QUITTING MY JOB HAS CHANGED MY LIFE FOR THE BETTER (AND BRIGHTER)
Setiap dari kita menjalani banyak episode dalam hidup. And if we’re lucky enough, kita dibimbing untuk memasuki episode yang menjadi milestone penting hidup kita. This could be a great turning point in our lives. And for me, it was the moment I decided to quit my job.
![]() |
Photo by René Porter on Unsplash |
Sebetulnya tidak begitu sulit membuat keputusan itu. Gue ga punya tanggungan. Setelah resign nanti gue tinggal cari pekerjaan lain. Dan sambil menunggu mendapat pekerjaan baru, gue bisa mengandalkan tabungan yang ada. Sesederhana itu konsep yang selalu gue terapkan. And it always worked. But this time, keputusan itu menjadi tidak lagi semudah dulu.
I think I was aging it. Gue ga lagi semuda dulu yang mudah dan cepat membuat keputusan. Kali ini gue membuat banyak pertimbangan. Pertimbangan that sadly was based on fear. Bukan, bukan ketakutan ga dapat pekerjaan lagi atau ketakutan ga punya uang dan sejenisnya, melainkan kekhawatiran jangan-jangan gue impulsive.
Gue khawatir jika keputusan gue itu hanya ego-based driven. Gue khawatir kalau gue keluar berarti gue tidak berhasil melalui ujian hidup yang dihadirkan melalui lingkungan kerja gue. Dan gue khawatir if I had just been a quitter.
Kalau begitu ceritanya, kapan gue akan jadi dewasa? Dan bila memang gue dianggap tidak lulus melalui ujian hidup yang hadir melalui lingkungan kerja itu, bukankah gue tetap harus remed di tempat lain?
Baca juga: My Beliefs About Work and Money That Save My Life (LIka-Liku Gue Kerja)
Otak gue yang memang tugasnya melakukan proteksi dengan sigap ngomporin gue. Sifatnya yang lebih memilih familiar hell daripada unknown heaven langsung membisikkan fakta-fakta. Dan pelan-pelan gue mulai termakan hembusan angin surga palsunya.
Emang sayang banget sih ninggalin pekerjaan yang telah memberikan gue banyak kenyamanan hidup. Gue pun membayangkan semua hal yang akan gue tinggalkan: the comfort of monthly salary, thirteenth salary, health insurance, housing, water and electricity bill, bahkan termasuk ART di rumah difasilitasi oleh kantor. Gue pun kembali menimbang-nimbang keputusan gue.
Sebenarnya itu adalah pekerjaan yang sangat gue sukai. Gue pun punya banyak kesamaan visi dengan bos besar and that’s what matter the most. So, should I stay? I have my own office as a sanctuary to catch some breath when I need a little break from all the hustle and bustle situation there, begitu otak gue terus berusaha meyakinkan gue.
And after a long deep contemplation, I finally made up my mind. The price to that comfort is too expensive. It costs me my well-being. So, I kissed that job good bye.
Eight years have passed, dan ternyata itu adalah keputusan terbaik. My life turns to be the best life that I’ve never even thought before. Gue mengalami keindahan, ketenangan, dan keajaiban hidup. Banyak YouTuber yang membagi cerita mereka dengan tema sejenis and it is true!
Harga yang kita bayar to be in such corporate job ternyata sangat mahal. It costs us our freedom, peaceful mind, forget or letting go of our dream, not fully being ourselves, time with our loved ones as well as with ourselves, our health and well being.
Baca juga: I Quit My 9-5 Job and Live in Uncertainty - Best Decision Ever!
Gue akhirnya diajarkan untuk melihat hidup dari paradigma yang berbeda. Gue disadarkan bahwa pekerjaan macam corporate job dan sejenisnya itu simbol dari rasa aman akan hidup manusia. Dengan penghasilan yang jelas tiap bulan, tentu kita ga khawatir akan kelaparan, kedinginan, dan kehujanan.
Meninggalkan sandaran rasa aman membangkitkan sympathetic nervous system kita. Rasa takut pun muncul. Bentuknya macam-macam, tergantung personal legend kita masing-masing. Ada yang bentuknya takut ga bisa bayar cicilan, sekolah anak, makan sehari-hari, dsb.
Karena telah terbiasa dengan pekerjaan yang biasa kita lakukan itu, kita jadi sulit untuk melihat alternative penghasilan yang lain. Kreativitas kita tidak terasah karena tertutup oleh belief systems bahwa sumber kehidupan adalah pada corporate job. Dan ternyata itu sama sekali tidak benar.
Even though I have quit my job, I consistently make money. Walau jumlahnya tidak stabil, selalu ada pemasukan setiap bulannya. And when it’s my lucky month, jumlahnya bisa sama bahkan melebihi penghasilan gue dulu saat bekerja. Even better, karena jumlah jam kerjanya lebih sedikit, beban kerjanya jauh lebih kecil, jam kerjanya lebih flexible, bisa dikerjakan dari rumah, environment kerjanya gue yang menciptakan, plus bonus gue boleh pilih klien.
Ga ada lagi yang namanya pressure, stress, burn out, serta kelelahan fisik dan mental. On the contrary, gue malah punya banyak waktu luang untuk jogging, zumba, nulis, jalan, jajan, hang out, dan liburan. Isn’t live suppose to be this way? Aren’t we suppose to live our lives and enjoy it?
Baca juga: A Game-Changing Activity I Used to Underestimate
Gue pun baru ngeh bagaimana ketakutan yang hadir saat gue mau resign hanyalah kondisi normal alamiah dari skema kerja keseluruhan sistem tubuh gue. I mean everthing comes in two sides of a coin, right? Keberanian hadir dengan antisipasi dari ketakutan. Tanpa itu, kita bisa bablas membakar jari kita yang menyentuh api lilin.
Ketakutan gue ternyata adalah simbol dari keinginan diri gue untuk belajar menjadi dewasa. And of course the system runs automatically - the system of fear of the unknown. Karena belum pernah memasuki fase itu, tentu rasa takut itu hadir. And that’s normal.
Now that I have passed that stage of life I can’t thank the whole system enough. Ternyata gue belajar menjadi dewasa untuk melihat dan menyadari bahwa tinggal, berada, dan bertahan pada toxic environment bukanlah tentang ujian yang dewasa adalah yang sanggup bertahan. Melainkan memprioritaskan diri by taking care of my health and well being by not being there is the right thing to do. It is part of what maturity is.
Comments
Post a Comment