya alat berkebun, gue hanya mengandalkan tangan saja untuk mencabutnya dan itu meninggalkan rasa pegal yang teramat sangat setelahnya. Gue jadi bertanya-tanya, ‘Sejak kapan tanaman itu ada di sana? Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai mengakar kuat seperti itu?’


Baca juga: Tantangan Meditasi dan Bagaimana Gue Mengatasinya


Gue tidak ingat kapan kali terakhir gue mencabut tanaman liar di taman kecil rumah sewa yang gue tempati  itu. Mungkin sekitar lima sampai enam bulan lalu. Dan selama kurun waktu tersebut, tampaknya gue tidak memberi perhatian pada si taman kecil. Sedang sibuk apakah gue sampai-sampai tidak meluangkan waktu untuk sekadar menyiram dan mencabut tanaman liar?


Gue pun mencari fakta melalui dokumen tertulis dalam journal gue. Gue memulai penelusuran pada awal tahun untuk mencari di mana letak benang kusutnya. Dan, ketemu… gue jadi paham apa yang sedang terjadi pada gue pada masa-masa itu. Gue begitu fokus membantu diri gue sehingga tidak ada ruang dan energi yang bisa gue bagi dengan taman kecil itu.

Photo by Ketut Subiyanto: https://www.pexels.com

Sebagaimana dokumen-dokumen yang kita buat dalam pekerjaan, journal yang kita tulis juga menjadi dokumen penting yang mencatat kejadian-kejadian dalam hidup kita. At times, ia menjadi memori yang membuat kita kembali ingat pada masa lalu. Ia juga menjadi teman setia yang bersedia dicurhatin kapan saja sehingga kita bisa merasa lebih lega saat ada rasa yang menghimpit dada. Di lain waktu, ia menjadi teman diskusi untuk mengurai tangled-mind. 


Journal juga menjadi catatan sejarah tentang proses perkembangan diri kita. Ia juga menjadi data untuk mempelajari pola dan melihat grafik kehidupan kita sendiri. Di sana juga tertuang penemuan-penemuan terhadap ide, gagasan, pemahaman, bahkan mungkin teori.


Even though I’m not a big fan of journaling, harus gue akui manfaat journaling yang membantu perkembangan diri gue. Gambaran itu terlihat saat gue mereview tulisan-tulisan gue yang terdahulu.


Baca juga: Bersahabat Dengan Masalah


Gue jadi tahu apa yang pernah terjadi dengan diri gue. Seperti sedang menonton di bioskop, gue jadi bisa melihat apa yang telah gue lalu dan bagaimana strugglingnya gue. Membacanya menimbulkan rasa empati pada diri gue sendiri. Gue juga jadi appreciate diri gue yang mau terus mencoba dan berusaha. In the end, gue jadi lebih mengenal diri gue. I grow a more compassionate heart towards myself, and thus love myself a little more.


Ada beberapa tumpukan journal yang gue biarkan tersimpan di dalam sebuah laci. Gue ga tau mau gue apa-in journal-journal itu. Mau dibuang, sayang… tapi disimpan pun sepertinya tidak memberi banyak manfaat karena gue bahkan enggan membukanya.


Itu adalah tumpukan kisah yang kurang enak dibaca, masa-masa di mana gue sangat struggle berat dalam hidup. Saat gue membukanya, kepulan asap hitam tipis seolah menyeruak dari sana menghadirkan rasa yang tidak nyaman. 


Baca juga: Take the Time to Heal


Tidak enak, memang, but it was me. Those flaws adalah juga diri gue. Tanpa masa-masa itu, I won’t be where I am today.


Tidak enak, memang, tapi itu sudah berlalu. Itu sudah lama berlalu dan gue sangat bersyukur bahwa itu telah berlalu. 


Tidak enak, memang, namun begitulah hidup dengan semua dinamikanya. Gue “hanya” tinggal perlu menjalaninya saja.


Journaling mungkin terdengar hal yang sepele, tapi itu mungkin karena mereka belum merasakan manfaatnya. Coba dulu, deh… Gue pun berani berkomentar demikian setelah selama empat tahun ini lumayan rajin journaling.


Dari mulai yang hanya menggunakan satu buku untuk journaling, tahun ini gue menggunakan tiga buku. Belajar dari pengalaman sebelumnya, gue hanya menggunakan satu buku untuk journaling. Di sana gue menuliskan macam-macam hal baik uneg-uneg mau pun momen epiphany yang menghadirkan pelajaran hidup.


Baca juga: Let Yourself Be Guided


Saat terkadang gue ingin mereview pelajaran penting, gue cukup malas untuk melewati halaman-halaman yang bertuliskan pengalaman yang ga enak. Memberi highlight dan post-it pada bagian yang penting juga tidak banyak membantu karena akhirnya jadi enggan untuk membuka buku itu kembali.


Oleh karenanya, tahun ini gue menggunakan tiga buku. Satu buku khusus untuk curhat dimana gue bisa habis-habisan menumpahkan isi hati dengan semua perasaannya, termasuk brain dump dan analysis mind map. Satu buku lainnya gue gunakan untuk mendokumentasikan momen penting atau pelajaran hidup yang hadir pada gue saat itu sehingga aman mau direview ulang kapan pun. Lalu, gue juga menyediakan satu buku yang lain bilamana gue ingin melakukan challenge.


Gue suka menchallenge diri gue sendiri. Goalnya bebas, tergantung hal apa yang sedang ingin gue beri perhatian. Misalnya challenge untuk power walk, workout, atau meditasi. Gue tuliskan apa yang ingin gue capai, berapa lama periodenya, lalu breakdown sistemnya untuk gue praktikkan.


Baca juga: I Live with No Ambition


Dulu gue pernah mencoba bullet journal untuk membantu mencatat perkembangan challenge gue. But then, I figured that bullet journal doesn’t suit me. Gue tidak begitu menikmatinya. Mudah memang membaca trackernya, akan tetapi gue merasa pressured untuk tracking apa yang gue lakukan. Walhasil, gue malah jadi resistance, enggan untuk mempraktikkan hal yang telah direncanakan.


So, gue membebaskan diri gue dengan mencatatnya di lembar kosong. Gue bebas mencatat apa pun, termasuk masa-masa di mana gue skip latihan. 


Ideally gue mencatat apa yang terjadi on a daily basis. Akan tetapi ada masa di mana gue terlarut dalam kesibukan dan lupa mencatat. Ya, sudah… tidak apa. Gue tinggal kembali mencatatnya saat ingat.


So, folks… while indulging yourself in journaling, do put in mind to be gentle with yourself. Happy journaling!

Comments

  1. Journaling itu kayak ruang pribadi di mana kita bisa bebas mengekspresikan perasaan dan pikiran tanpa takut dihakimi. Dan yang paling penting, aku setuju kalau menulis itu bisa bikin kita lebih sadar dan lebih menghargai momen-momen kecil dalam hidup. Thanks for sharing, sangat menginspirasi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu benar. Journaling membantu untuk mengizinkan diri kita untuk menjadi vulnerable. Also thank you for the kind words. Really means a lot to me 🥰

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

WHY HEALING YOUR PAST IS THE KEY TO TRUE GROWTH

WHY LEAVING MY 9-5 JOB WAS THE BEST DECISION FOR PEACE AND SUCCESS

STOP GALAU! PUTUSKAN SEKARANG JUGA