TANTANGAN MEDITASI DAN BAGAIMANA GUE MENGATASINYA
Banyak banget tantangan untuk bermeditasi. Bahkan tanpa perlu mencobanya, acap kali kita sudah bisa menebak akan seberat apa melakukan praktik meditasi. Gue termasuk yang penasaran dan mencobanya. Luar biasa berat tantangan bermeditasi buat gue dan ini adalah cuplikan kisah bagaimana gue akhirnya dituntun untuk mengatasinya.
Even before I learned and practiced meditation and mindfulness, I already knew that it was nearly an impossible task for me. I mean… gimana coba caranya bisa duduk diam, anteng, tenang, rileks, sambil fokus pada nafas yang masuk dan keluar.
Belum apa-apa punggung sudah cape. Rasanya pengen break the state saat itu juga agar bisa menggeliat stretching. Tapi gue coba untuk bertahan dan kembali fokus pada nafas.
Baca juga: Itu Hanyalah Pikiran Bukan Kenyataan
Akan tetapi, ga sampe satu detik kemudian, distraction hadir lagi. Tiba-tiba pikiran melayang ke mana-mana. Macam-macam bentuknya dari mulai memunculkan hal receh yang tadi sempat kelupaan hingga file-file lama pun diputar ulang secara random oleh otak. Dan yang paling nyebelin adalah kisah lama yang hadir kembali sepaket dengan emosi ga enak yang selama bertahun-tahun coba kita kubur.
Kalau sudah begitu, mudah jadinya untuk menyerah dan bilang, “Kayaknya ini ga cocok deh buat gue.” Or on another note, mungkin kita jadi mengaitkan meditasi dengan praktik religius tertentu dan menggunakan hal tersebut sebagai excuse to say that it is against my belief.
![]() |
Photo by Shashi Chaturvedula on Unsplash |
As much as I was intrigued to explore meditation as a religious practice and learn about the chants, my passion and patience failed to grow. But it never stops my curiosity to give this practice another shot. So, gue cari info lebih banyak tentang hal ini dari buku, video, termasuk beberapa kali hadir di seminarnya Ajahn Brahm - bikhu asal Inggris yang kini menetap di Australia - ketika beliau ada road tour ke Jakarta.
Walaupun begitu, praktik meditasi gue tetap tidak berjalan lancar. Banyak on-off nya. Beneran susah banget, entah itu meditasi duduk, berdiri, atau berjalan.
Baca juga: Let Yourself Be Guided
Karena tidak terbiasa being gentle to myself, maka perilaku menerima pikiran yang hadir saat meditasi dan dengan lembut mempersilakannya lewat juga tantangan tersendiri buat gue. Tak jarang yang ada malah gue jadi sebel sendiri karena menganggap diri gue gagal, ga bisa fokus dan menjadi tenang.
Bantuan teman yang memang melakukan meditasi sebagai bagian dari kesehariannya tidak terasa banyak membantu. Bukan karena teman yang tidak membantu, melainkan karena gue yang kebanyakan ngeyel. Untungnya teman gue itu sabar dan woles aja menghadapi gue. That might be the meditation effect speaking.
Selanjutnya gue mencoba dengan menggunakan apa yang disebut sebagai digital brainwaves. Tools tersebut diklaim dapat membantu menyelaraskan gelombang otak kita - hal yang sebenarnya kita ingin capai dalam meditasi.
Gue pun membaca bukunya, mencoba menggunakan digital brainwaves, bahkan mengikuti seminar, seluruh level kelas, serta retreatnya. Pikiran memang menjadi lebih tenang walau monkey brain itu masih datang silih berganti. Namun itu bisa cepat diatasi saat sang mentor yang memimpin meditasi memberi arahan (guided meditation).
Baca juga: How to Know What Your Intuition Tells You
Years have passed and I still didn’t give up trying to get back to meditating even though it might seem that I went on a circular mode of level zero. Walau terus-menerus gagal, gue tetap iseng untuk kembali mencobanya sesekali.
Until…
Suatu hari gue kesulitan untuk tidur di malam hari. Pagi harinya tentu saja gue merasa lelah dan tidak segar. Gue berusaha untuk payback kekurangan tidur itu dengan segera mandi di pagi hari supaya badan terasa segar, lalu mencoba untuk tidur.
But it was definitely against my habits. My body didn’t recognize that time as my sleeping hour. Gue sama sekali ga bisa tidur karena ga terbiasa tidur pada jam tersebut. Jadilah gue hanya diam sambil memejamkan mata, pasrah with the fact that my body refused to sleep.
Di saat itu lah pikiran gue terasa tenang. Otak rasanya sepi banget. Ga banyak monkeys chatter berisik di sana.
Gue pun akhirnya menyadari bahwa itu adalah kondisi di mana gue menyerah pada keadaan. Gue udah mentok, ga bisa berbuat apa-apa lagi. Malam harinya ga bisa tidur dan pagi harinya ga mau tidur. Jadi ya… pasrah dan diam saja. Tapi ternyata surrender, pasrah dan menyerah to the things that I can’t control menjadi turning point.
Baca juga: It's Not Always Your Fault
Dari hari ke hari gue coba untuk mempraktikkan hal itu. Pelan-pelan otak gue menjadi lebih tenang. Pikiran yang tak jarang muncul pun tanpa perlawanan gue biarkan karena secara fisik gue memang sudah lelah. Tapi ternyata itu menjadi kondisi yang melatih gue untuk mengizinkan pikiran apa saja yang hadir.
Untuk beberapa lama gue tidak mengetahui hal itu hingga akhirnya gue menyadari perubahan yang terjadi dalam diri gue. Gue menjadi sedikit lebih woles sama hidup. Gue pun secara rutin meluangkan waktu khusus untuk melakukan hal yang kemudian gue sebut sebagai ‘hening’ itu.
Ya, gue menyebutnya sebagai ‘hening’ coz I don’t think it’s really meditation. Buat gue itu adalah masa di mana gue memberi waktu untuk diri gue berdiam diri. Entah sesebentar apa pun, gue selalu punya agenda ‘hening’ bilamana hal itu mungkin dilakukan.
Tidak ada chanting, tidak ada digital brainwaves, tidak ada target, tidak ada teknik. Gue hanya diam sampai gue merasa cukup. Lamanya bisa sepuluh menit hingga satu jam.
Sudah dua tahun ini gue rutin mengagendakan ‘hening’ dalam keseharian gue. Ini seperti kita sedang mencharge baterai handphone kita agar kembali berfungsi maksimal. Seperti rasanya ‘hening’ buat gue. Itu adalah cara gue untuk mencharge kembali diri gue and for me to get back to the center. Tantangan dalam meditasi selalu ada, dan mungkin setiap dari kita diberi kunci yang berbeda untuk mengatasinya. Ini adalah cara gue mengatasi tantangan meditasi gue. Hope it helps.
Comments
Post a Comment