LET GO AND TRUST THE PROCESS - WHAT’S MEANT FOR YOU WON’T PASS YOU BY

Photo by Pixabay: https://www.pexels.com
Konten tulisan Zen master Haenim Sunim di pertengahan bab dalam buku pertamanya “The Things You Can Only See When You Slow Down”, berhasil memicu issue dalam diri gue yang bahkan tidak gue sadari. Gue cukup kaget mendapati hal itu karena gue begitu menikmati tulisan beliau sejak halaman pembuka.

Gue pun menutup laptop dan menunda menyelesaikan membacanya walau itu hanya tinggal beberapa halaman lagi.  

Gue terdiam sejenak. Gue benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi, but clearly something was being triggered there - deep inside my heart.


Setelah beberapa saat, gue kembali membuka laptop dan mencoba melanjutkan membaca versi digital buku tersebut. But, naaah… it didn’t work. Maka gue putuskan untuk mematikan laptop dan pergi mandi - berharap gue akan merasa lebih segar setelahnya.


I noticed that something was happening, akan tetapi otak gue belum menemukan hasil analisisnya. Gue tidak tahu apa itu, apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam sana. 


Artikel Terkait: What If


Gue pun mencoba berdiam diri dengan hanya membawa kesadaran gue. Gue memberi waktu diri gue untuk reveal akan apa yang sebenarnya terjadi.


Tiba-tiba gue merasakan setetes air mata menyeruak keluar dari pojok terluar kedua belah mata gue. Gue membiarkannya jatuh mengalir ke pipi. Akan tetapi, sedetik kemudian gue bangun dan justru pergi ke dapur untuk mencuci piring bekas makan siang tadi.


Kesadaran gue terus mengamati tindak-tanduk gue yang jelas nampak bahwa ia sedang menghindari untuk bergelut dengan rasa yang tadi tertrigger dan hendak keluar itu. Nampaknya ia tidak ingin membahas hal apa pun yang hendak merangsak keluar - minta untuk dirasakan. 


Gue amati, biarkan dan izinkan apapun yang ia lakukan. Gue sama sekali tidak berusaha mengontrolnya, termasuk saat ia menjadi sulit tidur malam hari itu dan terbangun hanya setelah sedikit terlelap selama kurang dari satu jam.


Gue terus temani diri gue yang sedang galau ga jelas itu. Meanwhile, ego gue yang ga sabaran memicu hadirnya rasa penasaran dan terus bertanya akan apa yang sebenarnya terjadi.


Esok paginya, gue berhasil menyelesaikan buku Haenim Sunim yang kemarin tertunda. But it was more on completion of tasks rather than basking in the content. Tapi tak apa, at least gue berani untuk kembali membuka buku itu dan menyelesaikannya.


Artikel Terkait: When the Student Is Ready, the Teacher Will Appear


Lalu tiba-tiba saja gue craving for pizza dan semua teman side dish-nya. Hhhmmm… ada apa ini? Tadi malam, ia pun tiba-tiba craving for jjajangmyeon.  


Kesadaran gue terus mengamati dan memahami situasinya. Sepertinya itu adalah emotional eating. 


Cravingnya datang tiba-tiba dan semalam gue makan tanpa menikmati makanan itu. Sambil makan, pikiran gue went blank. Begitu saja… seolah benar adanya bahwa makan adalah alternatif lain yang sedang dijalankan oleh survival mode gue untuk menghindar dan melarikan diri.


Though I was aware bahwa emotional eating hadir kembali pagi itu, gue sama sekali tidak melarangnya. Gue mengizinkannya memesan pizza sambil tetap mengamatinya compassionately.


Saat itu menjelang pukul 8 pagi. Sambil menunggu jam operasional pizza langganan gue pada pukul 10, gue membuka email. Sekitar satu jam sebelumnya ada notifikasi email yang masuk dan itu adalah dari seller sebuah online shop. Semalam, saat tidak bisa tidur, gue sibuk scrolling olshop. Bukan, bukan nungguin mega sale 11.11, melainkan mencari buku yang ingin gue baca.


Gue memang sudah berencana untuk membaca beberapa tulisan bertema santai serta karya fiksi minggu ini untuk melepas lelah dan merayakan selesainya pekerjaan dan project selama tiga bulan kemarin. Dan semalam, gue menemukan tujuh buku menarik dalam bentuk e-book dari tiga seller dan langsung gue check out tengah malam itu juga.


Artikel Terkait: A Piece of the Past - A Quest to Learn About Feeling


Segera gue download file yang salah satunya adalah novel karya penulis fiksi fave gue, Dan Brown, untuk kemudian gue buka melalui Microsoft Edge agar nyaman untuk gue tandai dan beri highlight sebagaimana biasa kita melakukannya pada buku fisik.


Telah sekitar empat tahun ini gue mengadopsi minimalism dan mengganti buku fisik dengan buku digital. Dan karena telah terbiasa melakukan kegiatan membaca melalui komputer sebagai bentuk pekerjaan, membaca novel digital pun tetap sama asyiknya.


Novel Dan Brown begitu spesial buat gue. Imajinasinya yang menggabungkan misteri, teknologi, sains dan religi, benar-benar mendefinisikan semua ketertarikan gue dalam sebuah karya fiksi. Tulisannya begitu indulging, membuat gue hanyut terbawa dalam kisah yang disuguhkan. Dan bukankah itu pengalaman yang ingin kita rasakan saat membaca sebuah novel?


Akan tetapi… situasi gue agak sedikit berbeda saat itu. 


Gue melihat diri gue membaca “Origin” tidak dengan sepenuh hati menikmatinya. Gue seakan melakukannya lagi-lagi sebagai pelarian karena diri gue masih tidak ingin bersinggungan, membicarakan, apalagi merasakan hal tidak enak yang terpicu kemarin sore itu. And that’s not good.


Craving gue tiba-tiba berubah dari pizza menjadi nasi goreng buatan sendiri. “Ah, bagus,” bisik gue dalam hati karena sejak awal niatnya memang gue perlu menghabiskan meal prep hari itu dan pergi grocery shopping esok hari.


Gue pun mengeluarkan Japanese garlic butter dari kulkas, yang biasa gue gunakan untuk  menggoreng nasi. Lalu gue defrost ayam yang sudah dimarinasi untuk nanti gue panggang. Setelah itu, perlahan gue mengajak diri gue untuk menepi, merasa, dan bercerita.


Artikel Terkait: Let Yourself Be Guided


Gue mengambil posisi duduk yang nyaman. Kemudian perlahan gue pejamkan mata dan atur nafas dalam tarikan dan hembusan yang relatif panjang dan pelan.


Diam, gue mengamati diri gue. Ada perasaan kebingungan di dalam sana. Gue menggambarkannya seolah diri gue berjalan hilir mudik ke sana kemari karena sedang kebingungan. Sepertinya ada yang telah hilang tapi seolah ia tidak mau melaporkan kehilangan itu atau pun mencari kembali kehilangan itu.


Terus gue amati perasaan itu hingga akhirnya ia mulai terbuka dan berani bercerita.


Masih dalam diam di posisi meditasi dengan mata terpejam, perlahan air mata gue mengalir. Tak lama alirannya semakin deras sampai gue sesenggukan.


Gue tetap mempertahankan posisi meditasi dan mengizinkan semua rasa untuk keluar. Sambil sesenggukan gue membiarkan air mata mengalir tanpa menyekanya dengan tangan atau tissue untuk menjaga momentum meditatif itu. 


Setelah beberapa saat dan merasa lebih lega, gue kembali mengatur nafas dan dengan lembut mengusap pipi bekas aliran air mata dengan tangan agar tidak mengganggu fokus untuk kembali ke meditative state. 


Gosh… ternyata itu adalah peristiwa besar. Ada sesuatu hal yang terjadi dalam diri gue. Hal yang secara sadar/ga sadar gue genggam erat karena begitu ingin untuk gue manifestasikan.


Artikel Terkait: Life Doesn't Happen to You, It Happens for You


Selama kurun waktu belasan tahun itu, gue pikir itu adalah yang sebenar-benarnya gue inginkan. Selama kurun waktu belasan tahun itu, gue pikir itu adalah hal terbaik bagi gue. Selama kurun waktu belasan tahun itu, gue kira itu adalah mukjizat besar yang pernah terjadi dalam hidup gue sehingga harus gue jaga betul. 


Dan ternyata gue SALAH!


Beberapa minggu terakhir gue memang merasakan bahwa hal yang begitu ingin gue manifestasikan itu perlahan genggamannya mengendur. Gue secara sadar merasa bahwa gue tidak lagi peduli akan hal itu. Terserahlah… dapat syukur, ga dapat ya sudah…


Dan ternyata setelah gue ga ngoyo, semesta membantu gue pelan-pelan untuk fully detached dari hal tersebut.


Rasa galau dan bingung yang hadir selama dua hari itu mungkin adalah reaksi dari familiar feeling yang menggenggam kuat keinginan itu selama bertahun-tahun to adjust with the new state yang tidak lagi memiliki attachment itu dalam genggaman. 


Dengan lepasnya keinginan itu, sistem dalam tubuh gue mungkin bingung karena tidak ada lagi yang digenggam. Mungkin hal baru itu terasa aneh dan tidak familiar. Mungkin juga hadir rasa takut di sana karena kehilangan genggaman yang sudah terbiasa dalam kurun waktu yang terlalu lama.


Artikel Terkait: One Simple Yet Essential Question You Need to Ask Yourself


Aaaaah, jadi seperti itu, ya… 


Gue merasakan kelegaan di otak gue setelah diberi informasi yang dapat dipahaminya. ‘Well, then… I can rest my case now,’ kira-kira begitu otak gue merespon dengan santai.


Gue membawa kembali kesadaran diri dan bangun dari posisi meditasi. Ugh, rasa pegal di leher, kaki, dan tangan baru terasa. Gue pun menggerak-gerakkan anggota tubuh gue itu, lalu stretching.


Rasanya begitu lepas, bebas dan ringan. Rasa lega luar biasa yang sungguh sulit untuk diuraikan dengan kata-kata. I couldn’t believe myself. Gue akhirnya terbebas dari belenggu yang gue pasang sendiri selama bertahun-tahun.


I guess it’s true, the ultimate keypoint in manifestation is to let go. Dan betapa ternyata in some cases, melepaskan sungguh adalah hal yang sama sekali tidak mudah.


But if you find it hard to let go, jangan dipaksa. Izinkan saja apa yang terjadi. Walau mungkin butuh waktu yang lama sebagaimana yang gue alami ini, jika kau mengizinkannya maka akan ada saat ia untuk lepas saat ia tahu bahwa proses itu sudah selesai.


Lihat saja anak kecil. Semakin mainnya diminta, semakin kuat dan resistance ia menggenggamnya. Namun saat ia diizinkan untuk memegang mainan itu, bukan tidak mungkin justru ia akan dengan segera melepaskan mainan itu.


Gue tidak tahu apakah dengan detachment ini menunjukkan bahwa yang gue inginkan itu tidak baik bagi gue atau itu adalah justru bentuk dari rangkaian proses manifestasi. Well, gue tidak lagi peduli karena gue percaya penuh bahwa apa yang baik bagi gue eventually akan datang.


Jadi, jika hal yang sempat gue obsesikan itu memang adalah baik untuk gue, dengan tangan terbuka gue menyambutnya. Akan tetapi, bila tidak, dengan bahagia dan kelapangan hati gue telah mengikhlaskannya.


So, I hope this story soothes any heart who is in the process of letting go. Folk, let go and trust the process. What’s meant for you won’t pass you by.

Comments

Popular posts from this blog

WHY HEALING YOUR PAST IS THE KEY TO TRUE GROWTH

IS MARRIAGE FOR EVERYONE?

ONE ATOMIC HABIT THAT TRANSFORMED MY LIFE THIS YEAR