A GAME-CHANGING ACTIVITY I USED TO UNDERESTIMATE

There is this activity that I used to underestimate. Gue mengira itu hanya lah aktivitas biasa saja yang bisa dilakukan hampir semua orang. Tapi memang kalau belum mengalaminya langsung, kita hanya bisa berprasangka. Dan gue pun akhirnya mengakui bahwa kegiatan tersebut bukan aktivitas biasa. That activity is a gamechanger for me.


Photo by Evelina Wong on Unsplash

Pernah liat iklan susu yang mengkampanyekan jalan 10.000 langkah? Gue, waktu liat iklan itu, bertanya-tanya: kenapa cuma jalan? Emang efektif? Atau baru efektif kalau angkanya minimal 10.000 langkah?


Gara-gara iklan itu, gue jadi iseng ngecek jumlah langkah gue melalui apps, setelah suatu hari gue jalan-jalan di mall. Angka di apps menunjukkan 8686 langkah. Ternyata ga secape itu. Tapi itu mungkin karena gue jalannya di mall. Lalu gue lihat jumlah kalori yang terbakar. Hmmm… not a bad idea. I think I just found my kinda sport: JALAN-JALAN DI MALL!!


***


I’m not really into sports. At least, that’s what I thought. Entahlah… sepertinya gue punya pengalaman atau kesan kurang baik dengan pelajaran olahraga di sekolah. 


Gue bersekolah di sekolah biasa di mana pelajaran olahraga kurang mendapat perhatian. Di awal tahun ajaran, biasanya ada program yang dijalankan. Namun setelahnya, kegiatan mulai ga jelas. 


Pelajaran terasa membosankan dan tak terarah, bahkan cenderung bak jam kosong. Yang gue ingat hanya pemanasan, lalu jam bebas. Pemanasan, lalu dikasih bola dan main sendiri. Lain waktu, guru hanya nyuruh ketua kelas ngambil bola di kantor. Lalu membiarkan kami dan si bola itu berkegiatan tanpa petunjuk, apalagi bimbingan. 


Karena arahannya ga jelas, maka dari 40 - 42 siswa, hanya yang suka olahraga atau suka main bola saja yang tampak berkegiatan di lapangan. Biasanya sih anak laki-laki. Sisanya nonton mereka main, ngobrol di kantin, atau ngadem di kelas. Sesekali tampak guru olahraga melihat ke arah kami di lapangan dari tempat duduknya di kantor. And that’s it!


So, gue jadi sebel banget kalau ada pengumuman ujian praktek. Diajarin aja ga pernah, apalagi latihan. Dianggapnya kami ini anak burung yang bisa belajar terbang sendiri. Ya… kalau cuma lari 100 meter atau lari estafet sih tinggal lari aja, regardless of the results. 


Tapi yang pernah bikin gue ilfil tuh tiba-tiba ujian serve voli, dribble dan shooting the ball into the ring. Pegang bolanya aja ga pernah. Kalau sudah begitu yang salah adalah kami karena sudah dikasih bola kenapa ga latihan. 


Di antara semua itu, yang paling mengesalkan adalah saat mendapati pelajaran olahraga tertera dalam jadwal ujian tulis. Like, seriously??? Bahas materi aja ga pernah, kisi-kisi ga ada, buku ga ada, lalu gimana mau jawab pertanyaannya? 


Mungkin dianggapnya ukuran lapangan sepakbola, berat bola, dan semua aturan cabang olahraga adalah pengetahuan umum yang semua orang tau tanpa perlu diajari. 


Bruh, ini tuh ujian, bukan lagi ikut kuis. Stresssss!!! (sambil pegang kepala gaya Kang Gary - Running Man)


Nah, karena itulah sepanjang hidup gue mengira bahwa gue itu ga physical banget; bahwa gue ga suka olahraga; bahwa sports is not my cup of tea. Sampai akhirnya, sebuah tes sidik jari yang sedang dikembangkan seorang rekan memberikan hasil sebaliknya. 


After denying for some time, gue baru menyadari bahwa gue memiliki hand and body coordination yang tidak buruk. Gue suka ngedance, pernah gabung dengan group dance dan menjadi colorguard (penari) di marching band kampus.


So I guess hasil tes itu tidak salah. False beliefs gue berdasarkan past experience lah yang membuat gue berpikir demikian. Hhh… gue jadi berasa ada masa yang hilang, ada waktu yang terlewatkan karena tidak pernah mencoba sports dan tidak tahu serunya sports.


***

Thanks to Covid, karenanya lah, gue yang sempat memanfaatkan ketidaktahuan gue atas false beliefs yang ada dan menggunakan kebencian serta semua kisah masa lalu gue tentang olahraga sebagai excuse untuk tidak berolahraga, sedikit-sedikit mulai menggerakkan badan. And again, thanks to Covid, karenanya lah gue jadi mensyukuri nikmat bisa keluar rumah, jalan pagi dan menikmati sinar matahari pagi.


Jalan pagi ternyata sangat menyenangkan dan gue ga pernah tau itu. Dengan jalan pagi, gue jadi punya momen santai mendengarkan podcast sampai habis, tanpa gangguan. Kadang gue memvariasikannya dengan mendengarkan radio atau hanya fokus di Spotify. Dan itu beneran bikin mood jadi better.


Saat hidup sedang banyak pikiran, jalan pagi juga membantu untuk menguraikan, atau bahkan menenangkan pikiran kusut itu. Lalu karena lelah, malam harinya jadi lebih mudah tidur sehingga badan lebih segar dan pikiran menjadi lebih baik pada keesokan harinya.


Gue lebih suka jalan sendiri karena gue bisa adjust speednya, kadang power walk, kadang slow down. Selain itu, dengan jalan sendiri gue bisa indulge in my own pleasure to enjoy the music, the talk in podcast, the view, or even in my own thoughts.


Biasanya gue jalan pagi di taman olahraga umum dekat rumah. But on Sunday, gue memilih pergi sedikit lebih jauh ke area jogging kota yang rancangannya seperti hutan kecil.


I don’t know how to romanticize life, tapi gue baru tau bahwa sekadar jalan di sana rasanya seger banget. As far as the eyes can see, semuanya hijau. Rimbunan pepohonan yang besar, tinggi, dan nampak cukup tua memberi kesan majestik namun teduh melindungi. Nature is indeed the best healer. And sports, turns out, is fun. 


Olahraga berjalan yang awalnya gue pikir hanya dirancang sebagai kegiatan untuk meramaikan acara karena mudah dan mengundang banyak masa, ternyata punya banyak manfaat. It’s definitely a gamechanger for me. So, never underestimate the power of walk.


Jumlah langkah dan kalori yang terbakar tidak lagi menjadi fokus utama karena bonus sehatnya jalan pagi goes beyond it all. Bonus sehatnya itu literally ada di mind, body, and soul.


Comments

Popular posts from this blog

MY BELIEFS ABOUT WORK AND MONEY THAT SAVE MY LIFE - LIKA-LIKU PERJALANAN GUE KERJA

I QUIT MY 9-5 JOB AND CHOOSE TO LIVE IN UNCERTAINTY - BEST DECISION EVER!

IS MARRIAGE FOR EVERYONE?