GUE DALAM PUSARA IMPULSE BUYING

Impulse buying, frase yang sebelumnya ga familiar buat gue. Tapi pas tau, gue jadi tersadar kalau gue telah tertipu dan menipu diri gue sendiri karena impulse buying. Gue berada dalam pusara impulse buying.

APA ITU IMPULSE BUYING?

Menurut The Economic Times, impulse buying adalah kecenderungan konsumen untuk membeli barang dan jasa tanpa perencanaan terlebih dahulu yang biasanya ditriger oleh emosi dan perasaan sesaat.

Bentuk impulse buying macam-macam. Kondisinya juga beragam. Barang-barang yang dibeli bisa perintilan seperti jepit rambut atau coklat sampai barang-barang mewah.

TERNYATA GUE IMPULSIVE BUYER

Gue masih jauh levelnya dengan Rebecca Bloomwood, karakter di novel dan film “Confession of a Shopacholic”. Gue ga ngerasa jadi orang yang boros atau doyan belanja.  Tapi terkadang mudah buat gue untuk mengeluarkan uang yang susah payah gue hasilkan. Berikut ini contoh ceritanya:

  • Iseng-iseng that costs me a lot. 

Selayaknya orang Indonesia pada umumnya, saat situasi non pandemic sering kali gue iseng ke mall. Entah saat jalan sama keluarga, janjian sama teman-teman, atau pas lagi gabut.

Ga ada keperluan belanja. Hanya iseng. Mungkin karena mall di sini kita anggap sebagai pusat hiburan semua orang. One stop centre of recreation.

Iseng ini berada di grey area. Karena ga ada niat yang jelas, si iseng tadi itu bisa bertransformasi menjadi macam-macam seperti nongkrong di café atau resto, end up di cinema, atau pulang bawa belanjaan sambil bilang, ‘Tadinya gue ga niat belanja sih. Cuma iseng aja. Eh, malah nemu ini. lucu banget, kan?’

Ya, si iseng itu akhirnya beneran literally costs me money.

Photo by Andrea Piacquadio - Pexels

Baca juga: Declutter, Kamu Beneran Harus Coba

  • Aji mumpung 

Aji mumpung ini seperti mentality sekali tepuk tujuh nyawa. Ada unsur ga mau ruginya, padahal rugi bandar. 

Kadang semua berawal dari mata yang memindai kata “SALE”. Lalu mulailah iseng mendekat, melihat-lihat, dan memilih-milih. Lalu berpikir mumpung lagi sale, mumpung nemu, mumpung lagi di sini.

Apakah barang yang ditawarkan itu gue butuhkan? ‘Saat ini sih ga. Tapi kan siapa tau nanti butuh. Dibeli dulu aja,’ biasanya begitu excuse gue.

  • Special condition

Kondisi yang ketiga ini bisa terjadi saat iseng, ga sengaja menemukan promo, atau pun ketika memang sedang butuh dan memanfaatkan promo.

Misalnya: beli 1 gratis 1; beli 2 gratis 1; beli 1 diskon 20% tapi kalau beli 2 gratis 1; beli 2 dan barang yang kedua diskon 50%; beli minimum purchase untuk gratis ongkir; pokoknya yang semacam inilah.

Yang tadinya ga ada niat belanja atau memang ada satu kebutuhan, jadi melebar ke mana-mana. Itu belum ditambah kondisi FOMO (fear of missing out) di mana rasionalitas gue jadi ga jalan karena takut kehabisan waktu promo. Padahal belum tentu butuh.

Jadinya gue malah end up spending more than I planned and receiving more than I needed.

Baca juga: Terjebak Dalam Kebiasaan Menunda

APA YANG GUE RASA SAAT BERBELANJA

At times, shopping brings such a great pleasure. Belanja itu kadang memang menyenangkan. Melihat-lihat barang-barang itu aja udah bikin seger mata. Apalagi kalau punya uang dan bisa bawa pulang barang yang kita inginkan.

Kalau gue udah nemu toko favorit, gue bakalan jadi pelanggan setia. Mereka bahkan tidak perlu repot-repot memberi benefits membership. Gue pasti datang lagi entah pas lagi butuh atau sekadar cuci mata.

Other than that, I have to admit, ada rasa penasaran saat melihat atau mendengar kata ‘SALE’, ‘PROMO’ dan sejenisnya. Dan rasa itu naik level jadi excited saat barang yang di-sale adalah barang yang gue suka terlebih yang gue incer.

Setelah berhasil beli, si rasa tadi itu menduduki puncak jawara jadi rasa menang dan senang. Rasa menang karena bisa beli barang dengan harga lebih murah. Rasa senang karena punya barang tersebut.

NASIB BARANG-BARANG HASIL IMPULSE BUYING

Pada beberapa barang yang gue suka dan gue butuh, gue bisa terus menerus memakai barang itu, pun sampai aus. Tapi selebihnya… banyak barang yang dianggurin.

Barang lucu yang gue beli, besar kemungkinan terbengkalai (if not ended in a dumpster).

Barang-barang yang gue pikir bakalan dibutuhin suatu saat nanti itu, lebih sering ga menemukan momen yang sempat gue janjikan itu. Bila pun iya, kadang gue lupa punya barang itu, kadang ngerasa udah ga cocok lagi dan tergantikan dengan barang lain yang lebih baru.

Kadang ga habis pikir, koq bisa gue menghabiskan uang untuk semua hal yang bahkan ga gue pake?! Gue sampe speechless sama diri sendiri.

Baca juga: Minimalism Bukan Sekadar Gaya Hidup

MENGAPA IMPULSE BUYING TERJADI?

Dari sisi penjual, sederhananya itu adalah strategi marketing yang memanfaatkan kondisi psikologi manusia. Sasaran tembaknya tentu saja adalah emosi dan perasaan.

Manusia cenderung mencari kebahagiaan dan kepuasan. Salah satunya adalah dengan memiliki barang-barang.

Ada kebahagiaan dan kepuasan saat kita memiliki barang-barang itu. Kita jadi ga sadar bahwa ada kalanya kita bukan membeli barang tapi membeli rasa bahagia.

Dan untuk bisa kembali merasakan kebahagiaan itu, kita pun mengulang pola yang sama. Berbelanja.

Strategi marketing bikin orang yang awalnya ga butuh jadi merasa butuh.

Berbagai trik diskon membuat kita merasa menang banyak padahal faktanya kita mengeluarkan uang lebih banyak.

Sementara dari sisi gue sendiri, gue terperdaya dan memperdaya diri sendiri. Gue ga sadar kalau gue disetir oleh ego gue. I was never in my awareness state.

Selain itu, gue juga tidak cukup berpengetahuan untuk memahami diri gue, apa yang gue butuhkan, apa yang cocok untuk gue, termasuk juga tidak berpengetahuan tentang cara mengelola keuangan, emosi, dan kesadaran.

Folks, if you are like me, kayaknya ini waktunya kita kembali ke jalan yang benar. Terakhir, ini pengingat dari  Phoebe Buffay: “It’s madness! It’s madness! I tell you. For the love of God. Don’t do it!!”

Comments

Popular posts from this blog

MY BELIEFS ABOUT WORK AND MONEY THAT SAVE MY LIFE - LIKA-LIKU PERJALANAN GUE KERJA

I QUIT MY 9-5 JOB AND CHOOSE TO LIVE IN UNCERTAINTY - BEST DECISION EVER!

IS MARRIAGE FOR EVERYONE?