TORNADO WARNING - LOST IN CAMPUS

Sore itu, usai kuliah terakhir, gue dan seorang teman sekelas pergi ke student center kampus kami untuk mengerjakan tugas. Gue memberanikan diri mengajaknya - yang duduk tepat di sebelah gue - untuk menjadi teman sekelompok saat sensei kami memberikan tugas. 

Sebagai orang baru di kampus, I needed to make new friends. Harus ada upaya proaktif dari diri gue untuk mulai menyapa dan berkenalan dengan orang lain, terutama teman sekelas. Dan kebetulan cewek ini yang duduk di sebelah gue. Ia pun menjadi teman pertama gue di kelas Japanese 1001 itu. 


Ga seperti kebanyakan gadis muda setempat yang tampak lebih outgoing dan santai pergi kuliah dengan sweat shirt, celana pendek, tas punggung, sendal jepit dan rambut yang asal diuwel-uwel ngiketnya, teman gue ini tampak sangat anggun. Ia sering memakai dress atau rok dengan atasan yang lucu. Rambut coklatnya yang cantik dan panjang nyaris sepinggang ia tata rapi atau ia ikat setengah ekor kuda. Elegan banget, persis seperti tampilan Youtuber yang bikin konten tentang slow living. Kacamata yang ia kenakan dan senyumnya yang lembut memberi kesan ramah dan hangat. 


Entah keberuntungan apa yang menaungi gue sehingga bisa memulai kuliah di negeri asing dengan mendapatkan teman yang vibe nya cocok dengan gue. Padahal sebelumnya, gue pengen ambil kelas bahasa Korea, tapi kuotanya udah penuh. Lalu pas pindah jalur ke bahasa Jepang, gue pengen ambil kelas yang dosennya asli orang Jepang. Tapi lagi-lagi telat, kuota udah penuh. Jadilah gue ambil kelas bahasa Jepang dengan pengajar orang Amerika di negara Amerika Serikat. I know… terdengar aneh, ya?!


Baca juga: Don't Take It for Granted Karena Berjuang dan Berkorban Lebih Menyenangkan


Gue seneng banget saat teman gue, sebut saja Lauren, menerima ajakan gue untuk ngerjain tugas kelompok. Kami pun memutuskan untuk langsung mengerjakannya sepulang kuliah. Bakalan susah cari jadwal lain karena kami berbeda jurusan.


Sangat mudah untuk mencari tempat nongkrong untuk belajar, bersantai, bermain, atau bahkan rebahan di sekitar kampus kami. Untuk indoor, ada perpustakaan, ada Student Learning Center (SLC) yang cantik dan mewah senyaman hotel, ada cafe, dan learning hall.


Yang suka outdoor, kampus menyediakan hamparan rumput luas dengan pohon yang besar dan rindang. Ada banyak taman cantik lengkap dengan kolam ikan dan kursi serta meja yang cantik. Bahkan ada blok-blok semen yang dibangun di luar gedung SLC. Awalnya gue bingung itu apaan. Lalu saat musim gugur berganti ke musim panas, gue melihat mahasiswa gegoleran di sana, berjemur sambil belajar. Owalaaah… untuk itu tho… katro banget gue.


Dok. Pribadi

Gue dan Lauren sepakat untuk mengerjakan tugas di SLC supaya lebih fokus. Gedung SLC itu sangat besar dan luas. Ada banyak kursi, meja, dan komputer terbentang dan tersebar sejauh mata memandang di setiap lantainya. Ada juga ruangan-ruangan kecil lengkap dengan whiteboard sehingga nyaman untuk diskusi atau rapat. Lalu ada juga sofa-sofa besar yang nyaman untuk selonjoran. Pada musim ujian, banyak mahasiswa yang belajar dan bahkan tidur di sana.


Lauren menginginkan suasana yang lebih tenang. Maka kami pun mencari ruang kecil yang kosong di sana. Setelah menyusuri lantai kedua, barulah kami mendapat satu ruangan kosong di lantai tiga.


Gue ingat betul saat itu nyaris pukul 6 sore ketika kami selesai mengerjakan tugas. Gue ingin segera pulang sebelum malam tiba karena gue tinggal di off-campus apartment yang letaknya lumayan jauh dari kampus, jadi ga bisa naik bus kampus yang beroperasi hingga malam hari. Ia hanya dilewati satu city bus yang jadwal operasionalnya terbatas. 


Namun, saat keluar dari ruangan, ada suara tanda peringatan di gedung SLC. Seorang petugas perempuan tampak meminta semua mahasiswa segera meninggalkan gedung.


Gue kebingungan. Gue tanya Lauren ada apa. Dengan santai, Lauren menjawab bahwa itu karena ada tornado warning dari pemerintah. Wait, WHAATTT?? TORNADO, WHAATTT?? TORNADO WARNING?? Ini maksudnya mau ada tornado, gitu? Gue kebingungan sendiri. Lauren menunjuk sebuah peringatan tertulis saat kami melewati sebuah hall. HEEEEHHH??? Sejak kapan peringatan itu ada di sana??? 


Baca juga: Between Choices - A Dilemma of A Teenage Girl


Dengan tenang dan santai semua mahasiswa berjalan keluar gedung sambil ngobrol dan becanda seolah ga ada warning apa-apa. Fix, gue doank yang bingung!


Di luar gedung SLC sudah menunggu satu bus kampus dengan nomer bus yang ga gue kenal. Kami diberitahu bahwa hanya bus itu yang beroperasi di sana untuk mengantarkan mahasiswa meninggalkan kampus dan didrop di tempat aman terdekat. Ga ada bus lain yang beroperasi, apalagi city bus. Amsyoooonggg… gue tepok jidat sendiri dalam hati.


Saking ramainya mahasiswa, gue terpisah dengan Lauren. Ga ada yang bisa gue jadikan pegangan untuk bantuan, apalagi mengingat Lauren adalah penduduk lokal. So, gue mengikuti crowd untuk naik bus itu.


Kami diturunkan di sebuah dining hall kampus. And that’s it! Udah gitu aja. Semua mahasiswa diminta turun dan berlindung di sana.


Gue berjalan masuk ke dining hall itu. Semua mahasiswa tampak asik sendiri. Ada yang makan, ngobrol, belajar, atau main game. Sama sekali ga ada yang terlihat khawatir. 


Baca juga: Does Time Really Heal?


Gue keluar gedung dining hall itu dan memeriksa lingkungan tempat itu. Aaarrrgghh, gue sama sekali ga mengenali tempat itu. Gue baru seminggu di sana dan baru tahu gedung-gedung tempat gue menghadiri kuliah, perpustakaan, dan SLC. Gue belum sempat explore kampus.


Karena itu adalah gedung dining hall kampus, gue menduga bahwa gue berada di sekitar lokasi university village atau university housing yang memang letaknya di dalam lingkungan kampus. But wihich one? Ada beberapa lokasi tempat tinggal mahasiswa di sana. Bagaimana gue tau gue berada di mana?


Gue masuk lagi ke dalam dining hall. Gue memutuskan untuk menelpon seorang teman. Ia adalah asistennya supervisor gue. Ia juga adalah penduduk lokal. Ia pasti mengenali situasi ini, tahu apa yang harus dilakukan dan dapat membantu gue, begitu pikir gue. 


But I was wrong… 


Dia mengatakan bahwa itu adalah situasi yang tidak aman untuk keluar. Tapi lucunya ia meminta gue untuk menelpon asisten supervisor gue yang lain, yang justru bukan penduduk lokal, melainkan sesama international student seperti gue. Dengan menelan rasa kecewa, gue pun menelpon orang itu. Tapi dia tidak menjawab telpon gue.


Gue menghenyakkan punggung dan kepala gue pada sandaran kursi. Rasanya hopeless banget, bingung, takut, lelah, semua jadi satu. Gue kembali melempar pandangan ke arah mahasiswa yang nampak asik dan santai. Hmm, mungkin mereka tinggal di apartemen kampus dekat sini, makanya bisa nyante, begitu dugaan gue. 


Baca juga: I Quit My 9-5 Job and Choose to Live in Uncertainty - Best Decision Ever!


Gue ingin menggeret tubuh gue untuk mendekati salah satu dari mereka dan bertanya tentang keadaan itu serta bagaimana gue bisa pulang. Akan tetapi rasa kecewa hasil gue menelpon teman yang menolak membantu dan teman yang ga ngangkat teman gue bikin gue berat untuk beranjak. Gue udah ga punya stok besar hati dan legowo untuk menerima kekecewaan lain karena kemungkinan besar mereka ga bisa membantu gue.


Gue kemudian berpikir untuk menelpon supervisor gue, tapi ragu. Rasanya seperti berlebihan dan manja untuk merepotkan supervisor dengan hal-hal yang tidak berkaitan dengan urusan kampus. Lagipula, gue malas setelah insiden terakhir yang terjadi baru-baru itu. 


Jadi ceritanya gini…


Sekretaris di kantor supervisor gue, entah gimana, sepertinya mendengar bahwa gue ga punya laptop. Gue selalu menggunakan komputer kampus yang tersedia di perpustakaan dan SLC. Di apartemen gue juga disediakan beberapa unit komputer untuk digunakan para penghuninya. Jadi memang ga ada masalah buat gue. Nanti gue akan menghemat stipend dari sponsor beasiswa gue untuk beli laptop sendiri, begitu pikir gue saat itu. That simple.


Lalu suatu hari, sang sekretaris memanggil gue ke kantornya. Tiba-tiba ia mengatakah bahwa ia meminjamkan gue komputer di kantornya yang nganggur untuk gue gunakan di apartemen gue. Terharu banget gue dengernya karena gue ga pernah cerita ke beliau dan ga pernah minta juga. Dengan senang hati gue pun membawa komputer itu ke apartemen gue dibantu seorang teman yang punya mobil (yang tadi gue telpon untuk minta bantuan tapi ga bisa bantu). 


Namun esoknya, seseorang (yang gue kira teman sesama international student) meminta gue menyerahkan komputer itu untuk dia pakai di apartemennya. I was like, SAY WHAAATTT??? Gimana ceritanya?? Itu komputer gue yang dikasih pinjam. Gue yang cari temen buat bantu bawa ke apartemen. Lalu, bagaimana bisa dia minta begitu aja?? Bener-bener di luar nurul.


Gue ga tau gimana ceritanya. Gue ga tau darimana dia dengar gue dipinjemin komputer sama sekeretaris supervisor kami. Tapi yang jelas dia ngadu ke supervisor kami karena ga lama setelah dia meninggalkan apartemen gue, supervisor menelpon dan meminta gue menyerahkan komputer itu ke dia.


Baca juga: My Beliefs about Work and Money That Save My Life - Lika-liku Perjalanan Gue Kerja


Gue terkejut dan merasa diperlakukan dengan tidak adil. Jadi gue mempertahankan komputer itu. Namun apa yang terjadi, yeorobun? Beberapa jam kemudian, sang supervisor datang ke apartemen gue untuk tujuan yang sama. Maka dengan memendam kekesalan, gue serahkan komputer itu.


Jadi tu komputer yang susah payah gotongan sama teman untuk bawa ke apt dan bahkan belum sempat gue pakai, terpaksa gue serahkan begitu saja ke orang lain. Katanya orang itu lebih membutuhkan komputer. Dan gue tidak?????


Yeorobun, mari kita sudahi cerita itu di sini dulu karena rasa kesal itu kembali muncul as I’m telling this story to you. Lain waktu akan gue ceritakan apa yang terjadi dengan komputer itu. 


Nah, karena itulah gue urung menelpon supervisor gue. Gue merasa diperlakukan dengan tidak adil dan melihat perlakuan yang berbeda antara kami. So, sudahlah… gue akan tangani masalah gue sendiri. Toh gue bukan anak manja seperti laki-laki itu. Oya, orang yang mengadu dan memaksa mengambil komputer dari apt gue itu adalah seorang laki-laki yang sudah berkeluarga dan punya anak. Sampai sekarang gue masih ga habis fikri tentang kejadian itu karena gue yakin gue ga berbuat salah apa-apa. Ngobrol sama dia aja, ga.


Anywho… mari kita kembali ke dining hall.


Gue kembali memeriksa kondisi di luar dining hall. Langit sudah betul-betul gelap. Suasana terasa senyap. Tidak ada orang sama sekali. Sekali lagi gue memperhatikan sekitar, berusaha mengenali di mana gue berada dan bagaimana gue bisa mendapatkan bantuan.


Baca juga: Mungkin Ini Alasan Kamu Belum Memulainya


Gue berjalan menuju halte bus yang ada di dekat situ. Gue duduk di halte bus seolah bakal ada keajaiban bus lewat walau gue tau itu ga mungkin. Tak berapa lama dari kejauhan muncul sebuah mobil dengan sirine meraung-raung. Ternyata sirine itu ditujukan ke gue.


Mobil dengan sirine kencang itu mendekat dan berhenti di halte bus, tepat di depan gue. Seorang petugas mengeluarkan kepalanya dari dalam mobil. Ia meminta gue masuk ke dalam gedung karena bahaya akan datang anytime soon. Dengan setengah hati gue berdiri menuruti perintah sang petugas dan melangkah masuk ke dalam gedung.


Di dalam gedung gue duduk dibangku yang sebelumnya gue duduki. Suasana hall lebih sepi. Entah ke mana para mahasiswa yang tadi ramai itu pergi. Gue melirik jam di pergelangan tangan. Sudah pukul 8 malam. Apa yang akan terjadi dengan gue? Bagaimana gue akan melewati malam itu? Kenapa gue jadi seperti gelandangan begini?


Rasa takut, bingung, dan cemas bercampur dengan rasa ga berdaya. Gue udah ga mikir gimana kalau nanti ada tornado. Gue hanya mencemaskan diri gue yang ada di negara orang, di titik antah berantah, sendirian, dan dalam situasi yang tidak aman. (to be continued…)

Comments

Popular posts from this blog

MY BELIEFS ABOUT WORK AND MONEY THAT SAVE MY LIFE - LIKA-LIKU PERJALANAN GUE KERJA

I QUIT MY 9-5 JOB AND CHOOSE TO LIVE IN UNCERTAINTY - BEST DECISION EVER!

IS MARRIAGE FOR EVERYONE?