DOES FAILURE REALLY EXIST?
I just made a mistake. A huge one! Everything I was working on to do on the finishing touch from 11 am ‘till 3 pm ‘flashed down the toilet’! It was all gone! Completely vanished!
Gue ga sempat merasa menyesal atau merasa kehilangan akan hasil kerja penuh usaha, ide, energi, and sleepless night itu karena harus buru-buru mencegah kerusakan yang berpotensi meluas. Segera setelah semua berhasil ditangani, gue berdiri meninggalkan meja kerja. Tujuan gue satu: pantry. This is now literally the time to take a break.
Ditemani secangkir kopi panas dan makanan ringan, gue berusaha mengembalikan kesadaran. It’s all gone, kata gue mengingatkan diri gue sendiri lagi. Gue merasakan kehadiran hening dalam diri gue. Rasa panik yang tadi muncul perlahan turun ke dasar endapan yang adalah rasa kehilangan. Untuk beberapa saat gue terdiam. It’s all gone. Anehnya, sejurus kemudian gue justru menertawakan diri sendiri atas apa yang baru saja terjadi.
Yeorobun, ini aneh sekali. Biasanya bila hal semacam ini terjadi, maka rasa yang berkecamuk dalam diri gue setelah panik adalah kesal. Lalu diikuti dengan menyerah dan membiarkannya terbengkalai. Ya, gimana ga kesal? Waktu, pikiran, energi, konsentrasi, jam tidur yang berkurang, semua jadi sia-sia.
Baca juga: The Ultimate Key Point in Manifestation
Tapi kali ini semua itu tidak terjadi. On the contrary, gue malah menertawakan diri sendiri. Yang terjadi tadi itu terasa sangat konyol. Alih-alih merasa kehilangan, gue justru merasa diselamatkan dan di-redirect ke jalan yang sebenarnya gue mau.
Sambil membereskan meja kerja yang berantakan, otak gue kembali aktif memikirkan ide baru. Kali ini gue ga mau buru-buru dan gegabah dalam memikirkan ide awal seperti kemarin, jadi gue mengingatkan diri gue untuk santuy dan ga ngoyo. Akan tetapi, sebelum kopi gue dingin, ide baru itu telah hadir. Gue pun kembali duduk dan menggerakan tetikus.
And just like that… Dalam waktu tiga jam, fondasi project gue telah kembali terbangun.
***
Ini adalah project yang ingin gue lakukan sejak gue masih kuliah. Ga kehitung berapa kali gue mencobanya tapi hasilnya selalu mentah. Setiap kali semangat itu muncul, gue kembali membangun harapan baru dan mencobanya kembali. Akan tetapi polanya selalu saja berulang.
Tahun 2021 kemarin, gue ikut lima hari free workshopnya Lewis Howes - mantan atlet yang kini menjadi lifestyle enterpreneur. Temanya pas banget dengan yang gue butuhkan. Ga seperti kelas dan seminar lain yang pernah gue ikuti, Lewis Howes sangat persuasif dan berhasil bikin gue nekat. I took the high road dalam mengerjakan project ini. And I did it!
Mimpi itu seolah jadi nyata, at least ga mandeg dan mentah seperti biasanya. Namun setelah beberapa bulan ada kendala serius yang ga bisa gue tangani. Akhirnya karena keterbatasan pengetahuan dan minimnya dana untuk mencari bantuan, kembali gue melepaskan project itu. Gue pun kembali vakum.
Baca juga: The "Let Them" Theory That Went Viral
Gue ga tau hubungan apa yang gue punya dengan project ini. Dia terus hadir seperti minta dilahirkan. So, walau sudah puluhan kali gagal, gue selalu nyoba lagi meskipun jarak gue kembali bangkit bisa tahunan.
Seperti kali ini. Setelah nyaris tiga tahun idle, bulan lalu gue bangkit mengumpulkan semangat dan kembali lagi ke medan perjuangan. Tapi belum genap dua bulan, ga cuma gagal, project ini hilang ditelan bumi (tertawa getir).
BUT, HEEYYYY…. NO!!! I won’t give up this time. Not now!! Not today!!
Gue lepaskan semua beban kudu gini - kudu gitu. Ga ada lah lagi pake semua aturan, analisis, goals, end results, atau apa pun hal yang gue pernah pelajari. Pokoknya sekarang jalan aja dulu. Nyebur aja langsung. Sisanya, gimana nanti.
Karena sudah bertahun-tahun gagal, sekarang gue ga lagi takut gagal. Hari ini gue sudah buktikan kalau ternyata gue bisa bangkit lebih cepat. Gue udah tau kesalahan yang gue perbuat. Gue juga sudah lebih mengenali sistem dan aturan mainnya.
***
Malam itu gue senyum dan geli sendiri mengingat peristiwa hari itu. Sebetulnya, gue agak kurang sreg dengan ide dan sistem yang gue kembangkan kemarin. But I thought better done than perfect. Mau sampai kapan nunggu sempurna? Ga bakalan jadi-jadi donk… Kan sambil jalan bisa diperbaiki, begitu pikir gue.
Saat itu, ide lain muncul dalam benak gue. Tapi gue merasa too troublesome untuk ngebongkar dan ganti semua yang udah dikerjakan. So, gue tetap jalan seperti itu.
And now that it’s gone gue merasa liberated. Gue merasa dibebaskan dari diri gue yang keukeug tetap jalan dengan ide lama, padahal gue kurang sreg. So, dengan ga ada project itu, gue bisa redirect and redefine my project.
Then, something came to my mind…
Gimana kalau ternyata ini bukan tentang gue mewujudkan project ini. What if ini adalah tentang gue diajari cara melepaskan keinginan yang kuat; cara ga attached sama end results; cara gue terhubung dan percaya pada diri gue; dan cara gue enjoy belajar menikmati hidup. Project itu mungkin berperan sebagai tools belaka.
Baca juga: How to Know What Your Intuition Tells You
Gue membuka journal lama gue. Gue mereview pelajaran Lewis Howes dan membaca jawaban gue dari workbook dan PR yang dikasih Lewis selama lima hari itu.
Pelajaran Lewis itu bagus, terstruktur, mudah dicerna, dan practical banget untuk langsung diaplikasikan. But there’s something that I realized… we have our own personal legend. We have our own stories. We carry different baggage in life.
Gue yakin pasti sudah puluhan ribu orang yang pernah ikut seminarnya Lewis Howes. Itu belum termasuk pendengar di podcast, Youtube, dan pembaca buku dia. Also, itu baru Lewis Howes, belum lagi kalau kita bicara Tony Robbins yang jauh lebih senior. Tapi berapa persen di antara puluhan ribu dan ratusan ribu orang itu yang berhasil seperti mereka?
Para peserta yang telah rela membayar mahal itu tentu menginginkan hasil yang sama: sukses. Akan tetapi, masing-masing dari kita punya ceritanya uniknya sendiri-sendiri. Timingnya berbeda-beda. Ga ada yang serempak. Ga ada yang linear.
Gue jadi bertanya dan mempertanyakan: “Does failure really exist?” Apa benar kegagalan itu ada? Ataukah itu hanya label dalam bentuk kata yang diciptakan manusia untuk membedakan satu situasi dengan situasi lainnya?
Gue kembali melihat catatan gue dan mereview tujuan gue mengerjakan project ini. Singkatnya, di jurnal itu gue menuliskan bahwa tujuan gue menjalankan project ini adalah untuk membantu orang lain. Gue bahkan menuliskannya secara spesifik sebagaimana arahan Lewis.
Akan tetapi sekarang gue disadarkan bahwa project ini bukan tentang gue membantu orang lain. Melainkan ini adalah tentang gue membantu diri gue sendiri, connect with my higher self, serta proses mengenal diri gue dengan lebih baik.
It’s not my job untuk memberi kemanfaatan kepada orang lain. Orang lain lah yang memetik manfaat itu bila memang ada. Jadi sesungguhnya itu tak lebih dari bentuk resiprokasi hidup manusia sebagai makhluk sosial.
I am now patting my back. I don’t think what happened to me was a series of failures. I think it was guidance. It was love and affection.
Comments
Post a Comment