MY BODY IS MY BUDDY


Hari Minggu itu gue pergi power walk satu jam lebih pagi dari biasanya. Tujuannya: agar dapat pulang lebih awal. Gue memang telah merencanakan hal itu sejak malam hari mengingat teriknya matahari belakangan ini benar-benar di luar kebiasaan. Dan benar saja, belum lagi genap pukul 9 pagi, panas dan terangnya matahari sudah terasa seperti nyaris pukul 11 siang.


Tiba di rumah gue tergoda melihat hula hoop. Sepertinya menyenangkan untuk lanjut main hula hoop sambil santai nonton “Detective Conan” episode terbaru yang biasanya sudah diunggah satu channel langganan gue di Youtube. Tapi gue urungkan niat itu karena masih banyak agenda yang perlu gue jalankan. Salah satunya adalah agenda yang mungkin terdengar remeh bagi orang lain.


Agenda yang mungkin remeh itu justru adalah prioritas buat gue. Itu adalah agenda yang sangat penting, yaitu “me time” with my buddy which is my body.


Baca juga: Me and Journaling


Yes, my body is my buddy. Teman dan sahabat terdekat gue ternyata adalah my body. Maka, setelah tadi pagi gue mengajaknya bergerak jalan-jalan di alam serta mengizinkannya jajan beberapa makanan yang sedang ia inginkan, gue pun membersihkan dan merawatnya. Kemudian lanjut “me time”.


What do I do with my buddy? Nothing. We do nothing. Literally nothing. That’s how we spend our quality time.


Simply I was just being mindful. Gue hanya berbaring santai mengistirahatkan pikiran dan tubuh gue lalu membawa kesadaran pada keseluruhan badan dan organ tubuh gue. Dalam diam gue berterimakasih pada tubuh gue yang ternyata telah teramat sangat berjasa dalam dan untuk hidup gue.


Dulu gue ga pernah kepikiran tentang hal itu. Gue menganggap tubuh sebagai castle yang didiami oleh roh manusia. Gue mengira bahwa tubuh tak lebih dari sekadar alat untuk menjalankan misi dan memenuhi kebutuhan tubuh manusia. Udah segitu doank. 


Baca juga: Take the Time to Heal


Oke, oke… katanya ada satu kesatuan hubungan antara mind, body, and soul. Sure, make sense. Tapi hubungan macam apa sebenarnya yang mereka miliki?


Gue sama sekali tidak memahami hubungan mereka. Oleh karenanya gue merasa begitu heran dan canggung saat di suatu workshop untuk pertama kalinya gue diajarkan untuk literally mengucap terima kasih pada tubuh kita. Like…. What??? I’m not insane!! 


Kala itu gue tidak mengetahui bahwa tubuh adalah satu kesatuan dengan diri kita. Agaknya gue menganggap tubuh sama seperti kursi, meja, dan benda mati lainnya - tak lebih sebagai alat untuk membantu manusia. Dan dengan demikian, tidakkah otak gue tambah mumet saat Marie Kondo mengajarkan kita untuk mengucap terima kasih pada benda mati sebelum melepaskannya pergi? Like… seriously???


Walau canggung, gue termasuk murid yang obedient. Jadi, yaaah… tetap gue ikuti cara dan saran untuk mengucap terima kasih pada tubuh gue. Gue memulainya dengan berterimakasih pada kaki yang selalu kuat membawa gue jalan ke mana-mana. Lalu beranjak pada tangan yang memampukan gue melakukan banyak kegiatan. Kemudian gue berterimakasih pada indera yang lain seperti mata, telinga, hidung, dan indera pengecapan.


Baca juga: Bersahabat Dengan Masalah


Pelan-pelan gue belajar untuk membiasakan diri walaupun tidak dapat dipungkiri kadang rasanya begitu aneh. Namun at least, gue sudah sedikit mendapat gambaran dan pemahaman. Yah, paling tidak gue belajar untuk menghargai dan berterima kasih. 


Saat mengikuti latihan senam ‘qigong’ di sekitar kompleks tempat tinggal gue dulu, gue juga diajarkan hal yang sama. Setelah selesai senam, kami dibimbing untuk mengusap tubuh bagian belakang yang letaknya di sekitar pinggang. Sambil mengusap dengan kedua tangan, kami mengucap terima kasih yang ditujukan pada organ ginjal karena jasanya membantu membuang racun, kadar garam, air dan mineral berlebih dalam tubuh kita. Dan karena telah belajar sebelumnya dari workshop, gue tidak lagi merasa aneh untuk melakukan hal tersebut.


Entah bagaimana algoritma sosmed mengantarkan gue informasi tentang hal serupa. Semakin hari gue pun semakin terpapar dengan informasi tersebut, dan hal itu semakin membuat gue bingung. Misalnya saja ada informasi tentang trauma yang terperangkap di tubuh. Like, whaattt??? Gimana ceritanya??? Gimana caranya?? 


Lalu ada juga yang bilang, “Connect with your body” atau “Feel it in your body”, yah pokoknya yang kayak gitu-gitulah… Entah apa maksudnya karena saat gue coba, koq ya sepertinya sepi-sepi saja. Gue tidak merasakan apa-apa.


Baca juga: Let Yourself Be Guided


Akhirnya, semakin lama, informasi mengenai keterhubungan diri kita dengan tubuh semakin membuat gue puyeng. So by gone-lah… gue melupakan hal tersebut. 


Hingga akhirnya buku Peter Levine, American psycho traumatologist, biophysicist and psychologist, “Waking the Tiger: Healing Trauma” mampir di timeline gue. Dari situlah untuk pertama kalinya gue dikasih paham tentang kebingungan gue selama ini. Our body does send us information. 


Gue pun jadi makin tertarik untuk mempelajarinya terutama apa yang beliau sebut sebagai somatic experience. Melalui podcast Beyond Theory, begini Levine menjelaskan somatic experience, 


‘Soma’ is the body and experience is experiencing. And it’s being able to experience our bodies, not just anatomically, but in terms of its vitality, its energetic aliveness. I think it really comes down to when people are stuck, their energy is stuck. When people are able to then restore their energy, their aliveness, their vitality, that’s what healing is about.”


Ternyata begitu ya… tubuh kita ini bukan alat, bukan pula castle. Tubuh kita adalah kita. Ia satu sistem dengan keseluruhan jiwa dan pikiran kita. Ia bukan hanya memampukan kita untuk beraktivitas, tapi ia lah yang banyak berperan membantu kita bertahan hidup dalam segala situasi.


Peran otak (dalam hal ini pikiran) dan tubuh dalam menyimpan dan mengelola emosi serta trauma juga secara khusus dibahas mendetail oleh psychiatrist Bessels Van der Kolk dalam bukunya “The Body Keeps the Score - Brain, Mind and Body in the Healing Trauma”.


Membaca buku yang gue tau berdasarkan rekomendasi Marissa Anita itu beneran bikin gue terbelalak dengan fakta-fakta yang belum pernah gue ketahui sebelumnya. Gue masih dalam proses membacanya saat ini, baru sampai chapter 11, jadi gue belum bisa banyak cerita. But I believe this is the book that I would love to review again, especially the parts that I highlighted, once I finish reading it.


Aah, gue jadi merasa malu dan begitu bersalah pada tubuh gue. Ternyata tubuh gue adalah yang sebenar-benarnya sahabat sejati gue. Tubuh gue ternyata adalah bestie gue. My body is my buddy. My buddy is my body.


Lebih dari membantu memampukan gue untuk beraktivitas, tubuh gue menjalankan sistem yang maha sempurna untuk mensupport dan melindungi gue. Dari mulai sistem pencernaan, pernafasan, hingga kemampuan membentengi diri dari benda asing dan memulihkan kembali sistem saat sempat terganggu. I guess that's beyond amazing.


That’s why, setiap harinya, gue selalu sempatkan untuk punya “me time” with my buddy no matter how busy I am and no matter how short the engaging time we can spend together - the time for me to thank her.


Dan sebagaimana senangnya bertemu dengan bestie, gue pun sangat senang menghabiskan waktu dengan bestie gue ini. Di antara banyak teman yang datang dan pergi, gue ga pernah tau bahwa ternyata gue punya teman yang paling setia. One of my best support systems who never fails to support me through thick and thin. 


Kalau sudah begini gimana gue ga sayang sama bestie gue?! My body is really my buddy.


Photo by Chris Jarvis on Unsplash

Comments

Popular posts from this blog

WHY HEALING YOUR PAST IS THE KEY TO TRUE GROWTH

WHY LEAVING MY 9-5 JOB WAS THE BEST DECISION FOR PEACE AND SUCCESS

STOP GALAU! PUTUSKAN SEKARANG JUGA