DIKEJAR DAN DIHENTIKAN POLISI DI AMERIKA
Gue tinggal di sebuah four-bedroom apartment. Tapi kebetulan hanya ada tiga penghuni, gue dan dua orang cewek. Mari kita panggil mereka Tania dan Panda. Kami bertiga berasal dari tiga negara berbeda di dua benua.
Tania dan Panda memilih sisi sebelah selatan dengan kamar yang bersebelahan sehingga mereka berbagi kamar mandi. Jadi gue menempati sisi utara sendiri. Awalnya sih gue netthink mengira menjadi outcast. Tapi ternyata tidak.
Di hari pertama kami tinggal di sana, Tania mengeluh pada gue. Ia yang bangun lebih siang dari Panda mendapati kamar mandi yang kemarin nampak bersih menjadi begitu kotor, kumuh, dan banyak rambut berserakan di lantai dan bathtub. Ia merasa heran bagaimana bisa seseorang meninggalkan begitu banyak sampahnya pada shared bathroom. Jadilah ia mengajak gue pergi ke supermarket sepulang kuliah. Ia perlu membeli produk pembersih kamar mandi.
Di supermarket, gue amazed melihat Tania memasukkan begitu banyak barang di trolinya. I mean… kami naik city bus. Bukankah sangat berat dan merepotkan diri sendiri untuk membawa belanjaan sebanyak itu baik dari batas akhir troli di supermarket menuju halte bus maupun dari halte bus menuju gedung apartemen kami nanti? Ah, mungkin Tania sudah biasa or she has a system for that yang mungkin bisa menjadi ide buat gue juga.
Baca juga: Tornado Warning - Lost in Campus
But I was right! Tania kesulitan membawa berkantong-kantong belanjaannya. Gue sendiri juga kerepotan menjinjing tas belanja di tangan kanan dan kiri. Gue bahkan terpaksa menyeret satu tas belanja tanpa roda karena saking beratnya. Walhasil, sampai di apt, tas yang beradu dengan aspal jalan pun seketika aus dan berlubang.
Ternyata Tania memang ga pernah belanja ke supermarket naik city bus. Makanya dia terbawa kebiasaan berbelanja hingga troli penuh. Tania juga ga pernah pergi naik city bus di tempat asalnya. Ia menjadi crancky karena harus bangun pagi atau berangkat ke kampus mengikuti jadwal datangnya city bus ke apt kami yang berselisih setiap sepuluh menit sekali. Maka, ia pun membeli sebuah mobil bekas.
Sore itu, dari kejauhan gue melihat Tania melambaikan tangan pada gue. Dari lambaiannya yang begitu bersemangat, sepertinya ia sedang senang. Ia tampak berdiri di samping sebuah sedan berwarna krem dengan dua orang laki-laki di depan apt kami. Gue yang baru turun halte bus sepulang kuliah dan berjalan ke arah gedung apartemen kami, menduga-duga scene apa yang sedang terjadi di sana.
Dok. Pribadi |
“The car is here!!” teriaknya pada gue dengan senyum paling sumringah yang pernah gue lilhat. Gue ikut tersenyum bahagia dan berjalan ke arahnya. Tak lama ia mengucap terima kasih dan menjabat tangan kedua laki-laki yang telah membantunya memeriksa kondisi mobil itu. Begitu kedua laki-laki itu pergi, ia langsung mengajak gue test drive ke supermarket.
Sangat nyaman untuk berkendara di sana. Waktu tempuh pun jadi terukur. Makanya jadwal city bus dan campus transit - a.k.a. bus kampus - itu hampir selalu on time. Jalanan di sana cukup lengang karena itu adalah sebuah kota kecil. Namun walaupun lengang, tidak ada orang yang kebut-kebutan. Setiap pengemudi juga wajib berhenti selama tiga detik di setiap persimpangan yang mereka lewati untuk mengantisipasi datangnya kendaraan dari arah lain. Jalan raya di sana juga selebar jalan protokol di Jakarta namun jauh lebih lengang.
Baca juga: When Your Friend is A Real Def of An Angel - Tornado Warning Part 2
Perjalanan ke supermarket lancar jaya. Akan tetapi saat dalam perjalanan pulang, Tania tiba-tiba kebingungan saat hendak belok di sebuah persimpangan jalan raya. Akan halnya dengan di Indonesia, Tania terbiasa menyetir dari sisi sebelah kanan sehingga ia sempat tiba-tiba kebingungan dengan posisi setir dari sebelah kiri. Jalanan juga sepi sehingga tidak ada mobil yang bisa ia ikuti caranya.
Tania berpindah dari satu lane ke lane lain. Rasanya kagok sekali. Gue coba tenangkan Tania dan ia pun berhasil berbelok. Akan tetapi tiba-tiba dari arah belakang terdengar raungan sirine yang sangat keras. Gue menengok ke belakang dan kaget melihat sebuah mobil polisi mengejar kami.
Jalanan sangat sepi dan itu sekitar pukul 17.30 petang. Tidak ada mobil lain selain mobil yang kami kendarai dan mobil polisi itu. Jadi, sudah pasti sirine mobil polisi itu ditujukan untuk kami dan mobil itu mengejar kami. Dengan kagok Tania menepi ke sebelah kanan.
Kami berdua saling berpandang-pandangan. Ada apa ini? Apa yang terjadi? Tania yang baru saja merasa lega setelah tadi kebingungan untuk belok mendadak panik. Seorang polisi muncul di sebelah kaca mobil Tania. Tania menurunkan kaca mobilnya dan tersenyum canggung, berusaha menyembunyikan kepanikannya.
Gue pun tak kalah bingung dan was-was. Belum genap sebulan kami di sana, apakah kami harus berurusan dengan polisi? Gue ga berani berpikir jauh. Membayangkannya saja sudah mengerikan.
Baca juga: Between Choices - A Dilemma of A Teenage Girl
Sang polisi mengeluarkan sebuah note dan sebuah pena lalu membungukkan badannya sedikit untuk berbicara pada Tania. Beliau meminta Tania menunjukkan SIM-nya. Tania pun langsung mengorek-ngorek tas yang ada di samping kanannya. Namun SIM yang dicarinya itu tak kunjung muncul.
Tania menjadi lebih panik. Tangannya menjadi semakin tidak jelas mengacak-acak isi tasnya. Ia memalingkan wajah dari tasnya ke arah sang polisi. Dengan senyum canggung ia berkata,
“Just a minute, sir. I believe I have my international driver’s license somewhere here." Sepertinya ia berharap sang polisi bisa mengerti dan sedikit bersabar. Walau tangannya terus sibuk mencari, mata Tania sudah tidak bisa fokus melihat ke dalam tas.
“Do you want me to help you?” gue menawarkan bantuan pada Tania. Gue berpikir mungkin karena terlalu panik jadi ada blind spot sehingga Tania tidak dapat menemukan yang dicarinya. Namun kemudian sang polisi membungkukkan badannya lebih rendah. Ia sepertinya berusaha untuk melihat lebih dalam ke arah passanger seat. Glek... gue menelan ludah dan tersenyum tipis saat ia melihat ke arah gue.
“You girls students?” tanyanya.
Baca juga: Does Time Really Heal?
“Yeah, we both are students of …” lalu gue menyebutkan nama kampus kami. Gue juga menjelaskan bahwa kami adalah mahasiswa baru yang belum genap sebulan di sana. Dan teman gue itu baru membeli mobil yang kami kendarai sore itu, lalu kami sedang mencobanya dengan pergi ke supermarket.
So, Yeorobun… ternyata sang polisi mengira bahwa teman gue sedang mengemudi dalam keadaan mabuk. Sepertinya ia telah memantau semenjak Tania kebingungan berpindah-pindah lane. Maka, dengan senyum sumringah dan lega kami menjawab tidak. Sang polisi pun tampak lega. Ia menyimpan kembali note dan penanya. Ia mempersilakan kami melanjutkan perjalanan dan mengingatkan kami untuk berhati-hati di jalan.
Wuiiih, rasanya pengen koprol. Legaaaa banget. Wajah Tania kembali cerah ceria. Ia terlihat lebih pede mengemudi. Kami pun terus membahas hal itu sepanjang perjalanan pulang.
“I swear I have my driver’s license here,” katanya berulang-ulang. Ia masih tidak percaya sendiri bagaimana SIM nya itu bersembunyi saat sangat dibutuhkan.
Wah aku ikut deg-degan bacanya. Alhamdulillah polisinya baik hati sekali yaa memaklumi keadaan yg terjadi 😄
ReplyDeleteIya, kami pun deg-degan bukan kepalang. Itu persis seperti adegan yang sering kita tonton di film, dari mulai suara sirine untuk menghentikan pengemudi di jalan sampai proses meminta pengemudi menunjukkan SIM. Syukurlah, kami ga ditilang.
ReplyDelete