MY FOUR-LEAF CLOVER NAMED JO

 

Seseorang mengetuk pintu ruangan gue. Tanpa berpaling dari komputer, gue mempersilakan orang tersebut masuk. Pintu terdengar dibuka, namun gue tetap asyik mengamati data di layar komputer. Selang beberapa detik, keadaan sepi. Tidak ada orang yang berdiri atau duduk di hadapan gue dan mengutarakan maksud kedatangannya sebagaimana yang biasa dilakukan rekan kerja gue. Menyadari hal itu, gue pun mengalihkan pandangan ke arah pintu.

Pintu terbuka sedikit. Sebentuk kepala nongol di sana seakan terjepit, meninggalkan siluet tubuh yang terbentuk di balik pintu berbahan kaca yang dilapisi stiker ornamen karya artistik bos gue. Sosok kepala dengan wajah tanpa ekspresi itu sangat familiar di mata gue. Gue auto tersenyum dan seketika ceria setelah sepagian berkutat dengan pekerjaan. Gue tinggalkan data di depan komputer, lalu menghampiri dan menyambutnya. 

Mari kita sebut sosok itu Jo. Jo is one of my greatest buddies. Ia pernah menjadi part-timer di kantor kami sebelum akhirnya mendirikan start-up company di bidang IT bersama temannya. Semenjak itulah gue jarang bertemu Jo.

Baca juga: Ben dan Kaos Merahnya

“Tumben banget. Lu ngapain ke sini? Ada acara apa?” gue langsung memberondong Jo dengan pertanyaan.

“Dipanggil bos lu,” jawab Jo singkat sambil menarik kursi dan duduk di tempat gue biasa menerima tamu atau mengadakan rapat kecil.

‘Wow, dipanggil bos?’ tanya gue keheranan dalam hati. Kantor punya project apa nih, sama si Jo? Tumben bos ga share ke gue? Secret mission nih, kayaknya. Otak gue jadi sibuk sus* sama bos.

Ga tahan merasa penasaran sendiri, gue pun bertanya pada Jo. Tapi Jo juga ga punya jawaban itu. Dia sendiri belum bertemu bos. Sesampainya di kantor, dia langsung menuju ruangan gue sambil menunggu waktu janji dengan bos tiba. Gue pun memanfaatkan waktu kunjungan Jo itu sebaik mungkin mengingat betapa sulitnya bertemu dia. 

Aside from being my greatest buddy, Jo is also my ‘a go to guy’. Ada masalah dengan komputer? Go to Jo. Lupa password hotspot karena Jo yang nge-set-in? Go call Jo. Darurat kudu ngeprint di rumah tapi ga tau cara ganti ink printer? Dial Jo. Bahkan saat esok hari ada presentasi penting di sebuah acara international conference dan gue belum tidur dua hari karena insomnia? Cry for help to Jo.   

Baca juga: Is Marriage For Everyone?

Jadi gini, guys… selain anak IT, Jo menekuni hypnosis dan pernah menjalaninya sebagai profesi. Ia juga berpengetahuan luas tentang meditasi sebagai salah satu praktik dari ajaran agamanya. 

Nah, malam itu, I desperately needed his help because I couldn’t afford ruining presentasi tim Indonesia hanya gara-gara gue ga fokus akibat insomnia. So, walau cape malam-malam baru pulang kerja, Jo guiding gue by phone untuk stretching, fokus pada nafas, sampai gue merasa rileks dan mengantuk.

Anywho… setelah ngobrol ringan, gue mulai curhat panjang lebar dengan Jo. As a guy friend, Jo sangat attentive saat dicurhatin. He’s a good listener and a great advisor. Dia selalu kasih insight dan pandangan yang objektif. Ga segan-segan, kadang dia menjadi galak dan marahin gue kalau ada pemikiran atau tindakan gue yang menurutnya salah.

“Lu tau ga? Lu tuh lagi nendang-nendang diri lu sendiri. Lu tuh lagi ngegebuk-gebukin diri lu yang udah babak belur,” katanya merespon curhatan gue.

Gue terperanjat. What is he talking about? Gue diam berusaha mencerna kalimat Jo yang langsung menohok, menghujam ulu hati gue.

Seperti biasa, tanpa filter, Jo lanjut secara blak-blakan menggunakan diksi yang cukup brutal untuk menjelaskan pernyataannya tadi. Kali ini, tidak ada sanggahan dari gue. Tidak ada argumen balik. Gue terlalu kaget sehingga sibuk untuk berefleksi mencerna kata-kata Jo.

Baca juga: Asap Mengepul Akibat Telur Ceplok

Tiba-tiba asisten bos mengetuk lembut pintu ruangan gue, lalu membukanya perlahan. Ia tersenyum ramah kepada kami dan mengatakan pada Jo bahwa bos sedang menunggunya. Ah, ia pasti telah mendapatkan laporan dari front desk tentang kehadiran Jo di kantor. Suara Jo juga mungkin terdengar dari luar sehingga ia memilih untuk datang mengetuk pintu ruangan gue ketimbang menyampaikan hal itu lewat telpon yang deringnya bisa mengganggu percakapan kami. Such a thoughtful and wise girl.

Gue tidak beranjak dari tempat duduk dan lanjut merenung setelah Jo pergi. What Jo said was new to me, yet it was correct. It made me feel bad about myself. Have I been so abusive to myself? Gue terus bertanya-tanya pada diri sendiri.

Gue tidak tahu bahwa selama ini yang gue lakukan tidaklah benar. Jadi yang gue lakukan selama ini adalah menendang diri gue sendiri? Memukuli dan menyakiti diri gue sendiri? Well, not physically, but mentally.

Gue tau, sejak kecil gue sangat keras pada diri gue sendiri. Gue ingin menjadi lebih baik dan cara yang saat itu gue tahu adalah dengan mencambuk diri. Again, not physically, but mentally. And without knowing it, gue tumbuh menjadi perfectionist yang sulit menolerir kesalahan diri sendiri. 

Baca juga: Tornado Warning - Lost in Campus

Walau gue tahu tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, gue tidak menyukai diri gue yang berbuat kesalahan. So, I was hiding behind some toxic positivite quotes such as ‘The best never rest’ as an excuse to give me a privilege to punish myself.

Being hard on myself as a way to motivate me or to punish me to do better next time ternyata bukanlah pilihan yang benar. Alih-alih memberi pelajaran dan mendisiplinkan diri, cara itu justru membuat gue memusuhi dan membenci diri gue sendiri. Sikap itu juga membuat gue semakin berjarak dengan diri gue. And I didn’t see that. Not until Jo opened my eyes. And as far as I remember, itu adalah tonggak awal perjalanan gue belajar untuk mengenal dan mencintai diri gue sendiri. 

Telah banyak waktu yang gue habiskan dengan Jo. Banyak kisah dan cerita yang kami bagi. Banyak juga omelan Jo buat gue. Tapi dari semua obrolan yang kami punya, hanya momen itu yang gue ingat betul kata-kata Jo. Ekspresi datar Jo saat mengungkapkan hal itu pun masih segar dalam ingatan gue. And that moment changed me for the better.

EPILOGUE

While I was writing about it, I paused and grabbed my phone. Tiba-tiba jadi penasaran gimana kabar tu bocah. So, I texted him sekadar kasih tahu bahwa gue sedang nulis dan inspirasinya adalah dia. 

Seperti biasa, dia selalu fast response. “Somehow kemaren malem juga gw ada kepikiran lu soalnya ada tanda rumah dijual dan yang jual (someone who shares the same nickname with me). Gw kayak lagi mikir ni anak lagi ngapain yak? Hahaha,” begitu responnya.

Gue tersenyum lebar membacanya. Wow, what a coincidence! Kami lalu saling bertukar kabar singkat dan gue mengakhirinya dengan, “Btw, take care, ya… You’re really such a great buddy.” This is the main point of why I texted him in the first place. I wanted to let him know what a great friend he is. Lalu gue menutupnya dengan mengirimkan salam untuk istri, adik, nyokap, dan anjing peliharaannya.

“Thank you! I kinda need a win today. Work has been a bit tough kemaren,” balasnya.

Oh, wow… gue kaget but glad that I did that. Kirain gue bakal dikira aneh atau direspon seadanya karena ga ada angin ga ada ujan tiba-tiba bilang begitu. But who knows, ternyata niat tulus dengan pesan singkat sederhana seperti itu bisa sedikit menghibur seseorang yang sedang membutuhkannya.

Untuk beberapa saat gue terdiam, tidak tahu harus menulis apa. Lalu gue biarkan hati gue yang menulis, “You deserve that. Elu sebaik itu. Dan personality lu tuh evergreen… ga tergerus oleh waktu. And I just realized that. And feel grateful to have known you. Dah, yak… cepet sembuh injury-nya.” 

“Yes2. Kapan-kapan lagi ya,” tulisnya.

I guess what people say is right: “A good friend is like a four-leaf clover. It’s hard to find but lucky to have.” And I'm so lucky to have my four-leaf clover named Jo.

* sus = suspicious

Comments

Popular posts from this blog

MY BELIEFS ABOUT WORK AND MONEY THAT SAVE MY LIFE - LIKA-LIKU PERJALANAN GUE KERJA

I QUIT MY 9-5 JOB AND CHOOSE TO LIVE IN UNCERTAINTY - BEST DECISION EVER!

IS MARRIAGE FOR EVERYONE?