ROMANTICIZING LIFE

Pagi itu gue ga pergi morning walk. I was in the mood of writing. Gue nyalakan laptop lalu gue tinggal bikin minuman panas sambil mengatur otak dan hati, menyiapkan diri untuk menulis.

Duduk di depan laptop, gue ga tau mau nulis apa. Warm jazz music yang biasanya menemani gue menulis sepertinya lagi ga cocok dengan mood pagi itu. Lalu perlahan lagu L’Amour, Les Baguettes, Paris milik Stella Jang terngiang di otak gue. Gue pun segera mencari dan memainkan lagu itu dengan volume kecil only to create the ambience and invite the inspiration.


Berapa Hertz ya suara indah Stella dan aransemen musiknya ini? Rasanya begitu relaxing. Di luar jendela kamar terdengar banyak burung berkicau. Mereka pasti kangen main-main seperti itu dipagi hari karena beberapa hari kemarin hujan terus. But, hey… ngapain gue ngedengerin kicauan burung? Sok romantis banget! 


Photo by Vân Anh Đàm - pexels

Baca juga: Let Me Wear That Clown Mask Coz I Don't Deserve Happiness


Tiba-tiba gue terkaget sendiri dengan apa yang sedang gue lakukan dan mencela diri gue sendiri. But then, what’s wrong with enjoying the chirping of the birds?


Kita tidak terbiasa meromantisasi hidup. Hal-hal seperti menikmati cuitan burung, lambaian daun yang menari tertiup angin, atau cantik dan harumnya bunga, dianggap aneh or at least membosankan (if not cringe).


Gue jadi teringat pengalaman saat pergi berlibur dengan dua orang teman. Kala itu kami mengunjungi tempat yang sangat indah. Bangunannya unik, bunga-bunganya cantik, udaranya sejuk, serta ada kolam dengan ikan berwarna-warni yang besar-besar.


Gue mengikuti langkah kaki dan menjauh meninggalkan teman-teman gue yang sedang asik foto-foto. Gue mendekat pada bunga, pada kolam ikan, lalu menjauh dari keramaian untuk menikmati hijaunya alam dan menghirup segarnya udara. 


Ga seperti biasa, hari itu gue sama sekali tidak mengeluarkan ponsel untuk merekam indahnya tempat itu. Like, whatev… gue hanya ingin menikmatinya dengan panca indera gue dan dengan memori di otak gue karena gue ga tau kapan gue bisa balik liburan lagi ke tempat itu.


Baca juga: Teruntuk Para Jomlo


Teman-teman gue menghampiri dan menawarkan untuk memfoto gue, but I was too shy. Ada banyak pengunjung di sana. Rasanya malu bergaya untuk foto sendirian. Kalau berdua atau bertiga sih oke.


Tapi teman gue yang cewe jahil banget hari itu. Ia memaksa untuk memfoto gue. Gue menolak dan menghindar tapi ia gigih mengejar gue. Kami literaly lari-larian. Dan bak paparazi dia terus berusaha mengambil gambar.


Namun tiba-tiba teman kami yang cowo berkata, “Dia sok sok-an tuh ga mau difoto malah pegang bunga, liat ikan, biar fotonya diambil candid.”


DEG. Jantung gue seperti berhenti seper sekian detik mendengar hal itu. Waiiittt… is that how I look? Is that what they think about what I’m doing? Tanya gue dalam hati.


I guess I forget that we live in the era of capturing moments through lenses and spreading them for the world to see. But what the heck… I want to own the moments for myself. I capture those moments too. With my eyes. And store them in my memory.


Ga semua-mua kudu dibagi pada dunia. Sisakan juga untuk diri lu sendiri. Ga semua-mua kudu dijepret lewat kamera. Duduk dan nikmati indah dan syahdunya moment itu dengan panca indera lu sendiri. 


Stop for a little while to appreciate what you see, hear, smell, taste, and touch. Stay in the present moment and romanticize your life.. Find your way to romanticize life coz by the end of the day what’s left is the memory in your head.

Comments

Popular posts from this blog

MY BELIEFS ABOUT WORK AND MONEY THAT SAVE MY LIFE - LIKA-LIKU PERJALANAN GUE KERJA

I QUIT MY 9-5 JOB AND CHOOSE TO LIVE IN UNCERTAINTY - BEST DECISION EVER!

IS MARRIAGE FOR EVERYONE?