GUE DALAM PUSARA IMPULSE BUYING
Impulse buying, frase yang sebelumnya ga familiar buat gue. Tapi pas tau, gue jadi tersadar kalau gue telah tertipu dan menipu diri gue sendiri karena impulse buying. Gue berada dalam pusara impulse buying.
APA ITU IMPULSE BUYING?
Menurut The Economic Times, impulse buying adalah
kecenderungan konsumen untuk membeli barang dan jasa tanpa perencanaan terlebih
dahulu yang biasanya ditriger oleh emosi dan perasaan sesaat.
Bentuk impulse buying macam-macam. Kondisinya juga beragam. Barang-barang yang dibeli bisa perintilan seperti jepit rambut atau coklat sampai barang-barang mewah.
TERNYATA GUE IMPULSIVE BUYER
Gue masih jauh levelnya dengan Rebecca Bloomwood, karakter
di novel dan film “Confession of a Shopacholic”. Gue ga ngerasa jadi orang yang
boros atau doyan belanja. Tapi terkadang
mudah buat gue untuk mengeluarkan uang yang susah payah gue hasilkan. Berikut
ini contoh ceritanya:
- Iseng-iseng that costs me a lot.
Selayaknya orang Indonesia pada umumnya, saat situasi
non pandemic sering kali gue iseng ke mall. Entah saat jalan sama keluarga,
janjian sama teman-teman, atau pas lagi gabut.Photo by Andrea Piacquadio - Pexels |
Baca juga: Declutter, Kamu Beneran Harus Coba
- Aji mumpung
Aji mumpung ini seperti mentality sekali tepuk tujuh
nyawa. Ada unsur ga mau ruginya, padahal rugi bandar. - Special condition
Kondisi yang ketiga ini bisa terjadi saat iseng, ga sengaja menemukan promo, atau pun ketika memang sedang butuh dan memanfaatkan promo.
Misalnya: beli 1 gratis 1; beli 2 gratis 1; beli 1 diskon 20% tapi kalau beli 2 gratis 1; beli 2 dan barang yang kedua diskon 50%; beli minimum purchase untuk gratis ongkir; pokoknya yang semacam inilah.
Yang tadinya ga ada niat belanja atau memang ada satu kebutuhan, jadi melebar ke mana-mana. Itu belum ditambah kondisi FOMO (fear of missing out) di mana rasionalitas gue jadi ga jalan karena takut kehabisan waktu promo. Padahal belum tentu butuh.
Jadinya gue malah end up spending more than I planned and receiving more than I needed.
Baca juga: Terjebak Dalam Kebiasaan Menunda
APA YANG GUE RASA SAAT BERBELANJA
At times, shopping brings such a great pleasure. Belanja itu
kadang memang menyenangkan. Melihat-lihat barang-barang itu aja udah bikin
seger mata. Apalagi kalau punya uang dan bisa bawa pulang barang yang kita
inginkan.
Kalau gue udah nemu toko favorit, gue bakalan jadi pelanggan
setia. Mereka bahkan tidak perlu repot-repot memberi benefits membership. Gue
pasti datang lagi entah pas lagi butuh atau sekadar cuci mata.
Other than that, I have to admit, ada rasa penasaran saat
melihat atau mendengar kata ‘SALE’, ‘PROMO’ dan sejenisnya. Dan rasa itu naik
level jadi excited saat barang yang di-sale adalah barang yang gue suka
terlebih yang gue incer.
Setelah berhasil beli, si rasa tadi itu menduduki puncak jawara jadi rasa menang dan senang. Rasa menang karena bisa beli barang dengan harga lebih murah. Rasa senang karena punya barang tersebut.
NASIB BARANG-BARANG HASIL IMPULSE BUYING
Pada beberapa barang yang gue suka dan gue butuh, gue bisa
terus menerus memakai barang itu, pun sampai aus. Tapi selebihnya… banyak
barang yang dianggurin.
Barang lucu yang gue beli, besar kemungkinan terbengkalai
(if not ended in a dumpster).
Barang-barang yang gue pikir bakalan dibutuhin suatu saat
nanti itu, lebih sering ga menemukan momen yang sempat gue janjikan itu. Bila
pun iya, kadang gue lupa punya barang itu, kadang ngerasa udah ga cocok lagi
dan tergantikan dengan barang lain yang lebih baru.
Kadang ga habis pikir, koq bisa gue menghabiskan uang untuk
semua hal yang bahkan ga gue pake?! Gue sampe speechless sama diri sendiri.
Baca juga: Minimalism Bukan Sekadar Gaya Hidup
MENGAPA IMPULSE BUYING TERJADI?
Dari sisi penjual, sederhananya itu adalah strategi
marketing yang memanfaatkan kondisi psikologi manusia. Sasaran tembaknya tentu
saja adalah emosi dan perasaan.
Manusia cenderung mencari kebahagiaan dan kepuasan. Salah
satunya adalah dengan memiliki barang-barang.
Ada kebahagiaan dan kepuasan saat kita memiliki barang-barang
itu. Kita jadi ga sadar bahwa ada kalanya kita bukan membeli barang tapi
membeli rasa bahagia.
Dan untuk bisa kembali merasakan kebahagiaan itu, kita pun
mengulang pola yang sama. Berbelanja.
Strategi marketing bikin orang yang awalnya ga butuh jadi
merasa butuh.
Berbagai trik diskon membuat kita merasa menang banyak
padahal faktanya kita mengeluarkan uang lebih banyak.
Sementara dari sisi gue sendiri, gue terperdaya dan
memperdaya diri sendiri. Gue ga sadar kalau gue disetir oleh ego gue. I was
never in my awareness state.
Selain itu, gue juga tidak cukup berpengetahuan untuk memahami diri gue, apa yang gue butuhkan, apa yang cocok untuk gue, termasuk juga tidak berpengetahuan tentang cara mengelola keuangan, emosi, dan kesadaran.
Folks, if you are like me, kayaknya ini waktunya kita kembali ke jalan yang benar. Terakhir, ini pengingat dari Phoebe Buffay: “It’s madness! It’s madness! I tell you. For the love of God. Don’t do it!!”
Comments
Post a Comment