CLEARING MY ENERGY
Dulu, enam hingga delapan tahun lalu, saat gue merasakan ketidaknyamanan di tempat kerja yang semakin membuncah, pikiran tentang resign terus menghantui gue. Gue tidak keberatan melepaskan jabatan dan semua fasilitas yang disediakan. Gue tidak khawatir tentang bagaimana nasib gue nanti - apakah akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik atau justru sebaliknya. Akan tetapi yang gue khawatirkan adalah pikiran dan ketakutan gue sendiri.
Like a broken record, gue terus-menerus bertanya pada diri sendiri. Kalau gue resign, apakah itu berarti kemampuan gue dalam bekerja (in which pressure is part of it) dan menjalankan fungsi sebagai social being (walaupun dalam lingkup sekecil tempat kerja) sangat buruk?
Sebegitunya gue memandang rendah diri gue. Gue gaslighting diri gue sendiri seperti berkata, “Segitu doank aja lemah. Semua orang yang kerja juga pasti ngerasain hal serupa. Ga susah baperlah.”
![]() |
Nataliya Vaitkevichwww.pexels.com |
I, then, realize that I bought into that belief because it was planted since I was little. Dari kecil selalu saja ada peringatan 'jangan begini, jangan begitu, nanti ga ada temennya lho'.
Social acceptance menjadi hal dengan banyak aturan mengikat ketimbang tata tertib di sekolah. Banyak sekali syarat untuk berteman. Agar dipandang dan diterima baik oleh lingkungan, secara ga sadar belief itu menjadi batasan terhadap diri gue untuk memunculkan sisi authentic diri gue sendiri.
Lingkungan sosial kita memang kadang bisa lebih kejam dari ibu tiri Cinderella. Mereka bisa dengan santai membentuk kubu dan melabeli seseorang dengan apa pun yang menjadi konsensus dari kubu mereka.
Gue jadi teringat percakapan dengan sepupu gue di suatu hari. Kala itu dia mengeluhkan anak perempuannya yang baru duduk di kelas satu SD. Anak itu dianggapnya pemalu dan susah bergaul dengan anak-anak lain.
"Waktu kita main ke pantai, dia cuek aja main pasir sendirian. Gue suruh kenalan sama anak lain dan main bareng, tapi dia ga mau. Susah banget dah! Lama-lama bisa ga punya teman tuh anak," begitu katanya.
Baca juga: Sudah, Menyerah Saja Pada Hal Yang Berada di Luar Kontrol Kita
Gue hanya tersenyum menanggapi curhatannya itu simply karena gue ga tau kudu bilang apa. Gue hanya bisa berempati karena pun misalnya itu adalah gue, di usia segitu, gue sangsi kalau gue akan punya keberanian mendekati anak lain yang tidak gue kenal.
"Gue tuh maunya dia bergaul, berteman, supaya nanti gedenya ga jadi kek gue," lanjut sepupu gue.
There you go!!! Ternyata itu adalah obsesi dari kesalahan atau kelemahan orang tua yang berusaha dikoreksi melalui anak mereka. Dan itu menjadi salah satu bukti bagaimana tekanan sosial telah diwariskan semenjak kita kecil dari generasi ke generasi.
Syukurlah... gue berani untuk unlearn that belief dan berani mengambil keputusan besar itu.
It’s been eight years now dan ternyata keputusan resign dari tempat kerja itu adalah keputusan yang sangat tepat, terbaik, paling berani dan fenomenal dalam hidup gue karena kenyataannya, kita ga harus koq memaksakan diri untuk berada di dalam lingkungan toxic yang terus menggerogoti mental kita. Lagipula, ga ada tuh yang namanya tropi penghargaan persembahan khusus bagi karyawan yang mampu bertahan menghadapi bos dan rekan kerja yang narcissist sebagai sebuah pencapaian karir yang bisa kita masukkan dalam resume.
Baca juga: Ever Wonder Why the Rich Get Richer and the Poor Get Poorer?
I believe, kemampuan bertahan dalam lingkungan yang toxic sama sekali tidak berkorelasi dengan keterampilan sosial seseorang yang tinggi. On the contrary, bisa jadi justru itu adalah tanda bahwa mungkin tidak memiliki cukup amunisi penghargaan terhadap diri sendiri.
It’s been eight years now and my life has never been this great!! Gue tetap bekerja dan mendapat penghasilan yang baik dengan bonus kedamaian hati dan pikiran.
And in my eight years now, gue semakin berani untuk clearing my energy. I don’t have to force myself to work with people who don’t pay the same respect or who don’t share the same values. Maka, perlahan gue memberanikan diri untuk mengundurkan diri bekerja dengan orang-orang yang… again… who don’t pay the same respect or who don’t share the same values.
People say we don’t get respect. Instead, we earn it.
Getting respect means we are taking it from someone else. It’s like forcing others to give it to us. And that really sounds so much like robbery. The thing is… how could one give what they don’t have? And if that's the case, then, what do we actually get from robbing them?
On the other hand, earning respect shows how others voluntarily hand it in to us. No pulling, no resistance, not even string attached. It’s all the act of giving.
Baca juga: Sorry, I Choose Not to Engange With the Way You Practice Self-Growth
Oleh karenanya, ketimbang merasa kesal, cape dan misuh-misuh bekerja dengan orang yang don’t pay the same respect, lebih baik kita yang mundur teratur. Orang tidak akan semudah itu berubah dan bagaimana mungkin seseorang dapat memberikan apa yang tidak mereka miliki.
Proses pengunduran diri ini buat gue jauh lebih berat dan lebih emosional ketimbang saat gue resign dari kantor. Hubungan kerja yang sifatnya one-on-one membuat segala sesuatunya kadang menjadi sangat delicate dan sensitif. Diperlukan ekstra kehati-hatian dan tak jarang juga dibumbui dengan alasan lain agar terdengar lebih decent and acceptable.
Di awal-awal, rasanya begitu dilematik. Gue bahkan dihantui terus-menerus oleh pikiran tersebut dan tidak berani untuk mengambil keputusan. Dan ketika gue akhirnya memberitahukan keputusan itu, secepat itu gue merasa tidak enak dan menyesalinya. Gue begitu sedih hingga menangis dan terus kepikiran.
But then I knew, gue tidak lagi sanggup menerima perlakuan seperti itu. Gue ingat bagaimana beratnya perasaan gue setiap kali gue harus bertemu mereka namun gue harus memaksakan diri untuk bersikap profesional, ramah, dan tak jarang memaksakan senyum dan canda palsu. Karenanya gue jadi lebih memahami betapa beratnya pekerjaan customer service atau para komedian di televisi. Tak heran para anggota keluarga komedian itu mengatakan bahwa para on-stage superstar itu tidak lucu di rumah. I mean, of course!!!
Dari situlah akhirnya gue menyadari bagaimana gue selalu lebih mengutamakan perasaan dan kepentingan orang lain atas nama "ga enak" atau "daripada ribut". Buntutnya... gue menomorduakan diri gue. Gue memilih jalan untuk menyiksa diri gue, tidak menghargai perasaan gue, dan menelan semua perilaku tidak enak yang gue terima sendiri.
Baca juga: What Life Is Like After Applying Slow Living
Gue sangat bersyukur, semakin ke sini gue menjadi semakin memahami apa yang menjadi value gue. Gue pun jadi lebih berani berdiri atas nama gue sendiri, membela dan menghargai diri gue. I started to appreciate and put myself first.
Now, I am getting more skillful and convinced about how the universe works. Gue tidak ragu-ragu clearing my energy dengan membuat batasan yang jelas. I learned the hard way to come to the statement that 'any client is not better than no client'.
Memiliki banyak klien tentu menyenangkan; tidak hanya dari sisi finansial, tapi juga sisi sosial. Kita jadi mengenal banyak orang which is bagus banget buat networking. But then, seringkali memiliki lebih sedikit klien - walau tentu berkorelasi dengan jumlah pemasukan - justru bisa jadi dapat memberi kita lebih banyak berkah. And as we know it, berkah itu tidak selalu hadir dalam bentuk uang.
Clearing my energy dengan memilih untuk tidak bekerja dengan orang-orang yang gue sebutkan di atas tadi justru memberi ruang bagi energi baik untuk masuk. Gue sudah membuktikannya sendiri. Tuhan akan mengirimkan klien baru yang terkadang jauh lebih baik. So, jangan terlalu takut dan terpaku karena datang dan pergi hanyalah hukum alam semata yang berlaku kekal dan di luar kontrol kita.
Selain itu gue juga dapat lebih maksimal mengelola energi baik yang telah ada dan menjadi aset penting bagi gue. Gue jadi punya lebih banyak waktu luang untuk melatih skill yang lain. Dan yang paling penting tentu pikiran, perasaan dan kehidupan gue menjadi lebih baik.
This energy is what some people associate with money as well as prosperity. They also said that money is about spirituality. Hukum tarik menarik uang konon sama berlaku sebagaimana law of attraction in general. If that’s really the case, clearing the energy should be the way to invite and welcome pure and energizing energy, money, and prosperity to come to us.
Comments
Post a Comment