EVER WONDER WHY THE RICH GET RICHER AND THE POOR GET POORER?
![]() |
Photo by RDNE Stock project: www.pexels.com |
Have you ever wondered why the rich get richer and the poor get poorer? Dulu, saat membaca buku-buku dengan tema serupa, gue membacanya sepintas lalu saja. Yang awalnya niat untuk belajar dan mengetahui mengapa hal itu terjadi, berubah menjadi malas untuk melanjutkan membaca. Sekarang baru gue sadar mengapa gue malas melanjutkannya. Itu karena gue merasa dihakimi.
***
Rumah teman masa kecil gue itu sebetulnya begitu strategis untuk perekonomian. Letaknya persis di dekat sebuah taman kecil di kota itu tempat orang-orang berolahraga dan anak-anak kecil bermain jungkat-jungkit, ayunan dan perosotan. Dan sebagaimana yang kita kenal di negara kita, di mana ada keramaian, di situ pasti ada peluang bisnis.
Taman kota yang indah itu pun ramai didatangi penjual, which most of the time means sampah yang berserakan di mana-mana. Untungnya ada sedikit jarak dari tempat keramaian itu dengan kediaman teman gue, sehingga hal-hal yang kurang nyaman tersebut tidak langsung berpengaruh.
Rasanya sangat santai duduk di teras rumah itu pada sore hari. Udara semilir dengan langit cerah dan mata yang dimanjakan dengan berbagai tanaman dan bunga di pekarangan membuat suasana begitu rileks, apalagi ditemani dengan camilan dan secangkir teh hangat.
Baca juga: A Morning Thought
Sayangnya pemandangan yang begitu meditatif itu sekejap hilang saat gue masuk ke dalam rumahnya. Ada banyak barang tergeletak di setiap jengkal ruang tamu, termasuk kotak-kotak paket ekspedisi yang belum dibuka. Sofa juga penuh dengan perintilan barang-barang dengan kain-kain hijab yang telah disetrika rapi secara bertumpukkan dibentangkan di sandaran sofa.
Menyusuri ruang tengah tampak kerangka rak bersusun yang penuh dengan jejeran sepatu dan tas, tumpukan jaket, hiasan kepala, serta beberapa rak berlaci yang kecil. Tampak di atas rak berlaci itu ada beragam jenis skincare. Lalu juga ada dompet make up besar yang terbuka memunculkan berbagai jenis lipstik, concealer, dan berbagai alat make up.
Saat dibimbing masuk ke kamar teman gue, kami disambut dengan topi-topi yang menggantung di pintu kamar bagian luar. Lalu di dalam, tampak banyak ikat pinggang yang bertumpuk yang digantung di dinding. Di sebelah kiri ada sebuah lemari pakaian yang tidak begitu tinggi. Di atasnya tampak pemandangan yang sangat familiar yang tadi gue lihat - beberapa rak berlaci kecil dengan lebih banyak ragam botol skincare.
Sambil iseng gue pun mengamati botol-botol skincare itu. Toner, micellar water, serum, ampoule, moisturizer, night cream, sunblock, essence, dan entah apa lagi namanya bertengger baik di sana seakan mengumpulkan debu. ‘Skincare sebanyak itu, bagaimana cara ia memakainya?’ tanya gue dalam hati.
Baca juga: How Minimalism Helps Me Understand Myself Better
Beberapa botol yang transparan menampakkan isi yang rata-rata masih tiga perempat dan setengah botol. Beberapa yang lain nampak masih rapat tersegel dalam kotaknya. Otak gue pun semakin keheranan. Gimana cara ngabisinnya dengan botol sebanyak itu? Menghabiskan satu botol atau satu jar dengan sistem skin cycle aja butuh waktu beberapa bulan. Apalagi dengan botol, tube, dan jar sebanyak itu... Apa ga keburu expired tuh skincare?
Karena terlalu penasaran, gue pun bertanya pada teman gue akan hal-hal yang tadi gue pikirkan dalam otak. “Oh iya, yang itu pas lagi flash sale waktu itu. Murah banget lho, gue dapat potongan lebih dari dua puluh ribu,” katanya santai namun terdengar seperti sebuah pencapaian terhadap perburuan diskon. “Yang itu (yang masih tersegel) pas 10-10 kemarin. Lumayan sekalian nyetok.” tambahnya lagi.
Walau ga mengerti bagaimana ia menyebutnya sebagai nyetok dengan merk-merk yang berbeda sementara masih ada puluhan botol skincare lain yang belum dihabiskan, gue tidak melanjutkan pertanyaan gue. Gue memilih untuk lanjut ngobrol yang lain.
Teman gue lalu mengajak gue ke ruang makan untuk makan siang. Di meja yang ramai dengan banyak barang dan makanan, tampak bungkusan cemilan yang tampak asing di mata gue. “Cobain, deh… lagi viral tuh,” katanya.
Gue mengamati bungkusan cemilan itu. Itu seperti keripik balado dari Padang. Warna merahnya begitu menggoda. Namun sebelum gue sempat membuka dan mencobanya, adiknya nyelonong bilang, “Jangan dicoba, mbak… ga enak.”
Dengan awkward gue pun tersenyum, bingung apa yang harus gue lakukan: mencobanya atau tidak. “Beneran ga enak?” akhirnya gue memilih untuk mengkonfirmasi info itu pada teman gue.
Baca juga: Quitting My Job Has Changed My Life for the Better (and Brighter)
Ia tertawa, sementara adiknya makin getol meyakinkan gue bahwa itu ga enak. “Ya gimana donk… abisnya dia (makanan itu) muncul terus di feed. Katanya lagi viral,” balas teman gue seolah cuci tangan.
Tak tahan gue pun langsung meresponnya, “Muncul di feed terus juga bukan berarti lu harus beli, kelesss. Itu namanya marketing, bhambaaaang…” Tiba-tiba gue jadi merasa kesal setelah mengatakan hal itu.
Sebenarnya gue kasihan dengan teman gue. Ia mungkin tidak sepenuhnya sadar dengan apa yang selama ini ia lakukan. Konsumtif telah menjadi coping mechanism terhadap kondisi yang memang tidak ia sadari. But, hey… I was once there, too. So, I totally understand her situation.
Gue dulu juga begitu. Saat pekerjaan lumayan bagus dan punya sedikit uang lebih, belanja menjadi hiburan yang tak terelakan. Senang rasanya bisa membeli ini-itu, hal yang semasa kecil tidak bisa gue lakukan. Mata terasa segar melihat barang yang cantik dan lucu-lucu dan ringan saja untuk membayar dan membawanya pulang.
Gue ga ngerti tuh yang namanya style, jenis bahan, model, dan semua detailnya. Pokoknya kalau suka, ya beli. Dan tetap ga peduli saat barang-barang tersebut in the end ga kepake, ga pernah dipake, atau bahkan rusak dan kadaluarsa tanpa sempat dipakai.
Kebiasaan membeli dan membawa pulang barang terus bergulir. Kesenangan sesaat itu lama-kelamaan menghadirkan adiksi sehingga gue pun terus mencari kesenangan itu dan tanpa sadar menumpuk barang. Itu pun masih deny kalau gue hoarding dengan dalih ‘nanti juga bakal butuh’.
Looking back to those years, gue jadi memahami bagaimana dulu gue ga ada perasaan abundance: rasa cukup dan puas dengan apa yang ada karena semua telah tersedia. Akhirnya gue memahami lebih baik mengapa orang yang beneran kaya justru berpenampilan sederhana. Sebaliknya, orang yang ingin diakui sebagai orang kaya dalam pandangan orang lain, berusaha keras menunjukkan status tersebut melalui apa yang melekat pada dirinya.
Ilmu padi itu ternyata wisdom yang otomatis terbentuk dari praktik syukur. Semakin rajin bersyukur, maka otot-otot terhadap rasa enough itu pelan-pelan membesar dan menguat menjadi abundance. Akar abundance yang kuat membuat kita firmly stand to the new belief system. Kita menjadi tidak FOMO, tidak hoarding, dan bahkan menjadi sangat nyaman in our own skin and as an added bonus, money flows freely to us.
Ragam skincare dan make-up yang dimiliki teman gue mungkin bentuk dari lemahnya self-esteem, padahal beliau sangat cantik. Mukanya begitu kecil dan tirus. Seingat gue, sejak remaja ia memang rajin merawat diri sehingga kulitnya bagus bahkan tanpa harus pergi ke dermatologis.
Lemahnya self-esteem jadi target market yang empuk, apalagi untuk kita; para cewek. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, banyak banget produk dan perawatan yang bisa menghasilkan cuan. So, kalau cewek-cewek ini punya sense of abundance bahwa dirinya enough, maka bisa dipastikan bisnis mereka jadi berabe.
Baca juga: Romanticizing Life
Gue jadi kembali teringat teman gue yang menunjukkan sebuah produk berbahan kain yang ia katakan sebagai keluaran artis X dan artis Y. Gue menyentuh kain itu untuk merasakan teksturnya lalu tersenyum sopan demi mendengar cerita dan penjelasannya.
Para artis dan influencer pandai menggunakan pengaruh mereka. Bukan hanya melalui video dan endorse produk, banyak di antara mereka yang membuka bisnis mereka sendiri. Dari mulai resto sampai clothing line dan skincare.
Mereka melihat peluang dalam setiap kesempatan dan tahu bagaimana cara memanfaatkannya. Mereka kreatif dalam menciptakan, sementara kita fasih dalam menghabiskan dan menghamburkan, ga cuma uang tapi juga waktu untuk menonton karya mereka melalui berbagai kanal video yang isinya seringkali jauh dari faedah.
Target mereka adalah kita, yang dengan nyaman melabelkan diri sebagai kaum mager, yang menghabiskan waktu mindlesly untuk mendukung pencapaian revenue bulanan mereka dengan melihat dan menonton konten mereka.
Target mereka adalah kita, orang-orang yang menghuni piramida bawah, yang kerja siang malam untuk menghidupi diri dan keluarga sambil menjadi seorang dermawan yang sedekah menggendutkan rekening mereka.
So, ever wonder why the rich get richer and the poor get poorer?
Comments
Post a Comment