WHEN YOUR FRIEND IS A REAL DEF OF AN ANGEL - TORNADO WARNING PART 2
Dari bahasa yang mereka gunakan, gue bisa menebak asal negara mereka. Kebetulan dulu gue juga punya teman dari negara itu. Sayangnya, gue menyerah untuk belajar bahasanya karena terlalu susah, terutama pelafalannya.
Sepertinya Yasi dan teman-temannya adalah orang yang ramah. Gue jadi tergerak untuk menyapa mereka. Bagaimana pun juga, I needed to make new friends karena gue berada di negeri orang tanpa saudara. Apalagi pagi itu gue merasa kesal setelah menghadapi salah seorang yang gue kira adalah teman.
Baca juga: Does Time Really Heal?
So, gini ceritanya…
Hari itu adalah hari pertama orientasi kampus untuk pelajar internasional. Gue dan beberapa kenalan baru yang tinggal di penginapan yang sama janjian berangkat bareng.
Saat itu banyak apartemen off-campus maupun university housing yang masih melakukan persiapan sehingga belum dibuka untuk dihuni. Oleh karenanya, supervisor gue menyarankan gue untuk tinggal di sana karena jaraknya cukup dekat dengan kampus.
Gue sempat berkenalan dengan beberapa orang di penginapan itu yang adalah mahasiswa baru juga. Kami pun janjian untuk pergi bareng ke orientasi mengingat kami semua punya zero knowledge tentang tempat itu. Jadi lebih enak kalau pergi bareng.
Dari yang awalnya tiga orang, troop kami membesar menjadi seperti sebuah rombongan. Satu persatu orang-orang bermunculan dari penginapan dan saling berkenalan karena kami memiliki tujuan yang sama. It was indeed fun. The more the merrier.
Di antara beberapa orang itu ternyata ada satu orang yang superviornya sama dengan gue. Wah, rasanya seneng baget. Gue jadi berasa punya teman.
Kami berjalan dan bertanya pada penduduk sekitar tentang lokasi halte bus dan nomer bus yang menuju kampus. Lalu bersama-sama berjalan sambil saling berbagi celoteh ringan.
Teman satu supervisor gue termasuk yang paling banyak cerita. Ia bercerita tentang negaranya serta anak dan istrinya. Awalnya cerita itu terdengar so sweet bagaimana ia kangen dengan keluarganya. Tapi lama kelamaan cerita itu melebar menjadi keluhan tentang keberadaannya yang jauh dari keluarga dan keluhan lainnya.
Baca juga: Between Choices - A Dilemma of a Teenage Girl
Jujurly, awalnya gue bersimpati. Pasti berat jauh dari keluarga. Apalagi ia adalah seorang kepala keluarga. Belum lagi kondisi negaranya, yang kita semua saat itu dengar dalam berita, berada dalam situasi yang kurang aman. Tapi lama-lama gue lelah mendengarnya mengeluh.
But then, there was a fight inside of me. Part of me bilang kalau kasihan sama orang itu. While the other part of me bilang kalau semenit lagi denger dia ngomong telinga gue bisa berdarah. Pergumulan kebisingan dalam diri gue dimenangkan oleh si simpati. Maka, sambil menunggu bus gue putuskan untuk meminjamkan HP gue karena dia ga punya HP. Gue persilakan dia untuk menelpon keluarga di negaranya.
Dia mengambil HP yang gue sodorkan dan tanpa babibu langsung menelpon keluarganya. Eh, buset… gue sampe kaget. Gercep banget, bang…
Sepuluh menit berlalu. Dua puluh menit telah lewat. Terus gue melirik jam dipergelangan tangan gue. Ia masih berbicara di telepon. Setelah bus dari jauh nampak mendekat, barulah ia memberikan HP itu ke gue. Udah gitu aja! Balikin HP ke gue dan berlalu berjalan melewati gue naik bus.
Untuk beberapa saat gue berdiri terbengong-bengong. Like seriously, dude? Udah, gitu doank? AARRGGGHHH….. Ingin ku berkata kasar, ‘I thought you spoke English. Did your teacher forget to teach the words ‘thank you’?’ Sambil menahan rasa geram gue masuk ke dalam bus dan mencari spot terjauh dari orang itu.
Jadi begitu ceritanya, yeorobun… Sejak hari pertama ia sudah memberi kesan agak kurang enak di gue. Makanya kesal sekali saat dia kembali semena-mena ke gue dengan ngambil komputer dari apt gue. Yang bingung dan belum baca apa maksud cerita gue ini, silakan baca di sini ya....
Oya, gue masih berhutang cerita tentang bagaimana akhir dari komputer yang direbutnya dari gue itu. Nanti, ya…
Inside the city bus - Dok. Pribadi |
So, balik ke bus tadi. Dengan nekat gue menyapa Yasi yang kebetulan posisinya lebih dekat dengan gue. Gue bertanya apa mereka juga mau pergi orientasi. Ternyata benar. Dan gue seneng banget saat mengetahui bahwa kami menginap di penginapan yang sama. Kami pun langsung bertukar nomer kamar masing-masing.
Gue tidak bertemu Yasi sepanjang orientasi karena terlalu banyak orang. So, gue mencarinya saat tiba kembali di penginapan. Malamnya kami pergi dinner di restoran dekat situ dan mengobrol.
Rasanya menyenangkan bisa bertemu dan mengenal Yasi. Feels like home karena budaya asal negara Yasi sangat familiar buat gue. Dan Yasi juga orang yang ramah dan menyenangkan. Ia mengenalkan gue pada teman-temannya yang sedang ramai berkumpul di kamarnya nonton pertandingan olahraga di mana negaranya menjadi tuan rumah.
Gue bertukar nomer telepon sebelum berpisah dengan Yasi saat waktunya bagi kami untuk pindah ke apartemen kami masing-masing. Yasi tinggal di university housing yang letaknya di dalam kompleks kampus sementara gue tinggal di apartemen di luar kampus.
Hari berganti dan berlalu begitu saja. Kami pun sibuk dengan minggu pertama kuliah hingga belum lagi saling menghubungi, hingga hari itu… malam terjadinya tornado warning. (Again, yang belum baca part 1-nya silakan baca dulu di sini, ya… biar ga bingung.)
***
The night of the tornado warning story continued.
Gue duduk lunglai, ga tau lagi harus berbuat apa. Yang jelas rasanya takut sekali. Gue seorang diri, hari semakin malam, peringatan tornado membuat malam semakin sunyi, dan gue berada entah di mana jauh dari apartemen gue.
Gue membuka HP dan menelusuri contact list. Siapa lagi yang bisa gue hubungi dan minta bantuan, begitu tanya gue dalam hati. Saat scrolling hampir di akhir list, nama Yasi muncul. Oh, my God… Yes, there’s Yasi!! I still have Yasi, kata gue dalam hati dan kembali bersemangat. Gue pun menelpon Yasi.
Walau gue tau mungkin dia ga bisa menolong gue, but at least gue punya teman untuk cerita, teman untuk menangis. At least gue ga ngerasa sendiri banget.
Suara Yasi terdengar ramah seperti biasanya, bahkan cenderung excited. Ia menanyakan kabar gue. Nada cerianya kemudian berubah khawatir setelah gue meberitahu apa yang terjadi pada gue. Dia lalu mengatakan agar gue tidak khawatir karena ia akan datang menjemput gue.
Baca juga: I Quit My 9-5 Job and Choose to Live in Uncertainty - Best Decision Ever!
SAY WHAAATT????
Bak disiram air surgawi, gue mendadak berasa hidup kembali. Harapan itu kembali ada. Jujurly, even if she couldn’t help me, kata-katanya itu saja sudah cukup menenangkan buat gue. Itu sudah cukup memberikan penghiburan bahwa ada yang peduli dengan gue. Bahwa ada yang akan membantu gue. Namun sedetik kemudian gue tersadar dan segera bertanya, “But how? Both you and I are new here.”
“Don’t worry, my husband came here and we bought a car yesterday. We’ll find you,” begitu jawabnya.
Wait, whaaat?? You’re married?? Since when? And your husband came here? And you guys bought a car? It was just too much information for me to digest tapi tentu itu bukan saatnya untuk bertanya. Well, kami memang ga sempat banyak ngobrol jadi memang I basically knew nothing about her.
Nevertheless, hati gue auto adem rasanya. Harapan itu semakin besar dan gue merasa lebih tenang.
“Where are you?” teriaknya di telepon.
Gleeekkk… nah ini dia, pertanyaan yang paling susah untuk gue jawab. Gue tidak tahu di mana gue berada. Gue kembali pergi ke luar dining hall itu dan mencari tanda, tulisan, landmark apa pun yang bisa gue beritahu.
Sayup-sayup di telepon terdengar suaranya panik dan ia juga seperti sambil berbicara dengan orang-orang yang ada di sana menggunakan native language mereka. Setelah beberapa saat ia kembali berbicara dengan gue ditelepon. “I don’t know where that is, but we’ll find you,” begitu janjinya mantap.
Perasaan gue campur aduk antara senang, kasihan, dan cemas. Gue juga khawatir kalau terjadi apa-apa dengan mereka karena gue juga belum pernah tahu bakal sedahsyat apa tornado itu.
Gambar ilustrasi - Dok.Pribadi |
Gue kembali masuk ke dalam gedung untuk menunggu. Namun karena hati semakin gelisah, gue nekat keluar lagi. Gue pergi mengamati jalan dan terus menengok ke kanan dan ke kiri karena tidak tahu darimana mobil Yasi akan muncul. Sesekali gue duduk di halte bus dan merapatkan jaket gue. Bodo amatlah kalau petugas datang berpatroli lagi. Nanti tinggal gue masuk ke gedung lagi, begitu pikir gue.
Itu seperti rasa gelisah dan penantian terpanjang gue. Gue terus memerhatikan jalan sampai akhirnya sebuah mobil sedan muncul dari kejauhan. Jelas itu bukan mobil patroli dan tidak ada bunyi sirine. Gue bergegas berjalan ke arah datangnya mobil. Laju mobil semakin cepat mendekat ke arah gue. Lalu sesosok kepala mungil muncul dari kaca jendela mobil. Itu Yasi!! Ia melambaikan tangan dan memanggil nama gue.
Gue melambai balik. Rasanya begitu tenang dan senang melihat sosok yang gue kenal. Bergegas gue masuk ke dalam mobil. Di sana telah ada Yasi, suaminya, dan seorang teman. Rupanya Yasi sengaja membawa bala bantuan cadangan, yang lucunya mereka semua itu juga anak baru di sana. Suaminya Yasi malah baru tiba dua hari sebelumnya.
Gue terus menerus mengucap terima kasih pada mereka yang dibalas dengan respon lucu suami Yasi. “It’s okay. No problem. I never see tornado. No tornado in our country. So, I want to see,” katanya. Mau ga mau gue tertawa. Tapi ternyata itu bukan jokes. Temannya Yasi malah menambahkan bahwa setelah mengantarkan gue mereka akan lanjut pergi ke supermarket sambil berharap bisa melihat tornado. And I was just like, “You guys…”
So far, itu adalah pengalaman tergila dalam hidup gue. Gue bener-bener merasa hidup gue diselamatkan. And if that’s not true friendship, I don’t know what that is.
Orang-orang itu, orang-orang yang bahkan ga kenal sama gue adalah orang-orang yang panik, mencari gue, dan mengantarkan gue pulang dengan selamat. Mereka orang-orang yang ga takut sama bahaya dan memilih menyelamatkan gue, yang adalah orang asing bagi mereka.
Rasa syukur gue pastinya berlipat-lipat. Dan saat kembali berkaca pada kejadian itu gue seperti melihat sebuah skenario Tuhan yang Maha Cantik. Gue selalu percaya bahwa Tuhan memberi solusi sebelum masalah. Tuhan memperkenalkan gue dengan Yasi di bus dan karenanya Yasi bisa menyelamatkan gue malam itu.
Seumur hidup gue ga akan pernah lupa kebaikan Yasi. She saved my life. She’s definitely the kind of friend everyone wants to have. Dan gue sangat bersyukur telah mengenalnya. Thanks, buddy!
Dok. Pribadi |
EPILOGUE
Yeorobun, there’s one thing I forgot to tell you. Peristiwa ini terjadi sudah lama sekali, sebelum smart phone ada. Jadi kondisinya saat itu Yasi beserta suami dan temannya mencari gue menggunakan peta kampus. Pada masa itu, peta kampus jadi panduan kami, anak-anak baru di sana terutama karena letak gedung kuliah satu dengan yang lainnya kadang sangat berjauhan.
Nah, malam itu berbekal peta kampus Yasi coba menelusuri keberadaan gue dengan informasi sekadarnya yang gue berikan. Ia bercerita bahwa ia sempat bingung mencari gue sehingga ia mengikuti instingnya yang mengarahkan suaminya yang duduk di belakang kemudi ke mana harus berbelok.
Kegembiraan dan kelegaannya malam itu bukan hanya karena berhasil menemukan gue tapi juga karena ternyata insting yang ia percaya menuntunnya ke arah yang benar. Jujurly, sampai sekarang gue masih amazed dengan hal itu karena gue ingat betul bahwa informasi yang gue berikan tidak banyak membantu untuk dicari di peta. It was pure miracle!
Malam itu gue tidur dengan sangat nyenyak. Tornado ga sampe mampir ke kota kami. Semua baik-baik saja. Dan gue baru tau dari cerita komedian Anjelah Johnson Reyes bahwa tornado warning di bagian selatan Amerika adalah seperti peringatan gempa bumi di Jepang. Orang-orang sudah terbiasa mendengarnya. Pantas pada kalem semua malam itu.
Suami dan teman Yasi kecewa. Malam itu, setelah selesai berbelanja di supermarket, mereka masih muter-muter ke sekitar kota. Kata mereka jalanan sangat lengang seperti kota mati. Hanya ada mobil mereka saja di jalan. Mereka terjaga sepanjang malam menunggu si tornado yang tak kunjung tiba.
Credit top Photo by Guilman: - pexels
Comments
Post a Comment