TIDAK ADA MAKAN SIANG GRATIS

Kampus gue punya program yang namanya “International Coffee Hour”. Ini adalah acara yang diselenggarakan oleh International Student Organization. Semua orang, baik mahasiswa, staff, faculty dan community member boleh hadir untuk mingle bareng, ngopi, dan menikmati makanan serta camilan dari berbagai negara yang disiapkan oleh para mahasiswa. 

Ini sudah menjadi tradisi di kampus gue dan mayoritas kampus di Amerika. Sebagai negara melting pot, event seperti ini membantu sekali untuk mengembangkan social skill seluruh komunitas kampus. Di sini kita bisa meeting new people, making new friends, atau sekedar mampir intermezzo dari penatnya kuliah dengan ngopi-ngopi, ngemil, dan makan siang gratis.


Int'l Coffee Hour 

Seperti biasa, acara Coffee Hour diselenggarakan di gedung Memorial Hall. Bendera dari berbagai negara serta foto kegiatan mahasiswa menghiasi ruangan. Ada banyak booth juga di sana, dari mulai booth organisasi mahasiswa yang memperkenalkan kegiatan mereka, hingga booth dari asosiasi mahasiswa beberapa negara.


Personaly, gue suka banget menghadiri acara yang berbau budaya. Ketika gue mengajak Yasi untuk pergi ke event itu, ia juga sama excitednya, but for a different reason. Dia excited karena dia akan bertemu teman-temannya yang menjaga booth asosiasi mahasiswa asal negara mereka.


Baca juga: Is Marriage for Everyone?


Di acara itulah akhirnya gue bertemu dengan seorang mahasiswa asal Indonesia. Mari kita panggil ia, Dea. Bak ketemu teman lama yang hilang, gue menumpahkan semua kerinduan berbicara dalam bahasa Indonesia pada Dea.


Dea adalah mahasiswa sophomore. Darinya lah gue tahu bahwa selain mahasiswa yang sudah lulus, gue adalah mahasiswa Indonesia ketiga yang ia temui di kampus itu. Kami pun menjadi sangat senang seperti bertemu teman sekampung.


Setelah Dea pergi untuk kuliah, gue asik sendirian berkeliling mengunjungi booth-booth, ngobrol dan berkenalan dengan orang-orang baru. Beberapa booth memberikan gue brosur undangan untuk hadir di acara mereka. Ada yang mengajak field trip ke tempat wisata, ke theme park, dan juga ada undangan menghadiri perayaan Thanksgiving. Very kind of them, I thought.


Setelah puas berkeliling, gue kembali menemui Yasi yang sedang asik ngobrol di booth asosiasi mahasiswa negaranya. Ia kemudian memperkenalkan gue dengan teman-temannya. Gue mengatakan betapa beruntungnya mereka memiliki banyak teman senegara sehingga memiliki asosiasi mahasiswa. Sementara gue, ketemu satu orang aja senangnya udah kayak anak kecil dikasih lolipop. 


Mereka tertawa. Yasi menghibur gue dan mengatakan bahwa gue boleh bergabung dengan asosiasi mahasiswa negaranya. Dengan bijak temannya menambahkan bahwa asosiasi mahasiswa tidak hanya eksklusif milik mahasiswa suatu negara. Ini juga adalah tempat untuk menyatukan kebersamaan dan saling membantu. Toh kami semua sama-sama anak rantau. Dan begitulah, bak the ugly duckling, hari itu gue resmi diadopsi oleh Yasi dan teman-temannya.


Baca juga: I Quit My Job and Choose to Live in Uncertainty - Best Decision Ever!


Tiba di apt, gue menunjukkan brosur undangan yang tadi siang gue dapatkan pada Tania. Ternyata Tania juga mendapatkan satu brosur yang sama, yaitu undangan mengikuti field trip. Kami pun sepakat untuk pergi bersama.


Field trip itu ternyata bukan disponsori oleh kampus melainkan sebuah organisasi dari luar kampus.  Oh well, walau jelas tertulis di brosur, kami terlalu lugu untuk berpikir ke arah sana. But what the heck! Field trip is field trip. And it was free, though.


Tania dan gue baru menyadari hal yang tidak “biasa” saat seorang ibu paruh baya memperkenalkan diri dan organisasinya di bus sebelum kami berangkat. Dari caranya berbicara dan apa yang dibicarakannya, sepertinya kami tau apa yang sedang ia lakukan dan mengapa kami mendapat undangan field trip tanpa perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Sepertinya memang tidak ada makan siang yang gratis.


Untuk beberapa saat gue merasa sedikit gelisah dan sempat berpikir macam-macam. But then, organisasi itu ada di acara Coffee Hour. Berarti mereka telah mendapat izin dari kampus. Artinya pihak universitas tahu dan mengenal organisasi itu. To put it in a simple way, it’s safe! Begitu analysis singkat gue dan Tania.


Dari wajah-wajah yang memasuki bus satu persatu, gue menduga bahwa semuanya adalah international students. Mungkin mereka mahasiswa baru seperti kami juga yang memanfaatkan undangan jalan-jalan gratis. Di antara semua wajah asing itu, ada satu wajah yang familiar. Ia adalah teman Yasi, orang yang mengadopsi gue masuk gank-nya kemarin. Akhirnya, gue merasa lebih tenang melihat ada orang lain yang gue kenal selain Tania.


The field trip was indeed fun. Kami pergi ke Stone Mountain dan tempat wisata di sekitarnya. Kami juga kembali dengan selamat bahkan sesuai dengan jadwal perjalanan. Namun tentu saja kami tidak bisa langsung pulang tanpa menyimak pesan sponsor. Indeed, tidak ada makan siang gratis.


Baca juga: Dikejar dan DIhentikan Polisi di Amerika


Untuk perayaan Thanksgiving, gue menghadirinya bersama Yasi dan teman-temannya. Saat memasuki hall yang telah didekorasi, gue pun kembali menduga kalau tujuan utama event itu mirip dengan acara field trip beberapa waktu lalu. Dan benar saja, saat pidato pembukaan disampaikan, apa yang gue sangkakan benar. Memang tidak ada makan siang yang gratis.


Since it wasn’t my first rodeo, gue lebih santai. Ga worry yang berlebihan seperti sebelumnya. Bersama teman-teman, gue had fun mengikuti keseluruhan acara dan menikmati hidangan tradisi Thanksgiving di Amerika.


Thanksgiving Dinner

Ada banyak hidangan disediakan. Tentu tak ketinggalan turkey dan pumpkin pie. Lalu ada beberapa tube keripik kentang merk terkenal di setiap meja para tamu. Banyak tube keripik kentang itu yang masih tersegel utuh di setiap meja. Mungkin karena saking banyaknya makanan yang dihidangkan sehingga tidak ada lagi ruang untuk snack bersodium. Panitia pun mempersilakan kami untuk membawa keripik kentang itu jika kami mau.


Despite whatever objective of the program, gue merasakan keindahan, makna, dan kehangatan didalamnya. Di sanalah, untuk pertama kalinya gue duduk dalam khidmat mengucap syukur atas semua berkah Tuhan buat gue. Gue kemudian tersadar bahwa gue belum pernah benar-benar sepenuh hati mendedikasikan waktu khusus untuk berterimakasih pada Tuhan. Hidup seolah berputar terlalu cepat dan gue mengira ibadah harian saja sudah cukup untuk itu. Ternyata tidak.


Thanksgiving sebagaimana arti harfiah dari kata itu sendiri, serta sejarahnya dibalik perayaan hari istimewa bagi warga Amerika itu, pada dasarnya adalah momen untuk mengucap syukur dan terima kasih. It’s like taking a pause from life to give thanks. The pause that we take is to recharge while the thanks we give is to release. 


Mungkin memang benar, tidak ada makan siang gratis. Entah itu for a noble reason atau ada hidden agenda, semua ada tujuannya. Dan itu sah-sah saja karena semua balik lagi pada orang yang menerima kebaikan itu. In the end, bila tujuan, niat, dan caranya baik untuk kemanusiaan, gue yakin itu memberi manfaat bagi penerimanya. We never know which heart that we touch.

Comments

Popular posts from this blog

WHY HEALING YOUR PAST IS THE KEY TO TRUE GROWTH

WHY LEAVING MY 9-5 JOB WAS THE BEST DECISION FOR PEACE AND SUCCESS

STOP GALAU! PUTUSKAN SEKARANG JUGA