DON’T TAKE IT FOR GRANTED KARENA BERJUANG DAN BERKORBAN TERNYATA LEBIH MENYENANGKAN

Yeorobun, pernah dengar quote ini, kan: “Kalau dia bisa, saya juga pasti bisa”? Ini quote yang termasuk keras untuk memotivasi seseorang dalam menunjukkan segala daya upayanya. Quote ini tidak murah. Currency nya adalah kegigihan, determinasi, resilience, persistency, dan pengorbanan besar.

Kini, dengan daya kreativitas yang tinggi, quote itu diperbarui menjadi: “Kalau dia bisa, kenapa harus saya?”


Gue ngakak sih waktu pertama kali baca itu. Energi plesetan quote itu terasa ringan, segar, dan santai. Ya, namanya juga jokes… Tapi trus berangsur jadi satire, kek yang… iya juga ya, kalau dia bisa, dia aja. Kenapa saya mesti ikutan? 


Bila diaplikasikan dalam satu konteks, itu bisa menyiratkan hidup yang ga ngoyo, ga maksa, ga iri sama orang lain. Itu juga seperti ada rasa menerima diri apa adanya dan menikmati hidup yang ada.


Tapi tentu, bila diaplikasikan dalam konteks lain, itu terdengar seperti malas, ga ada daya juang, cuek sama diri dan hidupnya sendiri. So, it  depends on how you use it.


Photo by Quang Anh Ha Nguyen

Baca juga: Between Choices - A Dilemma of A Teenage Girl


Walau zaman telah berganti, sifat manusia yang ingin hidup enak tanpa berusaha keras ga berubah. Apalagi sekarang, maunya serba instan. Padahal sudah ada dua contoh legenda yang hasil produk instannya mangkrak, terlihat sampai sekarang, sementara tujuan akhirnya tidak tercapai. Oya, gue lagi ngomongin legenda Sangkuriang dan Bandung Bondowoso, lho…


Now you see… zaman sudah berganti, tapi tidak dengan sifat manusianya. Keinginan manusia untuk skip bagian proses bikin mereka maksa melakukan lompatan jauh ke hasil akhir. Walhasil, kreativitas otak mereka gunakan untuk memikirkan cara instan meski jalurnya ilegal. Lalu mereka mengira itu adalah sebuah keberhasilan, padahal topeng kepalsuan. Rugi doonk…


Yang ngertinya instan, ga tau bahwa ada kepuasan dalam kegigihan dan kerja keras di jalur yang benar. Yang maunya instan, ga paham bahwa berjuang dan berkorban jauh lebih menyenangkan.


Take us, para BL (Badminton Lovers), as examples. Sebagai BL, kadang gue mikir apakah gue yang memilih untuk menjadi BL atau badminton yang milih gue jadi BL. Pasalnya, ga gampang jadi BL.


Jadwal nonton pertandingan padat hampir setiap minggu. Kadang siang, petang, tengah malam, atau menjelang subuh, tergantung kota tempat berlangsungnya pertandingan. Jadi bayangkan bagaimana kami hidup beraktivitas sambil usaha bisa nonton pertandingan. At least kami cek skor walaupun ga bisa nonton.


Baca juga: Does Time Really Heal?


Gue ingat banget. Dulu waktu kuliah, gue yang biasa duduk di deretan depan, bakal datang lebih awal setiap ada jadwal pertandingan badminton. Tujuannya satu: menempati kursi paling pojok belakang yang susah dilewati orang untuk keluar masuk. Lalu layar laptop gue bagi dua: satu untuk materi kuliah, satu untuk streaming pertandingan.  


Saat Indonesia jadi tuan rumah, kami berjuang untuk ticket war buat nonton langsung. Gue pernah ngalamin ticket war pre-sale VIP terusan selama seminggu. Dan tu tiket ludes hanya dalam waktu 7 menit.


Masa-masa itu gue menikmati banget jadi BL. Ga cuma begadang untuk nonton sampe subuh, gue juga pernah cuti hanya untuk nonton liga badminton di Bandung. Dan gue yakin ini ga seberapa dibanding BL lain dan Pak Yanto - king of BL - yang bahkan ke luar negeri untuk nonton badminton.


Sekarang gue baru nyadar kalau masa-masa di mana gue berjuang cari live streaming, curi waktu untuk nonton, begadang, sampai cuti hanya untuk nonton langsung itu adalah masa yang menyenangkan. Gue baru nyadar bahwa berjuang dan berkorban itu lebih menyenangkan.


Walau kadang hasilnya berdarah-darah sedih saat atlet kita kalah, yang kadang bikin jadi ga mood seharian, tapi di situ lah seni dari perjuangan dan pengorbanan itu.


Perjuangan dan pengorbanan para atlet lebih gila lagi. Bukan cuma fisik yang ditempa, tapi juga mental, pikiran, dan emosi. Mungkin ini adalah the real manifestation of the oneness in mind, body, and soul. Ini adalah bidang yang ga bisa jadi mediocre. This is where you go big or go home.


Baca juga: I Quit My 9-5 Job and Choose to Live in Uncertainty - Best Decision Ever!


Saat akhirnya menang, kita bisa melihat rasa puas dan lega dari ekspresi mereka, meski cuma sesungging senyum pada pelatih ala Akane Yamaguchi. Pasti puas lah… apalagi bila telah melalui match yang berat.


Sayangnya, yang ngertinya cuma instan, ga tau rasa kepuasan dan kemenangan dari berjuang dan berkorban dengan kemampuan sendiri. Padahal di situ letak ultimate kepuasan dan kelegaannya.


So, whatever you do, don’t take it for granted. Beri penghargaan pada diri kalian dengan berjuang dan berusaha sendiri di jalur yang benar. Gue percaya bahwa itu adalah salah satu bentuk dari cara kita percaya pada diri kita dan kemampuan kita. Kita seperti menjadi satu tim yang solid dengan diri kita dan Tuhan.


Berkorban juga adalah manifestasi dari kesungguhan dan ketetapan hati. Itu juga bentuk keseimbangan dalam menerima, menjaga, dan melepaskan apa yang memang sudah tidak lagi perlu kita simpan. By the end of the day, it’s all for our own benefit. So, don’t take take it for granted karena berjuang dan berkorban jauh lebih menyenangkan.

Comments

Popular posts from this blog

MY BELIEFS ABOUT WORK AND MONEY THAT SAVE MY LIFE - LIKA-LIKU PERJALANAN GUE KERJA

I QUIT MY 9-5 JOB AND CHOOSE TO LIVE IN UNCERTAINTY - BEST DECISION EVER!

IS MARRIAGE FOR EVERYONE?