HOW RAMADHAN HAS CHANGED ME ONCE AND FOR ALL
Awalnya bertanya-tanya, seperti apa rasanya puasa saat musim panas? Sepanas apa rasanya musim panas di daerah selatan Amerika Serikat? Bagaimana rasanya berpuasa di atas 15 jam dalam suhu yang panas? Seperti apa rasanya puasa jauh dari keluarga dan tanpa sanak saudara? Yadda… yadda… yadda… masih banyak lagi pertanyaan di benak gue saat masih di Indonesia. But it was nothing like I’ve ever imagined. Ternyata itu adalah pengalaman terbaik dan berharga. So, this is the story how Ramadhan has changed me once and for all.
![]() |
Photo by PNW Production: https://www.pexels.com |
Itu adalah hari pertama Ramadhan di negeri orang yang ribuan mil jauhnya dari keluarga. Musim panas, pula, so I was feeling anticipated. Gue menjadi was-was dan berjaga-jaga karena tidak tahu akan seperti apa puasa di musim panas yang panjang?
Saat tiba di Amerika, gue menghadiri summer orientation terlebih dahulu di kampusnya mba Cinta Laura di New York. Saat itu, hari mulai petang pada sekitar pukul delapan malam. Baiklah, jadi seperti itu ya gambaran lamanya berpuasa, pikir gue. I got it! But then, saat tiba menjalani hari pertama di daerah gue ditempatkan, which is daerah selatan, petang baru mulai tiba pukul 20:30 - an. Bruh, that’s kinda long.
Baca juga: Inikah Hal Yang Paling Dicari Semua Orang Tapi Tidak Disadarinya?
Musim panas di sana sangat kering, tidak lembab. Suhunya mencapai 105F atau sekitar 40,5C. Panasnya menyengat and so glary. And as I’m Indonesian, gue pake payung donk. Tak peduli bila terlihat aneh karena ga tahan dengan panasnya. Lalu gue menjadi lebih tidak peduli terlihat aneh saat masuk ke dalam bis karena buru-buru memakai jaket dan merapatkan kedua tangan dilengan. Perubahan suhunya ekstrim, man… dari suhu di luar yang begitu panas mendadak ke suhu yang sangat dingin di dalam bis.
Di hari pertama Ramadhan, gue selesai kuliah pukul tiga sore. Gue ga nongkrong di perpus atau Student Learning Centre (SLC). Gue pulang ke apt untuk menyiapkan makanan berbuka puasa. Tiba di apt, Tania - teman apt gue, mengajak gue ngabuburit ke supermarket.
Kami tiba kembali di apt sekitar pukul enam sore dan itu masih waktu ashar. Jadi rasanya aneh sekali karena tubuh gue mengingat jam-jam segitu sebagai jam berbuka puasa. Dan beneran jadi awkward saat waktu berbuka tiba, di mana kalau di Indonesia jam segitu udah selesai sholat tarawih di masjid dekat rumah nyokap.
Baca juga: Is Marriage for Everyone?
Tentu tidak ada takjil semacam gorengan atau es dan gue sengaja tidak membuatnya. Entah bagaimana, tidak ada hasrat untuk itu. It was just like any other day. Jadi gue hanya membuat dinner biasa saja. Mungkinkah itu karena gue berpuasa seorang diri?
Waktu isya baru tiba lewat pukul sepuluh malam. Jam tidur gue pun bergeser menjadi jauh lebih malam. Dan pagi harinya, gue tak memiliki cukup semangat dan energi untuk mengunyah makan saat sahur. Tapi gue paksakan juga. But then, gue menjadi begitu mengantuk seharian. I guess my body was just trying to adjust with the new circumstances.
Di hari kedua berpuasa barulah gue tau bahwa banyak warga muslim di sana yang tidak bersahur. Gue terlalu naif untuk mempertanyakan apakah bakal kuat puasa seharian tanpa sahur? Sama seperti naif dan bodohnya gue mempertanyakan seorang teman apa cukup cuma makan salad aja? On my defense, I’m Indonesian. Kalau ga sahur nanti puasanya ga kuat. Also, I’m Indonesian. Kalau belum makan nasi, artinya belum makan.
But then, gue menimbang bahwa gue lebih perlu tidur yang cukup. Dengan tidur yang cukup, gue bisa fokus seharian. Lapar itu bisa ditahan. Toh kemarin gue berpuasa dan semua baik-baik saja. Dan sejak hari itu, hingga kini, gue hanya sahur dengan segelas air putih untuk menghidrasi tubuh.
Gue merasakan ada yang aneh dalam diri gue. Sepertinya ada yang ga beres dengan cara gue berpuasa. Saat di Indonesia, biasanya gue bersemangat menunggu beduk magrib. Es menjadi menu wajib untuk mengusir dahaga seketika. Belum lagi gorengan dan berbagai sajian manis lainnya. Akan tetapi di sana, gue menjadi sangat chill.
Baca juga: Does Time Really Heal?
Tidak ada makanan yang festive khas Ramadhan. Menu berbuka puasa tak lebih dari makan malam seperti biasa karena memang hari sudah malam, bahkan cenderung lewat makan malam. Mungkin karena hal itu, tubuh gue menyesuaikan diri dan menganggap bahwa itu adalah makan malam biasa.
Sepulangnya ke Indonesia, hingga hari ini, perasaan itu masih sama. Tidak ada lagi debaran kegembiraan menunggu magrib. Tidak ada lagi rasa kalap melihat berbagai hidangan di meja. Gue menikmati buka puasa seperti makan malam biasa.
Sepertinya memang ada yang aneh dengan cara gue berpuasa. Gue tidak tahu apakah itu karena tubuh gue mengingat cara gue berpuasa di Amerika yang cocok untuknya or simply because I’m now older. Whatever it is, I believe esensi dari puasa adalah latihan menjaga hawa nafsu, bukan menahannya sesaat lalu mengumbarnya kemudian. Pengalaman berpuasa ini mengubah cara pandang dan habits gue dalam memaknai dan menjalani Ramadhan once and for all.
Comments
Post a Comment