WHY DO I HAVE TO PRAY FOR THE THING THAT I DON’T WANT? - A DIARY

Shuttle sudah terisi penuh, menyisakan satu seat dekat pintu untuk gue. Sambil masuk dan duduk, gue menyapa seisi shuttle.

Percakapan ramah khas orang-orang yang saling berkenalan pun mengalir hangat seiring dengan laju shuttle ke arah resort.

Kami yang awalnya asing karena berasal dari kota berbeda dan baru bertemu pagi itu, menjadi cepat akrab ketika mulai saling bertanya tentang tujuan kami ikut retreat.

Tidak banyak penduduk shuttle yang secara gamblang mengungkapkan alasannya ikut retreat. Mungkin karena itu adalah retreat pertama kami. So, we didn’t even know what to expect. 

Namun di antara kami ada sepasang suami istri yang kali itu datang untuk retreat ketiga mereka. Mereka ga secara langsung sih bilang apa tujuannya. Tapi dari cara mereka menjawab, they seemed to be “pro players”.

Dok Pribadi

Sebagai veteran retreat, pasangan suami istri itu kemudian lebih banyak bercerita. Mereka bergantian berbagi kisah tentang pengalaman retreat pertama mereka serta mimpi apa yang telah terwujud dari retreat itu bagi bisnis mereka. Cerita terus meluas ke perkembangan bisnis hingga proses mereka yang saat itu sedang membangun rumah impian.

Tiba-tiba sebuah awkward momen terjadi. Gue coba berinisiatif mengalihkan dan mencairkan suasana dengan basa-basi ngomongin kondisi jalan yang kami lalui saat itu. 

Beberapa penduduk shuttle ikut berkomentar dan cerita. Ternyata mereka juga familiar dengan kota itu dan ada yang pernah kuliah di sana. Tik-tok an cerita di seisi shuttle pun kembali hidup.

Gue ikut berbagi cerita tentang sebuah pengalaman di sana. Kala itu, gue dan teman-teman memesan taksi online. Tak berapa lama, muncul notifikasi di ponsel gue yang memberitahu bahwa yang saat itu tersedia hanya taksi premium. Gue merasa terlalu ribet untuk mencari opsi lain. Jadi lah gue dan teman-teman gue kegelian sendiri karena kami pergi ke pasar tradisional naik Alph*rd.

Baca juga: Inikah Hal Yang Paling Dicari Semua Orang Tapi Tidak Disadarinya?

Buat kami yang sehari-hari biasa naik ojol dan trasportasi umum lainnya, pergi ke pasar tradisional naik Alph*rd adalah sebuah komedi. Apalagi itu taksi online.

Beberapa penduduk shuttle bereaksi cepat nyeletuk spontan. Kreativitas mereka seolah terpancing sehingga mereka silih berganti saling ngebumbu-bumbuin cerita gue yang bikin cerita jadi makin lucu. Suasana shuttle berubah riuh.

Di tengah tawa dan guyonan yang masih berlangsung, veteran retreat pasutri laki-laki ikut berkomentar dan berkata, “Semoga nanti mba nya bisa punya Alph*rd sendiri, ga cuma naik taksinya.”

HEEHH?? GAPJAGI**???

Seketika gue terdiam. Kaget. I really didn’t see that coming. Lalu beberapa detik kemudian dengan bingung dan volume suara kecil seolah gue sedang berbicara sendiri, gue bilang, “Tapi saya ga kepengen Alph*rd, Pak.”

“Ya ga pa-pa. Sekarang mungkin belum. Nanti semoga mba nya bisa punya Alph*rd juga,” begitu responnya.

Baca juga: Is Marriage For Everyone?

Gue tertawa canggung, “Ehehehe… saya naik taksinya aja udah cukup, Pak. Saya ga kepengen Alph*rd, koq.” Gue keukeuh meluruskan pendapat itu.

“Kita itu ga pernah tau, mba. Nanti pas retreat mba minta (create a wish) saja. Masukan dalam dream board-nya. Nanti pasti mba bisa dapatkan Alph*rd-nya,” ujarnya ga kalah keukeuh.

“Tapii… saya ga kepengen Alph*rd, Pak,” kata gue ngeyel dengan tetap menjaga tone rendah diiringi senyum seadanya.

Veteran retreat pasutri perempuan kemudian merespon gue dengan ceramah panjang lebar yang malah bikin blunder. Ia bercerita tentang kehidupan ekonomi keluarga mereka, mobil pertama mereka, dan bagaimana perlahan kondisi itu berubah dan apa mobil mereka sekarang.

Akhirnya gue memberhenti membantah dan hanya merespon dengan senyum seadanya.

Baca juga: Diminta Melafalkan Ayat Suci Oleh Mahasiswa Amerika

Let’s be fair, kita semua butuh kendaraan. Akan tetapi makna kendaraan pada setiap orang bisa berbeda-beda. Bagi sebagian orang, kendaraan tak hanya berfungsi sebagai alat transportasi. Melainkan juga menunjukkan status sosial mereka. Itu seperti tropi yang bisa ditunjukkan ke mana-mana.


Dan tidak ada yang salah dengan hal itu. Itu juga adalah bagian dari kebutuhan. Butuh validasi.

Frankly, saat itu rasanya kesal dan aneh banget. Gue merasa didikte untuk menginginkan sesuatu yang tidak gue inginkan. But why?? 

Why do I have to pray for the things that I don’t want? Why are you telling me what I should want? I mean… just because you think something is good for you, doesn’t mean it’s good for others too.

Itu rasanya juga seperti lucu karena gue seolah menolak didoakan sesuatu yang baik. Tapi gue beneran ga pengen Alph*rd. Gimana donk? Mosok dipaksa? 

Seandainya mereka tanya dulu gue maunya apa, mungkin gue akan jawab Bentl*y Bent*yga. Jadi kan doa mereka bisa tepat sasaran dan gue bisa bilang, ‘Amin aja dulu…’

But seriously, no! I’m just kidding.

I didn’t go to the retreat for an Alph*rd or a Bentl*y Bent*yga. Kepikiran aja, ga pernah.

Baca juga: Diadang Mahasiswa Amerika Usai Presentasi di Kelasnya

Dulu, duluuuu banget, gue bercita-cita beliin bokap mobil yang layak pakai. But then bokap meninggal. Dan gue ga pernah lagi mikir beli mobil. Buat apa?

Gue belum berkeluarga. So, I don’t see the need to have one. Mungkin nanti kalau sudah butuh atau kalau rasa kepengen itu akhirnya tiba. But not now.

Aktivitas gue saat ini tidak memerlukan mobilitas yang tinggi. Tempat-tempat yang perlu gue kunjungi masih bisa dicover dengan kendaraan umum. Not to mention how easy online transport is now. 

Memiliki mobil untuk saat ini justru tidak membuat hidup gue menjadi lebih mudah. Bila merujuk pada definisi aset menurut Robert T. Kiyosaki, maka mobil bukanlah sebuah aset untuk kondisi gue sekarang.

Adanya mobil tidak mendatangkan uang bagi gue. Bisa-bisa malah gue menjadi slave-nya si mobil karena harus kerja keras untuk bayar cicilannya. Itu belum termasuk biaya maintenance, pajak, dan asuransi.

Baca juga: Tornado Warning - Lost in Campus

At that time, I was young and stupid. Di balik diam dan mengalahnya gue saat itu, gue juga sempat mikir kalau gue kayak lagi dijadiin target pengikut sekte baru, hehehe... 


Tapi sekarang gue sudah bisa menertawakan diri gue. Ngapain juga gue kebawa ngeyel waktu itu? Clearly we didn’t share the same beliefs, values, and needs. Kami juga pasti memiliki kisah hidup yang berbeda.


Mungkin pasutri veteran retreat itu mengira bahwa gue merasa rendah diri, ga punya keyakinan atau kepercayaan diri bahwa gue bisa memiliki Alph*rd. Jadi itu mungkin adalah cara mereka menyemangati gue.


Aigooo***… jinjja****…


I pat my back as a self-appreciation karena akhirnya memilih untuk mengalah dan diam. But even if it happens again, gue bakalan tetap dengan belief gue dan mengutarakannya bila itu memang bukan keinginan gue. 


But how should I respond it this time? Should I say, “Pak kalau mau ngedoain saya, boleh ga ganti jangan Alph*rd?”


Baca juga: I Quit My 9-5 Job and Choose to Live in Uncertanty - Best Decision Ever!


At the retreat...


Saat break sesi sore hari, peserta retreat menikmati suasana resort dengan minuman hangat dan camilan. Gue melihat ada sebuah kursi kosong di sebelah salah satu narasumber yang telah dikelilingi beberapa peserta retreat lain. Gue pun duduk dan bergabung.


Tak berapa lama, sebentuk wajah yang sangat familiar bergabung dengan kami. Itu adalah veteran retreat pasutri laki-laki di shuttle tadi pagi. Dengan wajah sumringah, ia berbasa-basi lalu bercerita persis seperti yang ia ceritakan kurang dari delapan jam lalu di shuttle.


Hati gue berteriak, “SAVE ME… SAVE ME…”


Gue melirik ke depan meja narasumber yang koq ya kebetulan masih kosong. Lalu gue menawarkan diri untuk mengambilkan kopi untuk sang nara sumber. 


Gue kembali dengan secangkir kopi dan camilan untuk narsum sambil bersyukur melihat kursi yang tadi gue duduki sudah terisi. And oooh… it was the wifey of the veteran retreat.



Notes:

** Korean = suddenly

*** Korean = exclamation expression to express shock or surprise

**** Korean = really?

Comments

  1. "Semoga bahagia selalu, sehat-sehat, lancar-lancar terus segala urusannya, aamiin"

    Harusnya gitu doanya Pak "Alph*rd" 😬

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

MY BELIEFS ABOUT WORK AND MONEY THAT SAVE MY LIFE - LIKA-LIKU PERJALANAN GUE KERJA

I QUIT MY 9-5 JOB AND CHOOSE TO LIVE IN UNCERTAINTY - BEST DECISION EVER!

IS MARRIAGE FOR EVERYONE?