AKTIVITAS GABUT PALING PRODUKTIF DAN PALING BERMANFAAT
Dulu, waktu SMP atau SMA, gue pernah diajarin untuk take a break dari njelimetnya belajar dengan melihat yang ijo-ijo. Bukan, bukan uang, tapi pemandangan yang hijau. Gue pun mencobanya. Gue pergi keluar ruangan dan melihat tanaman hijau saat penat stuck menjawab soal-soal dalam pelajaran. But nothing happened. Could that be just a myth? Begitu pikir gue saat itu.
Secara teori, rasanya itu masuk akal. Lihat saja, pasti ada alasan kenapa sebagian besar tumbuhan dikasih warna hijau oleh Tuhan. Tumbuhan yang terhampar dan sebagian besar tingginya eye-level dengan mata manusia, diciptakan dengan warna hijau untuk mengistirahatkan mata manusia, memberi kesejukan di mata yang berdampak pada ketenangan di otak.
Baca juga: How Minimalism Helps Me Understand Myself Better
Kalau masih sangsi, coba lihat saja karpet lapangan badminton untuk international match, mostly warnanya hijau. Pernah nih ada masa di mana Tiongkok, sebagai tuan rumah, menggunakan karpet merah, instead of karpet hijau sebagaimana yang biasa digunakan untuk pertandingan, di salah satu major event yang paling ditunggu-tunggu oleh BL (badminton lovers) sedunia.
BL pun auto ramai berkomentar. Despite the red spirit of whatever intention they had behind it, kami, sebagai penonton, rasanya lelah sekali melihat hamparan warna merah di layar kaca. Itu belum ditambah kalau pemain menggunakan jersey berwarna merah. Shuttlecock makin ga keliatan arahnya ke mana, apalagi kalau nontonnya cuma melalui layar 6 inchi di ponsel.
Fokus, kenikmatan menonton pertandingan, dan tension saat point-point kritis jadi terganggu. Secara psikologi, warna merah itu akhirnya beneran bekerja memengaruhi emosi. Gue terbawa jadi pengen marah sama yang punya ide dan menyetujui ide penggunaan karpet merah itu. Menonton pun jadi seperti sama capeknya dengan bermain di lapangan.
Baca juga: Romanticizing Life
Bila teori tentang pengaruh warna terhadap emosi dan outcome yang dihasilkan manusia benar sebagaimana yang disampaikan Adam Alter, New York University professor dan New York bestselling author dalam perbincangannya di podcast Mel Robbins, lalu mengapa saat gue sekolah dulu, melihat pemandangan hijau tidak membantu gue untuk menjadi lebih rileks?
Well, jawabannya sudah pasti. Yang salah bukan teorinya atau warnanya. Yang salah adalah gue-nya. Gue tidak sepenuhnya berada di sana. Walau gue dengan sengaja duduk, taking the time untuk melihat pemandangan hijau, pikiran gue tidak berada di sana. Otak gue tetap memikirkan soal-soal yang tadi stuck, buntu, tidak bisa gue jawab. Pemandangan sejuk yang ada dihadapan gue jadi tidak bermakna. Gue bahkan lupa dengan tujuan awal mengapa gue duduk di sana.
Being mindful, yang kalau dalam bahasa Adjie Silarus ‘sadar penuh hadir utuh’, menjadi syarat utamanya. Sama seperti menonton badminton. Kalau pikiran kita sedang ke mana-mana, mau karpet hijau atau karpet merah ga akan terasa pengaruhnya karena kita sama sekali tidak memperhatikan pertandingan. Saat bisa fokus, barulah terasa kalau karpet hijau lebih ramah di mata dan di otak kita.
Baca juga: Resign or Not Resign?
So, sesekali luangkanlah waktu untuk beristirahat sejenak. Tak perlu pergi jauh, apalagi yang berbiaya mahal. Ga usah juga direncanakan pakai agenda liburan, apalagi ngajak teman-teman. Karena yang diperlukan hanya diri kita sendiri dan alam.
Gue sendiri suka melakukannya di rumah saat pagi atau sore hari, apalagi ketika hari hujan atau lepas hujan. Gue tinggal membuka kedua pintu ruang tamu lebar-lebar dan duduk menikmati rumput sepetak kecil di halaman dan hamparan tanaman yang ditanam bu RT di secuil tanah milik umum. Gue cuma duduk, menikmati pemandangan, mendengar suara burung dan hewan-hewan, juga suara para tetangga. Udah, gitu doank.
Dolce far niente, gue belajar menikmati this Italian phrase of lifestyle by enduring myself in the sweetness of doing nothing karena semua ada waktunya. Ada waktu untuk bekerja, tidur, memasak, berbelanja, and so on and so forth. Oleh karenanya, kita perlu juga membuat waktu untuk tidak melakukan apa-apa. Everything else can wait coz now is the time to do nothing. Ga ada yang perlu dipikirkan. Ga ada yang perlu dikejar. Ga ada yang perlu dikhawatirkan.
So, once in a while, coba deh learn to take time just being with yourself alone with nature and not doing anything. Jangan ada agenda. Ga perlu ada rencana. Ga usah ngapa-ngapain. Just be there, sadar penuh hadir utuh. Trust me, ini adalah aktivitas gabut paling produktif dan paling bermanfaat untuk kesehatan mental kita. May you find that serene place in your heart.
Bener sih, sering juga harus ngingetin diri sendiri buat sadar penuh hadir utuh.
ReplyDelete