TRADISI LEBARAN KELUARGA YANG TAK MUDAH UNTUK DIWARISKAN

Apa tradisi lebaran di keluarga kalian? Tradisi unik yang mungkin ga dimiliki keluarga lain. Tradisi lebaran yang terus dijaga bahkan diwariskan dari generasi ke generasi.

Photo by Timur Weber: @pexels

Kalau di keluarga gue, kayaknya tradisi lebaran kami adalah tangis-tangisan. But it’s not fair to call it “kami” as in the whole members of the family, karena yang tangis-tangisan hanya nyokap gue dan siblingsnya, which means pakde (alm.), bude, tante, dan om gue.

Di setiap Hari Raya, keluarga besar kami bertemu dan berkumpul. Sebagaimana keluarga Indonesia pada umumnya, kami saling bersalam-salaman sambil mengucapkan “Mohon maaf lahir batin”. But our parents, begitu bertemu, mereka auto nangis sambil bersalaman, berpelukan dan saling meminta maaf. 

Keran airmata seolah sudah diset timernya dan terbuka as soon as mereka bertemu, padahal tidak ada kata-kata lain yang diucapkan. Tidak ada kalimat lain, tidak ada drama, tidak ada kejadian apa-apa. Yang ada hanya ucapan memohon pengampunan atas segala salah dan khilaf.

Itu terlihat seperti ada beban berat yang pikul masing-masing dari mereka lalu begitu saja dilepaskan, dibebaskan, pada detik itu juga. And the interesting part is no explanation needed. Jiwa mereka seolah sudah tersambung sehingga tidak lagi butuh kata-kata untuk mengungkapkan maksud hati. 

It’s always touching and confusing at the same time. Like how do they even do that? 

Kami, para anak, sudah hafal dengan tradisi ini. Jadi, biasanya gue beserta para sepupu dan keponakan saling bersalam-salaman dahulu sambil menunggu para tetua menikmati momen khidmat mereka, barulah kami bersalam-salaman dengan mereka.

Karena hal ini terjadi dari masa ke masa, I didn’t see anything weird about it. Not until this moment that I’m writing about it. 

Nyokap gue dan siblingsnya hidup dan besar di masa yang sangat sulit. Mereka belajar untuk mandiri, saling bergantung, saling mensupport, lalu merantau demi kehidupan yang lebih baik. They must have gone through a lot of troubles in life. Troubles that we can never imagine. 

Kondisi survival mode mereka saat itu literally to survive, memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, dan pendidikan anak-anak. Ga ada tuh yang namanya pengembangan skill komunikasi verbal apalagi love language seperti words of affirmation. That’s why permintaan maaf dirapel setahun sekali mengikuti tradisi yang telah diwariskan turun temurun dan dibungkus padat menjadi ‘minta maaf untuk segalanya’. 

I guess, itulah mengapa, kami, generasi yang lebih muda ini, tidak memahami keajaiban airmata para tetua itu. Itu airmata bukan sembarang airmata. Airmata itu lebih dahsyat dari ribuan kata yang bahkan tak perlu terucap. Airmata itu, walau singkat dan sejenak, menghapus luka hati dan meringankan beban di bahu. Airmata itu merekatkan jiwa yang mungkin pernah berjarak. Dan airmata itu… bisakah kalian mewariskannya pada kami?

Comments

Popular posts from this blog

WHY HEALING YOUR PAST IS THE KEY TO TRUE GROWTH

WHY LEAVING MY 9-5 JOB WAS THE BEST DECISION FOR PEACE AND SUCCESS

STOP GALAU! PUTUSKAN SEKARANG JUGA