OBAT HOMESICK

Photo by Polina Tankilevitch from Pexels

Gue diperkenalkan dengan Dora oleh seorang staf kantor penyelenggara beasiswa saat menghadiri acara pre-departure orientation. Jadi, sebelum para grantee (penerima beasiswa) dikirim ke kampus masing-masing di Amerika, penyelenggara mengadakan orientasi sebagai bekal informasi awal persiapan kami di sana. Pada momen ini lah kami bertemu grantee dari seluruh Indonesia. Selain kami, mereka juga mengundang mahasiswa Amerika yang sedang melakukan studi atau penelitian di Indonesia. Dengan begitu, kami bisa saling membantu satu sama lain.

Dora (tentu bukan nama sebenarnya) sangat ramah dan hangat. Senyumnya cerah ceria. Bukan hanya bibirnya yang tersenyum, tapi juga matanya. Energi ramahnya benar-benar menyeruak, semerbak, ga bisa ditahan, ga bisa dimanipulasi.


Ia bak Miss Congeniality dalam event itu, mengalahkan seorang grantee Indonesia yang sibuk muter-mter memperkenalkan diri dan beramah-tamah pada lebih dari 400 orang grantee di ballroom itu. Seorang rekan gue yang satu program pun berbisik memberi julukan grantee itu sebagai ‘Miss I Know Everyone and Everyone Knows Me’.


Dora tinggal di ibukota negara bagian yang sama dengan kampus yang akan gue tuju. Ia memberi gambaran seperti apa kota dan kampus tempat gue akan belajar serta hal-hal yang perlu gue ketahui. Tak lupa, ia memberi gue kartu namanya. 


Beberapa hari setelah orientasi, gue bertemu lagi dengan Dora. Ceritanya, anak-anak grantee asal Jakarta dan sekitarnya ngumpul bareng supaya saling kenal lebih dekat. Lalu kami mengundang Dora dan beberapa temannya yang masih ada di Jakarta untuk bergabung. Kami mengajak mereka jalan-jalan ke kota tua, ke museum, dan end up nongkrong di cafe.


Baca juga: My Beliefs about Work and Money that Sy Life - aveL Mika-liku Perjalanan Gue Kerja


Hubungan gue dan Dora sama seperti hubungan gue dengan semua grantee. Kami semua kenalan baru. Kami menjadi dekat untuk menjadi support system bagi satu sama lain karena kami akan berada jauh dari keluarga.


Untuk maintain hubungan itu, Gue mengirimkan email pada Dora beberapa minggu setelah kondisi gue settle di Amerika. Tentu rasanya senang dan tenang memiliki seseorang yang kita kenal di negara asing. Dora membalas email dengan langsung menelpon gue. Ia terdengar jauh lebih excited daripada gue. Dia bertanya ini-itu seolah memastikan kondisi gue baik-baik saja. Dan sebelum mengakhiri pembicaraan, ia meminta gue mengirimkan alamat apartemen gue. Katanya kalau ada waktu luang dia akan berkunjung. 


Baca juga: Does Time Really Heal?


Beberapa hari setelahnya, datang sebuah paket sebesar kardus mie instant. Nama Dora tertera di sana sebagai pengirim. Gue kaget, senang bercampur heran. Ini beneran paket buat gue? Gue masih setengah tidak percaya.


I didn’t know what to expect. Dora ga ngomong apa-apa soal akan kirim paket saat kami ngobrol di telepon. And guess what’s inside??? Mie instant!! Dora mengirimkan nyaris sekardus penuh mie instant merk terkenal tanah air dengan berbagai rasa yang gue sendiri belum pernah coba saat di Indonesia. 


Gue membuka sebuah kartu yang bertengger di atas tumpukan mie instant itu. Tulisannya singkat, padat, dan bikin meleleh. Katanya itu obat kalau gue homesick.


Gue auto lemes terharu… Duh Gusti, baik banget sih ni orang. Jujurly, gue bukan cuma terharu akan kebaikan Dora, tapi juga terharu karena akhirnya bisa makan mie instant favorit itu lagi. 


Mie instant kebanggaan rakyat Indonesia itu sangat sulit didapat di kota tempat gue tinggal. Hanya ada satu toko kecil yang menjual barang-barang dan makanan asal Asia di sana. Itu pun letaknya tidak dapat dijangkau dengan transportasi umum. Jadi gue hanya bisa ke sana kalau Tania ngajak gue grocery shopping karena dia pakai mobil sendiri. 


Harga mie instant merk asli Indonesia itu tiga kali lipat lebih mahal dari mie instant merk lain dengan jenis serupa yang dijual di supermarket umum di sana. Dan ternyata rasanya emang beneran juara - bukan cuma di lidah, tapi juga di hati. Feels like home. 


Baca juga: Mungkin Ini Alasan Kamu Belum Memulainya


Selain kartu ucapan, di dalam amplop juga ada kartu international calling cards. Bukan cuma satu atau dua, tapi ada tiga. Dan nominal masing-masingnya sangat besar. Entah bagaimana gue bisa menghabiskannya. 


Gue duduk terdiam memandangi isi paket dan kartu dari Dora. Dibutuhkan hati baik yang penuh empati untuk bergerak pergi membeli, membungkus, dan mengirimkan itu semua. 


Gue jadi teringat, sebelum berangkat ke Amerika, sempat ada rasa takut yang datang dan pergi membayangkan gue yang berada seorang diri di negeri asing. Namun kebaikan Dora dan angelic heart Yasi bikin gue percaya bahwa masih banyak orang baik di dunia. Bahwa pertolongan Tuhan itu selalu hadir dan selalu di dekat kita.

Comments

Popular posts from this blog

WHY HEALING YOUR PAST IS THE KEY TO TRUE GROWTH

WHY LEAVING MY 9-5 JOB WAS THE BEST DECISION FOR PEACE AND SUCCESS

STOP GALAU! PUTUSKAN SEKARANG JUGA