TAKE THE TIME TO HEAL
Take the time to heal from everything that has hurt you or caused you grief. Make the time to heal. That’s just how much you tell yourself that you care and love yourself.
Kita manusia. Kita semua punya hati untuk merasa. At some point, kita pasti pernah merasa terluka. Tapi seringkali kita mengabaikannya dari waktu ke waktu tanpa tahu dampak yang ditimbulkannya dalam hidup kita.
Kita mungkin ga sadar bahwa apa yang pernah terjadi pada diri kita saat kecil menimbulkan luka batin yang dalam. Terkadang kita justru ga tau bahwa ada luka di dalam sana. Saking terbiasanya dengan luka mungkin bahkan kita membuat diri kita mati rasa.
Artikel terkait: Let Me Tell You, There's Nothing Wrong With Going to Therapy
In the end, jadinya kita ga pernah mikirin hal-hal seperti itu karena menganggap itu adalah hal yang ga berguna, buang-buang waktu, unfaedah, bikin ga produktif, lebay, atau apa-lah. Tapi tidak menyadarinya atau mengabaikannya tidak membuat kehadirannya menjadi tidak ada.
Kita pun merasa diri kita baik-baik saja, biasa-biasa saja. Ga ada yang aneh, ga ada yang salah. At least, begitu dulu gue melihat diri gue.
Photo by Thought Catalog: https://www.pexels.com |
Gue tidak pernah benar-benar membuat rencana untuk hidup gue. Tidak ada target melakukan apa, menjadi apa, atau memiliki apa diusia berapa. Kalau pun ada rencana, pretty much hanyalah cara untuk bertahan hidup. Misalnya, bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup atau mencari tempat tinggal yang nyaman untuk hidup.
Hidup mengalir begitu saja dan secara sadar gue ikuti alirannya. So far, jalan paling ekstrim yang gue lalui adalah saat gue merasa harus resign dari tempat kerja saat selangkah lagi gue berkesempatan mendapat promosi untuk menduduki posisi tertinggi di tempat kerja gue.
Dari situ, gue merasa hidup gue luntang-lantung, ga jelas arahnya. Gue pun menggunakan banyaknya waktu senggang untuk mengikuti berbagai seminar, workshop, diskusi dan bergabung dengan komunitas untuk belajar tentang hidup.
Artikel Terkait: A Piece of the Past - A Quest to Learn About Feeling
Merasa ga mendapat jawaban yang gue cari, gue bahkan sampai gabut kuliah lagi. Gue ingin melakukan penelitian - in an attempt to find the answer to my question - secara ilmiah dengan bimbingan dosen yang berpengalaman.
Setelah lulus, did I get the answer to my question? Not quite, but that’s only because I didn’t exactly know what my question was. Ada banyak rasa penasaran dan skeptis yang bikin gue sendiri bingung untuk merumuskan pertanyaannya.
Pertanyaan gue mungkin tidak terjawab karena rumusan pertanyaannya memang ternyata tidak ada. Tapi gue mendapat begitu banyak pengetahuan. Rasanya enlightening banget. Emang ga salah, pendidikan itu membuka pikiran bahkan mata hati.
Seumur-umur gue sekolah, baru pada saat itu gue merasa begitu tercerahkan. Entah semata-mata karena usia dan pengalaman hidup serta pekerjaan yang membantu gue merasa demikian, entah karena gue beruntung diajar oleh para dosen tersebut, atau simply karena “ono rego ono rupo” (if you know, you know).
Hidup berlanjut dan gue dipindahtugaskan oleh Tuhan. Gue pun meninggalkan Jakarta.
Artikel Terkait: Let Yourself Be Guided
Keadaan terasa begitu sulit di tempat baru itu karena gue merasa it was against my will (but I did it anyway). Masa-masa itu begitu berat and little did I know bahwa ternyata itu adalah cara Tuhan mengasihi gue. God was helping me to heal.
The process was crazy, though… but I followed every single of it obediently. Seperti mengupas bawang, layer demi layers masalah yang bahkan sama sekali tidak gue sadari dihadirkan kembali satu demi satu untuk disembuhkan.
At times ada rasa begitu lelah karena prosesnya seperti tak kunjung usai. Di lain waktu rasanya seperti diprank. Gue kira semua sudah sudah selesai karena rasanya begitu liberating, but then… sesi berikutnya datang begitu saja, tanpa diduga.
To be honest, it wasn’t easy. Rasanya mungkin cenderung ke scary karena kita harus kembali menghadapi semua perasaan itu seperti rasa kecewa, sakit hati, tidak berdaya, tidak berguna, diabaikan, tidak diinginkan, tidak dicintai, dan semua perasaan ga enak yang lama kita kubur.
Baca juga: Itu Hanyalah Pikiran, Bukan Kenyataan
Kita mengira bahwa dengan tidak lagi mengungkit hal-hal yang menghadirkan perasaan ga enak itu adalah pilihan yang benar dan tepat. But that’s not a wiser option. We do need to sit with those feelings.
Semua perasaan yang hadir itu juga minta perhatian dari kita. Ia minta untuk dirasakan. Hanya dengan begitu ia dapat lepas pergi dan kita bisa kembali pada fitrah kita. That’s why butuh keberanian, niat, dan keinginan untuk bersedia melalui proses tersebut. Bila modal itu sudah ada, tangan Tuhanlah yang akan membimbing prosesnya.
So, take the time to heal. Educate yourself about this topic and make the time to heal.
Comments
Post a Comment