HARSH TRUTH BEHIND SOME WORDS THAT WE SAY

Have you ever thought about the harsh truth behind the words that you say? Those words that slipped out of your tongue, that you didn’t mean it yet you said it. That you regret it yet never try to explain it.

There are times when we hurt other people’s feeling with what we say. Kita ga maksud nyakitin mereka tapi kata-kata itu meluncur begitu aja keluar dari mulut kita.

We do feel bad about it. We do regret about what we did, tapi ego kita ga selalu mudah untuk mengakuinya apalagi untuk minta maaf.

Lain waktu, giliran kita yang marah karena respon yang diberikan lawan bicara ga sesuai dengan yang kita inginkan. Lalu kita merasa ga dimengerti, orang itu ga peka, dan drama berlanjut.

Pernah mengalami hal-hal semacam itu?

Photo by krakenimages on Unsplash

Baca juga: Declutter, Kamu (Beneran) Harus Coba

THE HARSH TRUTH BEHIND SOME WORDS THAT WE (OR OTHERS) SAY

Oya sebelumnya diclaimer dulu… I’m not an expert. Ini gue ngobrolin pengalaman dan pengamatan gue pribadi aja. Please share your thought and knowledge about it.

Let’s take a look at some of everyday phrases dan kira-kira apa yang tersembunyi dibaliknya.

  • “Gitu aja marah. Baperan.”

 If this is an honest mistake, in that split second sebenarnya ada rasa menyesal terselip dibalik kata-kata ini. Orang yang mengatakan ini ga nyangka kalau kata-katanya bakal menyinggung. Dia jadi merusak suasana.

Mungkin terdengar seperti tough, cool, dan ga baperan. Padahal dia sedang bersembunyi dibalik kata-kata itu. Ada rasa marah dan menyesal juga dalam dirinya. Tapi kadang dideny dengan malah nambahin pake bilang, “Ya gue kan ga maksud gitu. Dianya aja terlalu sensitive. Mana baperan, lagi… Rese.”

Ya, selanjutnya dia akan nyalahin orang itu atau orang lain. Dia akan terus ngedumel mungkin kasih tau orang sejagat and maybe tweet about it.

Why? Karena hanya itu cara yang dia tau untuk mengekspresikannya. Itu cara yang familiar untuk dirinya. Itu cara untuk memuaskan egonya. Ia ingin merasa lebih baik dengan melakukan semua itu. He is craving for validation from the outside world.

Baca juga: Apa Itu Slow Living?

  • “Becanda, kaleeee...”

Ini yang paling absurd. Gue paling bingung tiap kali teman gue bilang gini padahal sama sekali ga ada unsur humor atas apa yang baru saja dia katakan. Tidak ada tawa di sana.

Dia juga bukan comedian atau tipe orang yang suka nge-joke. Kita berdua malah jadi awkward. So, lucunya sebelah manaaaa, Bhambhaaang???

More likely in adalah kondisi di mana dia barusan mengatakan sesuatu yang mengandung unsur keceplosan. Most of the time yang kayak ini justru mengandung kejujuran.

Kemudian timbul setitik rasa sesal. Tapi daripada mood jadi pada rusak, dia mencoba menetralisir situasi dengan mengatakan “Becanda,  koq”. Lalu buru-buru mengalihkan topik.

Baca juga: Minimalism Bukan Sekadar Gaya Hidup

  •  “Aku melakukan ini untuk kamu”

Di suatu hari Jumat gue ngerasa ga enak badan. Jadi weekend besok niatnya mau rehat aja di rumah. Tapi teman-teman gue dari luar kota datang.

Mereka mengunjungi gue di rumah lalu ngajak jalan dan staycation. Mereka udah booking hotel, siapin kendaraan, lengkap dengan sopir dan segudang makanan serta oleh-oleh.

Gue bilang kalo gue skip dulu jalan-jalannya kali itu. Badan gue beneran lagi ga enak diajak jalan. Belakangan gue emang abis lembur.

But my friends were all in holiday mood. So, they kept persuading me hingga salah seorangnya bilang, “Lu tau ga, ini semua tuh buat nyenengin elu. Sekali-kali lu nyantai napa, jangan kerja terus.”

JLEB!!! I was like, Dude, di mana sisi nyenengin guenya? Gue lagi ga enak body, dude!

Well folks, kerap kali kita mengatakan hal seakan-akan kita melakukan sesuatu untuk orang lain. But the truth is kita melakukannya untuk diri kita sendiri.

Misalnya kasus gue di atas. Teman gue bilang gitu apakah benar dia melakukannya untuk menyenangkan gue? Atau dia hanya ingin menyenangkan dirinya sendiri?

She was probably so excited about that holiday. Mungkin ngebayangin serunya kumpul-kumpul lagi. Nah, dia ingin kembali merasakan keseruan yang kami pernah punya. She was craving for that feeling.

Knowing the fact that I wasn’t feeling well ruined her expectation. So, she tried every way to make me join them even if she had to make me feel bad and guilty thinking that she did it all for me.

Baca juga: Mungkin Ini Alasan Kenapa Kamu Belum Memulainya

THE TRUTH

The truth is we are illiterate in this department. Kita ga ngerti apa yang sebenarnya kita rasakan. Kita ga tau gimana cara mengelola perasaan terutama yang tiba-tiba hadir.

Kita juga ga paham gimana cara mengartikulasikan maksud kita agar tersampaikan dengan benar. As a result, we say things that we don’t mean, and we don’t say things that we mean.

Orang tua yang cemas karena anaknya pulang terlambat justru memberi respon keras dengan memarahi anaknya ketika anaknya tiba di rumah. Padahal mereka begitu khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu pada anaknya.

Pasangan yang berantem di dalam mobil pada sebuah perjalanan sampai di titik puncak yang ditandai dengan keluarnya kalimat, “Turunin aku sekarang juga.” Merespon kalimat ini dilemanya bukan main, baik buat si cowo mau pun si cewe. Apalagi kalau posisinya pas di jalan tol.

Folks, we live in a society where we don’t talk about feeling that much. As a matter of fact, mungkin kita ga benar-benar mengenal tentang perasaan. Akibatnya kita memilih untuk tidak membicarakannya, memendamnya, atau menghindarinya.

Baca juga: Terjebak Dalam Kebiasaan Menunda

Sementara bagi yang lain, mereka justru tidak bisa menyembunyikannya perasaannya sehingga cenderung terlihat lebih frontal.

Kata-kata ga enak yang kita lontarkan pada orang lain, apa pun maksudnya, sebenarnya ga cuma melukai orang itu. Tapi juga melukai diri kita sendiri.

Karena tidak tahu bagaimana memperbaikinya (kita bahkan ga tau kalau itu salah) maka kita terus mengulangi pola yang sama. Akibatnya kita semakin akrab dengan perasaan sakit dan menyakiti.

So, I guess now is the time for us to stop this habit. Let’s unlearn this knowledge and install new knowledge.

Pelan-pelan kita belajar mengakui kesalahan dan meminta maaf dengan tulus ketika kita sengaja/ga sengaja melukai perasaan orang lain. Pelan-pelan kita belajar untuk memahami apa yang kita rasakan dan mengartikulasikannya dengan lebih baik.

Pelan-pelan aja, folks. Be gentle with yourself.

Comments

Popular posts from this blog

MY BELIEFS ABOUT WORK AND MONEY THAT SAVE MY LIFE - LIKA-LIKU PERJALANAN GUE KERJA

I QUIT MY 9-5 JOB AND CHOOSE TO LIVE IN UNCERTAINTY - BEST DECISION EVER!

IS MARRIAGE FOR EVERYONE?