BEN DAN KAOS MERAHNYA
Sebut saja ia Ben. Dia adalah teman yang sangat baik. Pembawaannya kalem. Tutur bicaranya lembut dan selalu diiringi dengan senyum. Entah bagaimana ia melakukannya. Ia juga tampak cuek dan hanya peduli pada pelajaran. Tipikal geek gitu lah.
Ben itu polos, apa adanya. Cenderung jujur dan blak-blakan. Ben ga neko-neko dan nyaris ga peduli dengan dunia luar. Dia hanya fokus pada diri, ibu dan adik-adiknya saja.
Ben berdarah Amerika - Malaysia. Hal ini membuat pertemanan kami menjadi lebih seru. We feel like we have things is common. Dia bisa sedikit bicara Bahasa Melayu jadi gue sering iseng bicara pakai Bahasa Indonesia saat ngobrol dengan Ben.
Ben punya kenangan masa kecil di Malaysia. Namun setelah orang tuanya berpisah, ia belum pernah lagi pergi ke Malaysia.
Baca juga: Is Marriage for Everyone?
Suatu hari, kami berencana belajar bareng. Ben mengajak gue belajar di gedung lain selain SLC (Student Learning Centre) dan perpustakaan. Ambiencenya terasa lebih santai karena suasanannya lebih lengang. Tidak terlalu banyak orang di sana. Orang-orang yang ada juga terlihat santai membaca buku sendiri atau mengobrol.
Sambil belajar, kami ngobrol santai. Lalu di kepala gue muncul pertanyaan yang sudah lama ingin gue tanyakan pada Ben. Gue penisirin banget tapi selalu urung bertanya karena gue takut kalau itu akan menyinggung perasaannya.
Maka, sebelum bertanya, dengan hati-hati gue minta maaf jika pertanyaan gue menyinggung perasaannya. Gue juga mengatakan bahwa ia tidak harus menjawab my stupid question. Gantian, sekarang dia yang penasaran.
Lalu, pelan-pelan gue pun bertanya mengapa ia selalu memakai kaos merah ke kampus? Gue beneran penasaran apakah merah warna favoritnya? Sebegitu sukanya kah dengan warna merah sehingga ia tidak pernah absen memakai warna itu ke kampus? Atau ada cerita dibalik warna merah? Spekulasi gue semakin menggila.
Jadi begini, Yeorobun… penampilan Ben setiap hari ke kampus itu selalu sama. Celana jeans biru gombrong, kaos merah oversize - bahkan ada kaos merah yang warnanya terlihat pudar dan bagian kerahnya nampak aus, sepasang sneakers hitam, tas punggung warna hitam yang tampak menggembung dan berat, serta sebuah payung lipat hitam terselip di sebelah kanan tas. Rambut hitamnya disisir rapi belah pinggir, sebuah jam tangan hitam melingkar di pergelangan tangan kiri dan kacamata minus bingkai tipis berwarna hitam juga.
Begitu terus setiap hari. Gampang banget mengenali dia bahkan dari kejauhan.
Dia tertawa renyah. Dari raut wajahnya tersirat bahwa pertanyaan gue jelas receh baginya dan itu melegakan bagi gue. Lalu dengan santai ia menjawab bahwa ia suka warna merah dan dia memang hanya punya dua kaos merah dan satu celana jeans biru untuk dipakainya kuliah. Sisanya, ada beberapa baju untuk dipakai sehari-hari.
And I was like, WHAAATTT???? Tanpa ampun gue memberondongnya dengan pertanyaan. Otak gue bingung untuk memahami penjelasannya. I mean like… How? Why?
Baca juga: Tornado Warning - Lost in Campus
Dengan santai ia menjawab, “It’s not that I don’t have money. It’s just I don’t see that’s important for me.” Ia lalu bercerita tentang kehidupannya dan keluarganya.
Orang tua Ben berpisah saat ia kecil. Kala itu usianya masih di bawah tujuh tahun. Di suatu hari natal, Ben sangat menginginkan sebuah hadiah. Tapi ia memahami kondisi ibunya sebagai orang tua tunggal. Karena tidak ingin membebani ibunya, ia hanya diam dan menyimpan keinginan itu sendiri di dalam hati.
Namun keajaiban terjadi. Ada perwakilan dari sebuah gereja datang membagi-bagikan hadiah natal untuk anak-anak. And guess what… dia mendapatkan hadiah persis seperti yang ia inginkan. Tentu saja ia merasa sangat senang. Nah, semenjak hari itu ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan selalu membeli hadiah untuk anak-anak pada hari natal yang ia sumbangkan melalui gereja itu.
Selain kuliah, Ben bekerja paruh waktu di cafe kampus. Ia perlu uang untuk menghidupi dirinya dan membantu membayar cicilan mobil ibunya. Ia merasa beruntung dapat bekerja di sana. Ia dapat menghemat uang makan karena sebagai karyawan ia boleh membawa pulang makanan yang tidak terjual hari itu. Kalau ga ada yang mau, maka makanan yang tidak terjual hari itu berakhir di tong sampah.
Baca juga: When Your Friend is a Real Def of an Angel - Tornado Warning Part 2
Bila memiliki uang lebih, Ben memilih menyisihkan uang itu untuk kemudian digunakan membeli hadiah natal yang lebih mahal dan disumbangkannya ke gereja ketimbang membeli sebuah kaos untuk dirinya sendiri. Ia berharap hadiahnya dapat membahagiakan anak-anak lain sebagaimana dulu ia pun merasa bahagia mendapat hadiah yang diinginkannya. Oleh karena itu, dua buah kaos dengan warna favoritnya, sudah cukup baginya.
Kicep. Gue ga bisa berword-word mendengar ceritanya. Bjirrr… ternyata kisah seperti itu nyata adanya, ga cuma di drama atau cerita fiksi aja.
Dan payung yang selalu nangkring di tas-nya itu… katanya ia memilih bersiaga, daripada kehujanan. Ia harus menjaga kesehatan diri yang adalah aset baginya. Tak peduli apa pun cuacanya, payung itu akan selalu menemaninya.
Ia kemudian melanjutkan ceritanya tentang bagaimana ia terpilih sebagai karyawan terbaik tahun lalu dan diangkat menjadi manajer cafe tahun ini. Gue bisa merasakan sunggingan senyum spontan dibibir gue tanda gue ikut senang mendengarnya. Ia lalu meraih tas punggungnya dan mengeluarkan sesuatu dari genggaman tangannya dan menunjukkannya pada gue. Itu adalah name tag bertuliskan ‘Student Employee of the Year” dengan nama dan tempat kerjanya tertera di sana.
Gue terlalu terharu untuk berkata-kata dan cuma bisa bilang, “I’m so proud of you.” Udah, gue udah ga penasaran lagi kenapa dia selalu pakai kaos merah. Sepertinya ada kisah bagaimana ia mendapatkan kaos itu, tapi gue ga ingat. Coba nanti gue email dan tanyakan padanya, ya… haha…
Baca juga: Diadang Mahasiswa Amerika Usai Presentasi di Kelasnya
Siang itu, saat hendak menuju ke gedung kuliah, gue melewati cafe campus. Dari jauh gue seperti mengenal punggung seseorang yang sedang membersihkan kaca cafe. Tapi ia tidak memakai kaos merah atau pun celana jeans biru. Ia mengenakan celana hitam, polo shirt dan topi senada berwarna hitam dengan sedikit ornamen warja hijau.
Penasaran, gue pun mendekati. Tidak salah lagi, itu Ben! Tapi mengapa ia mengelap kaca? Bukankah ia manajer cafe?
Gue berjalan mendekat dengan langkah kaki nyaris tanpa suara. Lalu gue berhenti dan berdiri di samping Ben dengan arah menghadap padanya. Gue tidak mengatakan apa-apa. Posisi Ben sedang membungkuk, membersihkan kaca bagian bawah. Ia sadar ada orang yang berdiri di dekatnya. Kepalanya melihat ke arah sepatu gue. Lalu pelan-pelan ia mendongak, mencari tahu siapa orang itu.
Gue tersenyum begitu pandangannya ke atas dan melihat gue. “I thought you’re the manager,” kata gue heran dengan apa yang sedang dia lakukan. Ben membalas senyum sambil telunjuk tangan kanannya menunjuk pada name tag yang terpasang di dada kiri seolah menjawab pertanyaan gue bahwa ia adalah manajer di sana.
Baca juga: Asap Mengepul Akibat Telur Ceplok
“I know… I know… but why are you doing this?” tanya gue kepo sambil menyapu pandangan ke sekeliling cafe melihat ke arah mahasiswa paruh waktu yang tampak tidak begitu sibuk di sana.
Dengan santai dia cuma jawab, “Why not?” Menurutnya justru seseorang yang jabatannya lebih tinggi itu kerjanya harus lebih banyak. At this point, tidak ada gunanya argue sama dia. Dia sangat persistent dengan pendapatnya. Besides, pendapat dia itu benar.
Gue mengangguk-angguk lalu iseng menggodanya, “You look good in black. Consider buying a black polo shirt.”
Ia menunduk berusaha melihat polo shirt yang dikenakannya lalu tersenyum pada gue. “See you at class,” kata gue sambil melambaikan tangan dan pergi melanjutkan perjalanan ke gedung kuliah.
Comments
Post a Comment