LET ME WEAR THAT CLOWN MASK COZ I DON’T DESERVE HAPPINESS

 


‘Do I have to live like this every day?’ Itu adalah judul sketsa yang dikirimkan oleh bestie gue. Sketsa itu dibuat oleh anaknya yang saat itu ia duduk di bangku sekolah dasar.

Di tengah kertas putih itu tergambar sketsa kasar sosok seperempat badan manusia yang dipenuhi dengan coretan benang kusut disekujur tubuhnya dengan tinta berwarna hitam. 

Tidak ada wajah ataupun rambut di bagian kepala sosok itu. Yang ada hanya headphone yang terpasang di telinga serta tulisan kata ‘SORRY’ dengan tinta merah tepat di area dahi. Lalu ada guratan tinta merah yang sepertinya menggambarkan darah yang menetes dari bawah telinga kanan dan kiri. Tetesannya terus mengalir hingga ke pundak.

I swiped to observe the next picture. Di lembar kedua, gambaran sosok manusia itu sekarang setengah badan. Ia mengenakan hoodie dan tampak menenteng backpack. 

Di bagian kepala tergambar wajah yang lengkap. Kedua alis kanan dan kiri melengkung ke atas tepat ke arah tengah dahi, mata yang berkaca-kaca, serta mulut terkatup rapat. Tangan kanannya memegang sebuah topeng. Ia seolah baru melepas topeng itu dari wajahnya. Itu adalah topeng Joker dengan kedua alis berbentuk bulan sabit, sinar mata sneaky, hidung bulat ala badut ulang tahun dan bibir yang sedang tersenyum ear to ear.

Di pojok kanan atas gambar itu tertera tulisan: “Don’t mind me. I don’t need to be happy. I’m okay wearing a clown mask coz I know I don’t deserve happiness.”

JLEBB! Kalimat tersebut menghujam jantung gue, menampar kewarasan gue. Anak sekecil itu sudah bisa bilang bahwa dia ga pantas bahagia?? What kind of world are we living now??

Baca juga: A Game-changing Activity I Used to Underestimate

I swiped the next page. Sketsa berikutnya adalah yang paling dark. I was extremely shocked to find it. Ada sebuah gambar yang jauh lebih kecil ketimbang gambar di kedua sketsa sebelumnya. 

Di sekitarnya ada banyak kalimat tertulis seolah menggambarkan isi pikiran dan perang batinnya. Gue menyapu bersih kalimat-kalimat tersebut dari pojok ke pojok. Salah satu kalimat yang cukup berat adalah mempertanyakan mengapa ia dilahirkan bila kehadirannya tidak disukai.

Sketsa-sketsa berikutnya adalah gambaran kejadian yang ia alami dan apa yang ia rasakan, dulu dan sekarang. 

Ada gambaran indahnya masa kecil. Ia berada di tengah dan digandeng oleh kedua orang tuanya. Lalu di sebelahnya gambar ia telah beranjak dewasa. Tinggi tubuhnya telah hampir sama dengan kedua orang tuanya. Ia berada di tengah-tegah mereka tapi kali ini sambil menutup kedua telinga karena kedua orang tua di kanan dan kirinya tampak saling berteriak. Di antara kedua gambar itu ada kalimat tentang bagaimana ia memprediksi masa depannya yang sudah hancur.

Berikutnya ada gambar orang-orang berkumpul di meja makan dengan berbagai hidangan tersaji di meja. Mereka tampak gembira. Lalu di sebelahnya ada gambar ia sedang duduk sendirian di meja makan dengan hanya sepiring makanan di hadapannya. Di situ ia menuliskan bagaimana sekarang semua orang sibuk dengan hidup mereka masing-masing dan mempertanyakan tidakkah mereka rindu untuk ngumpul dan makan bareng lagi.

Baca juga: My Four-Leaf Clover Named Jo

Selanjutnya ada gambar perayaan ulang tahun. Dari ukuran tubuh yang digambarnya, tampak bahwa itu menunjukkan perayaan ulang tahun saat ia kecil. Di sana ada kedua orang tuanya di mana salah satunya memegang kue dengan sebuah lilin tertancap di atasnya. Ada beberapa hadiah di bawah meja dan orang-orang yang menghadiri perayaan ulang tahunnya. Semua mengenakan topi khas ulang tahun berbentuk kerucut.

Namun kini, hanya ada ia dan topi kerucut itu beserta seiris kue dengan sebuah lilin di atasnya. Sosoknya kini digambarkan memegang sebuah ponsel bertuliskan ucapan selamat ulang tahun dari teman dan keluarganya.

Hening. Gue duduk terdiam.  It was too shocking, too overwhelming. I had a lot to process in my brain about what was happening. Hati gue tersayat. Gila, sedih banget.

“We gotta save her,” kata gue kemudian kepada bestie gue, even though I literally don’t know what to do. I’m not an expert. I’m even Miss Nobody to them.

Rasanya begitu menyakitkan dan sedih melihatnya because it was real, bukan kisah dalam drama. Dan gue baru tau sedalam itu rasa sakit seorang anak. Is this how a childhood trauma begins?

Baca juga: Why Do I Have To Pray For the Thing That I Don't Want? - A Diary

Ego para orang dewasa ternyata benar hanya meninggalkan luka dan trauma bagi anak-anak. And the sad part is… even though they might know about it, they choose their ego over their kid’s heart and mentally stable emotion.

Kondisi fisik anak yang terlihat sehat dan baik-baik saja tidak selalu mencerminkan kondisi internalnya. Dan luka batin itu adanya di dalam. Ia tidak terlihat. Namun karena tidak terlihat, bukan berarti ia tidak ada.

Kalau sudah begini, who else to blame than the parents themselves? Rasanya ingin marah mendengar bagaimana anak-anak diabaikan demi menuruti ego pribadi mereka sendiri. Rasanya ingin membantu tapi tidak tahu apa yang harus dan bisa gue lakukan.

But what if it’s no one to blame? Para orang tua itu juga mungkin tidak tahu bahwa urusan mereka juga masih belum selesai. Mungkin mereka juga memiliki trauma masa kecilnya sendiri yang tidak pernah diketahui dan disadarinya. Maka menjadi sulit untuk membantu anaknya saat diri mereka sendiri juga membutuhkan bantuan yang bahkan tidak diketahuinya. 

Or maybe it’s everyone to blame. Perasaan dan emosi tidak dianggap signifikan dalam society kita. Keduanya bahkan cenderung diperlakukan sebagai anak tiri. Dalam belief ini adalah hal yang “wajar” kalau laki-laki lebih banyak menghabiskan waktu bekerja dan perempuan menangani urusan domestik. Adalah hal yang “biasa” bagi orang tua untuk tidak bonding dengan anak-anak mereka dan menganggap pemenuhan kebutuhan fisik saja sudah cukup.

This belief then goes into practice from time to time, generation to generation. 

Baca juga: Inikah Hal Yang Paling Dicari Semua Orang Tapi Tidak Disadarinya?

But blaming is not and is never a solution. So, what if we stop blaming anyone and start taking responsibility for our lives? We are adults after all. Shouldn’t we act like one?

Ada banyak hal baik yang diwariskan oleh orang tua kita dalam pendidikan keluarga. Namun ada juga hal yang perlu diperbarui dan diupgrade. 

I believe zaman sudah banyak berubah. Talking about our feeling is not a shame or sign of weaknesses. Sebaliknya, justru ini menunjukkan keberanian dan kekuatan. Ini adalah keberanian dan kekuatan untuk menolong diri kita sendiri serta membantu dan menyelamatkan keluarga kita.

Shall we start helping ourselves to be able to help others, too? Tolong berhentilah menjadi budak ego. Tolong selamatkan masa depan anak-anak. They are your responsibility, anyway.

Yeorobun, may we all have the courage to help ourselves and the people that we love.

Photo by Ella Wei/pexels

Comments

Popular posts from this blog

MY BELIEFS ABOUT WORK AND MONEY THAT SAVE MY LIFE - LIKA-LIKU PERJALANAN GUE KERJA

I QUIT MY 9-5 JOB AND CHOOSE TO LIVE IN UNCERTAINTY - BEST DECISION EVER!

IS MARRIAGE FOR EVERYONE?