CURHAT - KECANDUAN DRAMA KEHIDUPAN SENDIRI

Disclaimer dulu… Gue bukan psikolog, bukan psikiater, dan bukan ahli dibidang ini. Gue hanya sedang mengekstraksi pengalaman dan merenungkannya di sini. 


Pengalaman gue beberapa waktu lalu memutuskan untuk meminta bantuan ke profesional (yang ceritanya bisa dibaca di sini) bikin gue tersadar dan mikir apakah selama ini gue telah kecanduan drama kehidupan? Bukan, bukan drama dari layar kaca seperti sinetron, drakor atau dorama, melainkan drama kehidupan gue sendiri.


Gue ga pernah ngeh bahwa drama kehidupan itu nyandu. Bikin kita ketagihan. Kita nagih untuk curhat ke teman, keluarga, atau orang terdekat. Well, memang ga ada salahnya untuk curhat. The thing is niat curhat yang awalnya ingin meringankan beban yang terasa begitu berat menghimpit di dada lambat laun, tanpa sadar, berubah menjadi kebiasaan.


Kita ga sadar kalau kita menikmati curhat itu, apalagi yang bentuknya keluhan. Kita ga sadar bahwa saat mengeluh kita sedang memberi makan dan membesarkan ego kita bahwa kita adalah korban dari perlakuan orang lain terhadap kita. Kita ga sadar kalau kita menikmati narasi yang kita bangun sendiri bahwa kita adalah korban dan akhirnya nyandu untuk selalu curhat.


Baca juga: One Simple Lesson about a Massive Red Flag from a Former Secret Service Agent


Gini, gini… gue kasih contoh. Seseorang yang gue kenal dekat pernah cerita tentang bestie-nya yang rajin curhat, entah itu soal kehidupan asmara atau pekerjaan. 


Bestie-nya itu selalu mengeluhkan tentang pekerjaannya dan terus-menerus ngomong pengen resign. Waktu berlalu, tahun berganti. Bukannya resign, ia justru diangkat sebagai pegawai tetap dan menerima kenaikan jabatan, namun di kantor cabang lain. Tidak ada perayaan terhadap pencapaian itu saat ia memberitahu kenalan gue, yang adalah bestie tempat curhatnya. Yang ia bagi adalah keluhan akan beban kerja yang semakin berat dan tempat kerja yang semakin jauh.


Kalau bukan soal pekerjaan, dia pasti akan mengeluhkan soal pacarnya. Selalu saja ada hal yang bikin mereka berantem. Untuk hal ini malah agak lebih ekstrim karena ia dan pacarnya pernah adu mulut via telpon saat ia sedang curhat di rumah kenalan gue itu hingga larut malam yang bikin kenalan gue jadi malah ga enak sama orang tuanya akan perlakuan bestie-nya itu. 


Kenalan gue bahkan suatu hari pernah “kabur” ke tempat gue saat bestie-nya itu berencana untuk datang ke rumahnya karena tak lain tak bukan, ia pasti akan curhat. Kenalan gue memilih untuk melindungi orang tuanya agar bisa istirahat karena khawatir bestie-nya bakal curhat sampai malam, seperti biasanya.


Baca juga: The "Let Them" Theory That Went Viral


To some degree, curhat memang bisa membantu banget saat kita butuh teman bicara karena terlepas dari apa pun gendernya, kita adalah makhluk sosial. Kita semua butuh interaksi dan butuh tempat cerita. 


Curhat juga ga mesti dilakukan dengan orang terdekat kita. Kita juga bisa curhat dengan strangers.


Semalam gue baca di X, ada seorang pengemudi ojol cerita bahwa ia menerima sebuah orderan. Tapi bukan untuk mengantar orang atau makanan, melainkan untuk menemani kliennya curhat.


Sang klien sedang mengalami dilema berat dan ia meminta abang ojol untuk nemenin dia ngobrol di sebuah coffee shop. Di sana ia curhat selama dua jam dan memberi imbalan bagi sang ojol yang telah menemaninya curhat.


Kalau tidak salah di negara lain ada jasa layanan mendengarkan keluhan yang bentuknya bukan psikolog atau pun psikiater. Bahkan ada semacam ‘listening library’ di mana orang-orang bisa curhat secara gratis. Bentuk apps-nya juga tersedia.


Baca juga: How to Know What Your Intuition Tells You


At times, curhat dengan orang terdekat malah bikin kita jadi ngerasa resist. Niatnya curhat untuk bikin lega perasaan, tapi kita malah merasa tidak dimengerti, merasa diceramahi, atau tidak dipedulikan. Sebaliknya, curhat dengan strangers justru bikin kita merasa sedikit lebih baik. Tentu sebaiknya kita tidak membagi detailnya, melainkan hanya big picture-nya saja. 


Mungkin karena yang kita curhat-in itu stranger, kita jadi merasa lebih leluasa untuk mengekspresikan emosi kita. Dan karena ia stranger, kadang responnya cenderung kita terima dengan lebih positif either memang bagus atau sekadar kita performing act of courtesy. 


Tak jarang para stranger ini punya pandangan yang membantu kita melihat lebih jernih. Mungkin karena posisi mereka netral sehingga kita lebih bisa menerimanya atau mereka memang dibekali dengan wisdom sebagai kepanjangan tangan Tuhan untuk membantu kita. Maybe this is why it’s better to talk to a therapist as they are strangers with knowledge and understanding.


Downside-nya, kalau keseringan, ternyata curhat bisa bikin kita kecanduan. Yang bikin kecanduan bukan curhatnya, melainkan perasaannya. Entah itu perasaan powerless, menjadi korban, diperlakukan ga adil, atau pun perasaan ingin diperhatikan, didengarkan, dan disayang.


Baca juga: It's Not Always Your Fault


Saat curhat kita cenderung mengeluh. Di sana lah kita mengeluarkan perasaan kita. Setelahnya kita merasa lebih baik karena perasaan kita telah divalidasi. Kita juga mendapatkan empati dan kasih sayang dari orang yang kita curhati. Just like what we need.


Kali lain kita mungkin craving perasaan untuk mendapat perhatian, empati, dan kasih sayang. Saat kita butuh perasaan itu, secara ga sadar kita “kembali mengundang” kejadian yang bikin kita kembali merasa diperlakukan tidak adil, powerless dan menjadi korban. Dengan begitu kita bisa curhat dan bisa kembali mendapatkan empati, perhatian, dan kasih sayang.


Seringkali itu bukanlah hal yang disengaja. Kita bahkan ga sadar kalau kita membangun dan terjebak dalam pola itu. Kita mungkin hanya merasa the world is against us dan simply kita cuma butuh curhat. Kita cuma butuh didengarkan. Kita ga pernah kepikiran bahwa itu adalah pola yang kita bangun sendiri. Kita ga sadar bahwa kita kecanduan drama kehidupan kita sendiri. Rasanya ga enak kalau ga curhat. 


Balik ke contoh kisah bestie-nya kenalan gue tadi, ia mungkin ga sadar kalau ia kecanduan drama kehidupannya sendiri. Ia merasa menjadi victim di pekerjaannya dan di dunia asmaranya.


Curhat yang mungkin awalnya adalah hal biasa yang ia lakukan dengan kenalan gue, yang adalah bestie-nya itu, berubah menjadi kebiasaan mengeluh. Bukan solusi yang dicari. Bukan support semata yang dibutuhkan. Bukan nasihat yang dituju. Ia hanya butuh orang untuk mendengarkan keluhannya itu. 


Kenalan gue lumayan sabar menghadapinya selama bertahun-tahun hingga akhirnya ia menjadi lelah sendiri. Well, tentu saja. Semua ada limitnya.


Baca juga: What If?


Yang menarik adalah kejadian saat kenalan gue mengalami sebuah situasi tidak mengenakkan di tempat kerja. Perasaan itu begitu mengganggunya selama beberapa hari. Tapi ketimbang curhat dengan bestie-nya itu, ia memilih curhat dengan psikolog.


Bukan, bukan karena ia ga percaya pada bestie-nya. Ia hanya berpikir taktis. Ia tidak ingin masalah itu terus berlarut-larut. Ia ingin keluar dari pusaran keruwetan itu dan tidak membuat narasinya melebar menjadi drama kehidupan.


Ia curhat bukan hanya untuk membuat perasaan lebih baik. Bukan hanya untuk meringankan beban di otak dan di hati. Ia curhat untuk mencari solusi. Ia curhat untuk membantu dirinya sendiri. 


Tidak ada yang salah dengan curhat. Curhat lah bila memang dibutuhkan. Namun jangan sampai curhat menjadi candu. Hati-hati juga dengan narasi yang kita bangun terhadap diri kita sendiri. Tak jarang itu hanya persepsi otak kita dan bukan kenyataan yang sebenarnya. 


Kita bisa bangun hubungan yang sehat dan harmonis dengan bestie, keluarga, dan orang-orang terdekat kita. Kita bisa tetap curhat pada mereka. Justru curhat lah pada mereka  sehingga mereka bisa memahami situasi kita dengan lebih baik. 


Namun saat benar-benar dibutuhkan, tidak ada salahnya meminta bantuan profesional. Curhat lah pada mereka untuk mendapatkan bantuan sehingga kita tidak terjebak dalam kecanduan drama kehidupan kita sendiri.


Photo by Martin Lopez: https://www.pexels.com

Comments

Popular posts from this blog

MY BELIEFS ABOUT WORK AND MONEY THAT SAVE MY LIFE - LIKA-LIKU PERJALANAN GUE KERJA

I QUIT MY 9-5 JOB AND CHOOSE TO LIVE IN UNCERTAINTY - BEST DECISION EVER!

IS MARRIAGE FOR EVERYONE?